KISAH 1
Usai lulus Sekolah Menengah Atas di tahun 1993 yang tak begitu menggembirakan, Jono Winoto memutuskan untuk berjalan-jalan sendiri di pasar demi menghindari semacam apa yang dia sebut sebagai badai orangtuanya di rumah. Dia membayangkan ayahnya akan mengomel tiada henti dan menyalahkan atas hasil nilai ijazahnya. Maka, demi menyelamatkan nasibnya, dia memutuskan melakukan sesuatu untuk menghibur diri, sampai akhirnya, mau tak mau harus pulang karena lapar tak tertahan, dan dengan begitu, dia baru bisa menerima keadaan. Terakhir apa yang dia ingat adalah ketika ayahnya marah besar karena dia membaca buku cerita silat karya Kho Ping Hoo yang berjilid-jilid, saat seharusnya belajar karena seminggu menjelang ujian.
“Mau jadi apa kamu nanti? Sekolah tak pernah benar! Buku sampah apa pula yang kamu baca?”
Seperti itulah ayahnya, nyaris setiap waktu dan tanpa lelah – yang dalam bayangannya berubah menjadi penjual jamu yang berkoar-koar bising di pasar. Hampir tak ada jemu ayahnya marah, mengata-ngatai hingga membuatnya merasa tak ada lagi ruang yang tenteram di dalam rumah. Jono merasa ayahnya begitu egois dan tak berperasaan. Tak mau memahami keinginannya sebagai manusia bebas. Sejak kecil orangtuanya berharap, terutama ibunya, anaknya menjadi seorang pegawai pajak, karena saudara sepupunya kaya raya berkat menjadi pegawai pajak. Sementara ayahnya tak peduli apapun asal itu PNS, seperti kakeknya seorang ambtenar di zaman kolonial. Tapi, Jono, mengatakan tak ingin hidup dengan uang negara.
Begitulah, sejak pertama kali jatuh cinta pada segala macam sastra, baik prosa atau puisi, Jono merasa sekolah hanya membuang-buang waktu. Ia berpendapat bahwa cukup dengan membaca sastra, maka dunia ada digenggamannya. Ketika guru-gurunya mulai menegurnya karena jarang masuk sekolah hampir satu semester, dia berdalih bahwa hidupnya saat itu terkurung oleh kekuatan misterius dan tak bisa melawannya. Jono tak mampu menjelaskan secara konkret apa yang ia sebut sebagai perasaan misterius itu. Alasan yang tak ada unsur masuk akalnya itu membuat dewan guru memutuskan agar Jono masuk dalam sebuah perawatan khusus bagi anak-anak bermasalah. Dan semua itu terbukti sia-sia.
******
Jono tak mempan dengan segala upaya guru konselornya (Bimbingan Penyuluhan) yang masih magang. Ruang dan waktu yang dikhususkan untuk sebuah konseling tiap hari Jum’at, justru membuat guru magang itu seolah-olah tepesona dengan wawasan Jono Winoto. Guru itu bahkan tak tahu bahwa Fidel Castro itu anak orang kaya di Kuba yang memilih jadi komunis. Dia tak mengerti jika Ajip Rosidi hanya sampai sekolah menengah pertama dan bisa menjadi guru besar di Jepang. Semua itu diceritakannya tanpa bemaksud pamer. Dia hanya ingin menunjukkan dirinya melampaui siapa pun di sekolahnya. Meskipun sesungguhnya ia juga hanya paham pada kulitnya. Tapi toh itu cukup baginya untuk berpikir sebagai pendekar sastra di antara teman-temannya yang tak membaca apa-apa kecuali Eny Arrow.
“Kamu sebenarnya pintar, tapi kenapa tak pernah masuk setiap pelajaran matematika? Kamu pusing?” Tanya guru konselornya. Jono waktu itu menggeleng dengan wajah setengah acuh, dan mengatakan tak pernah merasa pusing.
“Mikir saja tak pernah, bagaimana mau pusing.”
“Ah, sialan, iya, kamu benar. Bagaimana pusing ya, orang tak sempat mikir…”
Tapi, kemudian, Guru konselor itu akhirnya memutuskan membuat laporan yang bernada putus asa, dengan menyatakan bahwa Jono Winoto, anak dari Winoto, adalah anak bermasalah yang aneh, dan tak sanggup menanganinya. Setelah upaya yang dinyatakan gagal itu, pada akhirnya, pihak sekolah mengirim utusan mereka, di suatu siang, di rumahnya untuk menemui orangtuanya, sebagai upaya pasrah dan memasrahkan sepenuhnya tanggung jawab yang berat itu pada orangtuanya.
“Kami tak tahu lagi bagaimana mengurusnya,” akhirya utusan itu menyimpulkan setelah menceritakan semua upaya mereka. Winoto, ayah Jono Winoto yang bermuka mirip Pangeran Charles versi kulit sawo matang, menerima kenyataan itu dengan lapang dada di hadapan para guru utusan itu. Dengan sopan dia menyampaikan permohonan maaf atas ketidakwarasan anaknya yang dianggapnya telah tersesat jauh dari tradisi mulia keluarganya.
“Saya akan mengurusnya sendiri nanti,” akhirnya ayah Jono berkata.
****
Ketika Jono pulang, sore harinya, ia merasakan suasana yang mencekam di dalam rumahnya saat masuk. Dia melihat ayahnya duduk diam di ruang tamu. Sementara ibunya duduk di sudut yang lain dan melihatnya dengan tatapan sedih. Persis, seperti seekor kelinci yang mencium bau bahaya di sekitarnya, Jono Winoto mencoba meningkatkan kewaspadaannya dengan menebak-nebak apa yang tengah terjadi. Setelah mengira-ngira dengan cukup yakin, Jono akhirnya mengambil sebuah air putih di dapur dan meminta ibunya sebutir obat flu dengan mimik muka dan suara yang dibuat sedemikian rupa agar terlihat sakit. Aksi Jono yang manipulatif itu ternyata tidak mempan. Tak ada rasa simpati atau khawatir keluar dari sinar mata kedua orangtuanya ketika ia mengaku sakit.
“Duduk!” Perintah ayahnya.
“Kamu sakit? Yang sakit itu jiwamu!” Sambung ayahnya. Jono mencoba mencari perlindungan pada ibunya yang hanya diam dan menatapnya sedih.