KISAH 3
Ketika tanpa disangka Jono Winoto lulus ujian perguruan tinggi, pertama yang dipikirkannya adalah betapa bodohnya dia mengikuti ujian dan sekolah kembali. Tentu saja, karena seperti telah diyakininya sejak semula bahwa sekolah formal hanya akan menghambat kebebasan dirinya menemukan kehidupan yang hakiki. Dia ingin mengikuti Ajip Rosidi yang meskipun hanya sekolah menengah, tapi menjadi guru besar sastra di Jepang. Mengingat seperti itu, tiba-tiba ia merasa terserang rasa murung, apalagi mengingat dia harus bangun pagi dan berkumpul dalam ruang kelas setiap hari.
Ketika kepalanya semakin berat oleh beban pikiran yang seperti batu-batu yang menumpuk, Jono segera pergi keluar rumah dan menemui teman-teman kompleksnya yang biasa berkumpul di sebuah rumah kosong di perempatan jalan setiap waktu. Mereka, teman-temannya, adalah para begundal kecil yang berkumpul demi menghindari semua pekerjaan rumah, urusan sekolah dan semua yang membutuhkan disiplin dan kepatuhan seorang anak. Mereka berkumpul untuk membangun dunia yang mereka angankan sebagai hidup tanpa beban tanggung jawab, seperti ditanggung para orangtua mereka yang setengah mati mencari uang – dan meskipun sudah setengah mati pun, tetap hanya mendapatkan sedikit uang, yang semuanya habis untuk membayar pelbagai tagihan hutang belanja setiap hari, listrik, air, SPP dan masih banyak lagi tumpukan kebutuhan lainnya. Anak-anak ini, kegiatannya beragam setiap waktunya, dari yang paling monoton seperti hanya duduk-duduk di pinggir jalan sembari membayangkan dirinya seorang jagoan dalam film-film yang mereka idolakan, hingga bentuk kebrutalan yang beragam seperti pencurian atau tawuran di antara kelompok preman. Semboyan mereka, ‘Tak ada kerjaan, ya Rusuh’.
Mereka biasanya membuat beberapa kelompok kecil di setiap ruang di area halaman rumah kosong yang mereka kuasai sebagai markas. Satu kelompok saling bercerita tentang kondisi keluarga mereka, atau semua cerita yang membutuhkan pendengar satu sama lain. Semacam kelompok konseling yang secara alamiah saling mencurahkan perasaan masing-masing. Tentang cinta yang ditolak, pacar yang berkhianat, atau orangtua yang dianggap terlalu cerewet dan tak memahami keinginan mereka –yang mereka sendiri juga tidak pernah mampu memahami. Satu kelompok yang lain membuat lingkaran dan bermain catur atau kartu remi, dengan taruhan yang semula hanya menggunakan uang kecil, hingga kemudian berkembang menjadi semakin besar, dalam bentuk apa saja yang mereka miliki. Satu kelompok yang lain lagi, hanya duduk-duduk memperhatikan semua keadaan sekitarnya dengan tatapan kosong. Mereka, kemudian, biasanya disatukan oleh tibanya seorang anak yang tiba-tiba datang membawa sebotol anggur Orang Tua, Whiski bermerk Drum, ciu, ganja, atau apapun yang membuat mereka mabuk dengan segera.
*****
Jono Winoto, meskipun memiliki kualitas yang lebih baik, dan tak sepenuhnya seperti teman-temannya, menerima semua gelas berisi anggur yang digilirkan secara memutar dan menenggaknya habis. Dua gelas anggur yang diminumnya cukup membuatnya berubah ceria dan bersemangat serta melupakan semua beban yang dia anggap sebagai bencana jiwanya, yaitu meneruskan sekolah. Dia mulai bercerita tentang dunia sastra– yang tentu saja tak dipahami anak-anak yang rata-rata bermasalah dengan sekolah atau keluarganya –dan keluarga yang juga bermasalah dengan ekonomi. Jono mengatakan bahwa dirinya bersama teman-temannya adalah ibarat sebangsa pasiano dalam Dataran Tortella yang dikisahkan John Steinbeck yang begitu tergila-gila pada anggur –karena dunia industri menyingkirkan mereka dari kewajaran hidup. Meskipun Jono Winoto begitu bersemangat bercerita, teman-temanya toh hanya tertawa kosong menanggapinya, sementara yang lain memilih tidur sembari mendekap lututnya.
Ketika satu botol habis, sementara semangat mereka bangkit seperti para pemberontak radikal, mereka biasanya mulai berpatungan untuk membeli satu botol lagi. Begitu botol kedua habis, sekaligus semua uang mereka di dalam saku, maka ketika malam menjadi semakin sepi, kelam dan dingin, tiba-tiba bermunculanlah gagasan-gagasan cermelang seperti bintang-bintang di langit yang berkelip. Beberapa anak yang pada dasarnya memiliki bakat jiwa seorang patriot yang heroik, merancang sebuah pencurian apa saja yang bisa segera dijual malam itu. Paling umum adalah sekumpulan ayam di halaman orang lain di sekitar perumahan. Meskipun mereka dianggap anak-anak yang dianggap tak berguna, dan tak memiliki kecakapan apapun, namun mereka adalah para ahli dalam dunia perdagangan ilegal. Mereka punya cara menjual barang haram dengan cepat dan saling menguntungkan. Mereka memiliki setidaknya lima orang penadah yang dengan senang hati akan membeli barang-barang curian mereka yang murah. Dengan demikian, kebutuhan mereka untuk menyelamatkan setiap pesta yang hampir bubar, segera teratasi dengan sukses dan pesta berlangsung hingga pagi bersinar. Sebagian yang lain, tidak kalah dermawannya dengan memberikan sumbangan tenaga untuk mencari makanan dan buah-buahan dari halaman-halaman terbuka milik orang-orang kampung.
Pesta itu juga menjadi semakin menarik karena selalu muncul keributan dari salah seorang anak yang berkelahi dengan anak lain dari kelompok lain. Nah, ketika keributan menjadi semakin meningkat dan melibatkan para orang tua dari pelbagai sudut gang, juga termasuk polisi–mereka segera bubar untuk menyelamatkan diri masing-masing.