“Adel, awas!”
Bunyi debuman keras terdengar bersamaan dengan mengepulnya debu tanah tebal, menghalangi pandanganku sepenuhnya. Aku sempat mendengar suara desisan serta anggota tubuh yang meluncur di tanah tak jauh di belakangku, tapi sebelum sempat bereaksi, tubuhku tiba-tiba terlontar, terpukul oleh sesuatu yang keras.
“Adel!”
Suara partnerku terasa semakin jauh.
Ahh… demi semua yang agung… Kenapa di saat krusial seperti ini kemampuanku harus gagal sih?!
Orang berkata ketika menghadapi kematian, biasanya kita bakal melihat kilasan rangkaian kehidupan kita. Sekarang—sementara rasanya tubuhku melayang dalam gerakan slow motion—aku melihatnya… ringkasan kehidupanku yang singkat di dunia ini…
Dan kini aku menghadapi kematian untuk yang kedua kalinya.
Yep. Sungguh kehidupan yang indah.
Karena suatu sebab, ingatanku kembali ke kejadian dua bulan yang lalu.
***
Aku, Adelaide Pratama, hanyalah gadis SMA biasa. Bertempat tinggal di Bandung, beberapa bulan lagi aku akan lulus dan berkuliah di kampus pilihan. Setelah meraih peringkat pertama di sekolah selama lima semester berturut-turut, masuk ke kampus paling bergengsi dengan beasiswa bukan suatu kesulitan buatku.
Di rumah, aku selalu patuh pada orang tuaku. Kebetulan mereka adalah tipe orang tua ketat dengan segala peraturan dan keharusan yang harus dilakukan. Jika tidak, aku akan menerima hukuman.
Jadi sepanjang aku hidup, aku harus selalu menuruti kemauan orang tuaku. Sekolah di tempat ini, bergaul dengan si ini, jangan bermain dengan si itu, pakai waktu untuk belajar, baca buku yang berguna, nonton TV hanya boleh sejam setiap hari, dan lain sebagainya.
Bukan berarti aku tidak bahagia. Justru karena aku patuh, aku tidak pernah menemui kesulitan yang berarti. Peringkat sekolahku selalu bagus, aku punya teman, tugas apapun selalu dapat kuselesaikan dengan sempurna karena waktuku selalu dipakai untuk belajar, ada banyak pengetahuan di kepalaku karena aku rajin membaca, keterampilanku pun banyak.
Masalahnya… tidak semua hal tersebut merupakan keinginanku sendiri. Orang tua ingin aku sopan, aku pun belajar sopan santun serta etika dengan tak bercela (padahal di saat tertentu, aku ingin sekali membanting orang yang menjengkelkan). Mereka ingin aku pintar, aku pun mempelajari segala sesuatu yang mereka ingin kupelajari (sementara aku hanya bisa menatap iri pada siapapun yang bebas bermain game atau membaca novel). Teman-teman ingin menyalin PR, aku pun mempersilakan dengan senang hati (walau selama mereka menyalin, aku membodoh-bodohi mereka dalam hati karena aku tahu mereka tidak pernah bisa mencapai prestasi gemilang sepertiku).
Memang, ada saat-saat dimana aku harus mengambil jalan memutar supaya hal-hal kecil yang kuinginkan dapat tercapai. Contohnya, waktu aku ketahuan bermain game oleh orang tuaku, aku bisa bernegosiasi sedemikian rupa dengan mereka sehingga aku tidak jadi dimarahi saat itu. Atau ketika teman sekelas membuat kejengkelanku mencapai batas, aku bisa menghasut wali kelas untuk menghukum mereka, tapi mereka tidak pernah tahu aku-lah penyebab di belakang semua itu. Dan masih ada contoh lainnya.
Makanya kubilang bukannya aku tidak bahagia. Tapi akan lebih menyenangkan kalau aku bisa melakukan apapun yang kumau sebebas-bebasnya tanpa perlu memanipulasi keadaan. Toh keinginanku simpel-simpel.