Ketika aku membuka mata, tampaklah seorang pria paling tampan yang pernah kulihat seumur hidup.
Penampilannya seperti pria bangsawan jaman Victoria; lengkap dengan kemeja formal, cravat, rompi, jaket berekor panjang, dan untaian rantai jam saku di pinggangnya. Dari ujung kepala sampai sepatunya semua serba putih, rambutnya tak terkecuali. Hanya matanya yang paling mencolok—kuning berpupil merah—terlihat jelas meski ada jarak yang cukup jauh di antara kami. Warna mata seperti itu seharusnya terlihat mengerikan, tapi menurutku itu justru menambah nilai positif untuk wajahnya.
Pria itu tersenyum.
“Halo, selamat datang, Adelaide Pratama…” sapa pria itu ramah.
Suaranya begitu jernih dan indah…
Sungguh pemikiran yang berguna. Aku jadi tidak bisa menjawab dengan pintar. “Ah… uhm,” hanya itu saja yang berhasil keluar dari mulutku.
Kemudian mataku menangkap sesuatu yang lain.
Pria itu sedang duduk, tidak di atas kursi, melainkan di atas sebatang tongkat putih kira-kira dua setengah meter panjangnya. Tongkat itu sendiri melayang begitu saja sekitar semeter dari tanah, sehingga kaki pria itu juga tidak menapak ke tanah sama sekali. Di salah satu ujung tongkat itu terdapat bilah perak melengkung super besar dan beberapa bilah perak kecil berformasi seperti sayap di belakangnya sebagai hiasan.
Sontak aku menelan ludah.
Itu sabit super besar yang pernah kulihat seumur hidup.
Pria itu membuka mulutnya lagi, “…dan Alysierra Sylvia du Vonwitter.”
“S—siapa kau?!”
Ah, itu yang mau kutanyakan, kataku dalam hati. Tapi suara itu bukan berasal dariku, melainkan milik orang lain yang rupanya ada bersama kami di tempat ini.
Ngomong-ngomong, tempat kami berada saat ini adalah ruangan serba putih yang sangaaat luas. Aku tak bisa melihat ada pintu ataupun jendela dimana-mana, sejauh mata memandang hanya putih saja. Tidak ada perabot apapun selain tongkat yang diduduki si pria-super-tampan… serta sebilah papan bening—sebesar iPad 10 inch—dipenuhi tulisan bersinar biru, melayang di samping pria itu. Tulisan apa di sana, aku tidak bisa membacanya.
Dan orang ketiga yang barusan bicara adalah seorang gadis, berdiri tak jauh di sampingku dan sama-sama menghadap si pria melayang. Wajahnya cantik, rambutnya cokelat panjang sepunggung, matanya hijau cerah. Pakaiannya mengingatkanku akan model pakaian di film-film tentang abad pertengahan; gaun semata kaki dan sebatu bot kulit berwarna cokelat. Sangat kontras denganku yang hanya memakai kaos barong, celana pendek Pangandaran, serta sandal jepit.
Hal lain yang mencolok dari gadis itu adalah telinganya. Panjang dan runcing seperti… elf? Makhluk dari dunia fantasi yang pernah kubaca (diam-diam) di novel-novel fiksi?
Aku mengerjap. Telinga gadis itu masih panjang dan runcing. Berarti aku tidak salah lihat.
Saking banyaknya informasi tidak masuk akal yang kuterima, muncul banyak sekali pertanyaan dalam kepalaku.
Dimana aku?
Bukankah seharusnya aku sudah mati?
Apa ini di surga? Atau malah neraka?
Siapa pria itu?
Dan kenapa bisa ada elf?
Kenapa kami berdua ada disini?
Dan sebagainya, dan sebagainya.
Semua hal itu berseliweran dengan sangat cepat dalam otakku. Belum lewat sedetik sejak Alysierra, si gadis elf, mengutarakan pertanyaannya. Barangkali cara kerja otakku inilah yang membuatku sakit kepala…
…Eh, tunggu dulu. Aku bisa merasa sakit…?
……Berarti kemungkinannya ada dua; antara aku belum mati, atau ini semua bukan mimpi, atau… kedua-duanya.
Satu hal yang pasti, aku ingin jawaban.
Seperti kata pepatah; wanita itu butuh kejelasan.
Tapi aku yakin setiap orang pasti butuh kejelasan jika berada dalam situasi seperti sekarang.
Meskipun keringat dingin bercucuran dan lidahku kelu, akhirnya aku berhasil mengucapkan beberapa patah kata dengan jelas. “A-apa kau…”
Aku menelan ludah, lagi. Mataku masih mengawasi bilah lengkung di tongkat-tempat-duduk pria itu. Dewa Kematian? Tuhan? Aku melanjutkan pertanyaanku dalam hati, terlalu takut untuk bicara lebih banyak. Siapapun pria itu, aku bisa merasakan dia tidak sama sepertiku ataupun elf di sampingku. Maksudku… pria itu pasti bukan makhluk fana.
“Oh, aku bukan Tuhan,” kata pria itu, seolah bisa membaca pikiranku. “Yang Maha Kuasa adalah Atasan-ku, sama sekali tidak bisa disamakan denganku. Meski begitu, aku diberi kehormatan untuk berkuasa atas kematian.”
Hatiku langsung mencelus.
“Kalau begitu… aku benar-benar sudah…” Lagi-lagi Alysierra menyuarakan pikiranku. Dia, sama sepertiku, kelihatan pucat karena syok.
Pria itu mengangguk. “Yep,” katanya, suaranya terlalu riang untuk mengabarkan berita kematian pada subyek yang bersangkutan.
Mendadak ingatan akan sakit luar biasa saat truk menabrakku muncul kembali. Tanpa kusadari, sekujur tubuhku gemetar.
Aku sudah mati…
Papa… Mama… maafkan anak yang pergi lebih dulu meninggalkan kalian ini…
Adik… jangan mengutuk kepergian kakakmu ini ya, Dik… Sekarang semua ekspektasi keluarga ada di bahumu! Selamat berjuang!
“Kalian tidak perlu khawatir!” kata pria itu tiba-tiba, membuat Alysierra dan aku tersentak kaget. “Sebelumnya, perkenalkan dulu. Kalian bisa menyebutku Sterben.” Pria itu membungkuk, gestur anggun yang kukenali sebagai salam seorang gentleman di film-film.
Mendengar nama itu tidak memunculkan memori apapun dalam otakku. Aku memang tidak pernah mendengar ada, katakanlah, dewa kematian dengan nama itu.
“Yurisdiksiku memang bukan di Bumi, makanya kau pasti asing dengan namaku,” kata Sterben, lagi-lagi menjawab isi pikiranku. “Intinya begini. Kalian adalah jiwa-jiwa beruntung yang terpilih oleh Sistem Sekuel. Selamat!”
Sistem Sekuel?
………Nama macam apa itu?
Aku menahan keinginan untuk mengangkat sebelah alis. Alysierra malah terang-terangan mengernyit.
Sterben tidak menghiraukan perubahan ekspresi kami dan melanjutkan, “Sistem Sekuel merupakan sebuah program yang diautorisasi oleh semua dewa kematian yang ada, di seluruh dunia yang ada, serta disetujui oleh Yang Maha Kuasa, untuk mendapat kesempatan hidup kembali. Tujuannya supaya jiwa-jiwa yang sudah meninggal tidak merasa keberatan untuk pergi ke akhirat. Bisa repot jadinya kalau seseorang punya terlalu banyak penyesalan.