Helena menatap pantulan dirinya di cermin yang terletak di lemari bajunya. Ia sudah menggunakan seragam SMA yang sengaja ia buat pas di tubuhnya yang kecil. Bagian tangannya yang sedikit lebih panjang, ia menggulungnya sebanyak tiga kali.
Kemudian, ia menggunakan bedak pada wajah cantiknya. Sesudah terlihat rapi dan merata, ia menarik kedua sudut bibirnya, senyuman yang sempurna. Itu adalah senyuman untuk menguatkan dirinya sendiri.
Ini adalah tahun terakhir ia menjadi siswa SMA. Setelah mendapati banyaknya cobaan selama kurang lebih 2 tahun kemarin. Saat akhir SMP, tepatnya kelas 3. Helena benar-benar mendapati masalah yang membuat dirinya tidak memiliki teman. Semua orang menatap dirinya rendah bahkan sinis. Gadis ini pikir semua orang akan benar-benar menjauhinya, namun masih saja ada yang mau menemaninya.
Setelah berjalannya waktu, saat ia menjadi siswi SMA. Helena tetap mendapatkan tatapan dan sindiran. Bahkan lebih parahnya lagi, kakak kelasnya juga memandang ia sinis.
Itu semua Helena lewati dengan penuh perjuangan. Ia tetap bertahan karena dukungan teman-temannya.
Setelah selesai, Helana keluar dari kamarnya, ia menuruni satu per satu anak tangganya. Ia mendapat sapaan hangat dari kedua orangtuanya. Tidak lama kemudian, kedua adiknya turun dari kamarnya.
“Selamat pagi, Kak Helena yang cantik.” Itu adalah suara Naufal, adiknya.
Naufal berbeda 3 tahun dari Helena, adiknya itu selalu saja rusuh di pagi hari. Bukan pagi hari saja, sepanjang hari Naufal akan rusuh sendiri. Naufal juga berperan sebagai teman ribut Helena di rumah maupun di luar rumah. Untung saja, mereka tidak pernah satu gedung sekolah.
Tapi, kalau Naufal pergi dari rumah, Helena kadang kesepian. Untung saja mereka bisa saling menerima walaupun berbeda darah.
Mendengar sapaan sang adik, Helena hanya menatapnya sekilas. Rasanya ia ingin melemparkan piringnya pada Naufal. Wajah adiknya seperti mengajak gelut.
“Buset, Kak, sinis banget tatapannya.” Lagi-lagi Naufal mengganggu sang kakak.
“Ih, Bang Naufal berisik. Udah, deh, makan aja. Ini udah siang, nanti aku terlambat,” protes adik perempuan Helena, Nafa. Adik paling kecil yang wajahnya sedikit mirip dengan Helena.
Nafa baru saja memasuki SD. Umur Helena dengan Nafa memang sangat jauh, jadi mereka jarang ngobrol dan hanya sesekali saja. Tapi, keduanya tetap saling menyayangi.
“Santai aja, Naf ....” Naufal terkekeh. Ia menyuapkan sesendok nasi. “Sekali-kali terlambat gak apa-apa,” ucapnya seraya tertawa kecil.
“Kamu makan, ya, makan aja, Fal. Jangan banyak ngomong, deh.” Ben, sang papa menegur anaknya tegas. Mendengar ucapan Ben, Naufal hanya terkekeh lalu melanjutkan sarapannya.
Setelah selesai, Helena, Naufal, dan Nafa segera menuju halaman rumah untuk bersiap pergi sekolah. Diantar oleh Farah, mamahnya.
“Helena,” panggil Ben, Helena langsung menghentikan langkahnya kemudian menghela napasnya.
“Ya, Pah?” Helena mencoba tersenyum pada Ben.
“Jangan berulah terus di kelas dua belas. Papah gak akan bantu kamu lagi kalau ada masalah.”
Sebenarnya, Helena sudah tau jika Ben akan mengatakan hal itu. Jujur saja, Helena selalu merasa tertekan selama ini. Masalah yang ia hadapi selesai secara bertahap, namun setelah masalah itu selesai ia terus mendapati masalah baru.
Lagipula, Helena tidak meminta agar Ben menyelesaikan masalahnya. Itu, kan, kemauan Ben sendiri. Helena juga tidak memaksa agar Ben mau membantu. Setidaknya, Ben sudah mau menerima Helena. Memangnya Ben siapa mengatur kehidupan Helena?
“Iya, Pah.” Helena menyahutinya sesopan mungkin. “Helena pamit dulu, Pah.”
Ben mengangguk, lalu Helena segera keluar rumah untuk memasuki mobilnya.