KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #4

Kisah 4

KISAH 4

 

Di Yogyakarta, Jono Winoto mendapatkan kos di kawasan Karangasem depan Fakultas Kehutanan UGM. Sebuah rumah tua yang sudah melapuk di sana sini. Rumah tua dengan bangunan seadanya dan bertembok kusam serta berlatar cat warna hijau lumut yang telah memudar. Berpenghuni lima mahasiswa resmi yang membayar sewa dan lima penghuni tak resmi yang tak pernah membayar sewa. Selain itu ada juga para tetangga lainnya, yaitu para tikus warok yang sering muncul secara mengejutkan di sekitar sumur tua yang lebih mirip jambangan tua. Meskipun kamarnya di rumah tidak lebih baik keadaannya, namun perasaan pertama kalinya ia berada di kamar kos itu – ia merasa risih dan hampir tidak bisa tidur karena setengah jijik. Temboknya lembab, merembes air yang membuatnya sibuk mencari cara agar lebih kering. Karena itu, ia butuh beberapa waktu agar bisa beradaptasi.

****

Sebulan kemudian, Jono Winoto baru mulai berkenalan dengan penghuni lainnya secara malu-malu. Pertama ia berkenalan dengan Fuadi Alamsyah mahasiswa pskikologi tingkat akhir yang melihatnya sebagai anak kecil meskipun usia mereka tak jauh beda. Fuadi, asli Lamongan keturunan Madura bertubuh besar –atau sebenarnya orang-orang memanggilnya Gendut. Berkulit hitam, tinggi sekitar 160 cm dan bermuka sangar. Penampilannya cukup meresahkan, tidak saja karena ia tampak sangar, tapi karena kebiasaannya mengorok seperti suara sapi disembelih sepanjang malam dan menggaruk-garuk wilayah vitalnya ketika tidur. Semua penghuni kos selalu merasa terteror sepanjang malam bila Fuad tidur di kos. Tetapi semua itu hanya penampilan luar semata. Fuadi Alamsyah adalah orang baik hati dan tipe yang penuh perhatian, terutama ketika kehabisan rokok. Pertama kali bertemu Jono, Fuadi tersenyum dengan ramah dan bertanya, “kamu anak baru ya?” Jono merasa tidak nyaman dengan mata Fuadi yang menyelidik tubuhnya. Setelah mengamati sejenak, Fuadi bertanya penuh pengharapan.

“Kamu merokok tidak? Pasti merokok. Ada rokok?”

Berpikir demi pergaulan yang lebih baik, Jono Winoto mengatakan ia memang merokok, dan tanpa diminta sekali lagi, ia mengambil sebungkus rokok dari kamarnya dan menawarkan pada Fuadi yang wajahnya berubah cerah meskipun mukanya tetap bersisik hitam. Fuadi lantas mengajak duduk di ruang tamu yang penuh sesak dengan tumpukan kertas, serta buku-buku warisan penghuni masa lalu yang tak lagi peduli. Karena tak ada kursi, mereka duduk bersila di atas karpet lusuh yang warna aslinya bisa diperdebatkan, karena senyawa kimia tertentu yang tumpang tindih dan membuat kabur warnanya.

“Kamu tak usah peduli dengan anak-anak KM (Keluarga Mahasiswa). Mereka kurang kerjaan.” Ujar Fuadi tiba-tiba memberi nasehat. “Kuliah saja biar cepat lulus.” Tambahnya seperti kata ayahnya ketika berpesan saat mengantarnya ke Yogyakarta. Jono tak mengerti tapi mengiyakan saja.

“Tapi kalau lulus cepat juga kurang baik,” Fuadi tiba-tiba meralat. “Harus banyak pengalaman di sini. Lagipula tak banyak pekerjaan yang menunggumu di negara ini.” Mendengar pendapat Fuadi yang tidak konsisten itu, Jono mengumpatinya dalam hati, namun dia justru menunjukkan sikap santai dan mengatakan bahwa pendapat seniornya itu masuk akal.

****

Selain Fuad, Jono Winoto juga mulai mengenal sosok lain dari penghuni kontrakan itu. Semula datang Jamal, teman sejurusan, adik angkatan Fuadi. Kulitnya putih dan tubuhnya kekar. Motor vespanya berdering nyaring setiap kali berhenti di teras depan. Meskipun tampilannya tampak macho, Jamal terlihat ramah dan santai. Ia selalu masuk rumah sembari ketawa keras yang terdengar agak cempreng. Semula Jono merasa segan dengannya karena mengira Jamal orang yang sombong, tetapi kemudian kesan itu segera berubah setelah mereka terlibat dalam perbincangan. Jamal ternyata suka sekali tertawa, meskipun ia terkadang tiba-tiba besikap galak dan angkuh. Ia bisa saja tiba-tiba tertawa dengan lengkingan seperti burung betet di dalam kamar kosnya. Jono kaget setengah mati pada mulanya, hingga jantungnya nyaris rontok dan membuat matanya terbelalak. Namun, setelah beberapa waktu, ia mulai terbiasa, meskipun tetap saja kaget jika itu terjadi. Jono juga merasa kagum karena Jamal memiliki komputer yang tidak setiap orang punya. Mesin ketiknya menjadi seolah nenek tua yang berisik disbanding komputer Jamal yang tenang dan bersinar.

*****

Seiring waktu, Jono mulai memahami setiap karakter teman-teman satu kontrakannya. Mereka semua rata-rata baik, tapi menurutnya agak membosankan karena tak bicara sastra sama sekali. Karnaji bahkan lebih suka berbisnis yang ia sebut multi level makerting (MLM). Satu-satunya buku yang dia baca dan selalu diceritakan sebagai kitab suci adalah buku motivasi. Buku itu ditulis oleh orang Amerika yang bermasa lalu kelam dan bermasa depan gemilang, karena miskin dan ditolak cintanya membuatnya ingin balas dendam – yang entah kebetulan atau disengaja, juga bernama Carnagie. Dalie Carnagie. Mirip namanya dalam lafal Indonesia. Karnaji ini, hampir setiap waktu selalu mencoba memengaruhinya teman-temannya, termasuk dirinya agar menjadi bagian dari bisnisnya. Seringkali Karnaji berkumpul besama teman-temannya dan melakukan semacam presentasi dan mengajaknya bergabung saat ia tengah membaca buku sembari tiduran. Mereka berkumpul di ruang depan seperti sekumpulan pemuda-pemuda revolusioner radikal, yang bergerak seolah untuk sebuah gerakan perubahan yang hendak menggoncang keangkuhan dunia.

“Kita bisa sukses!” Teriak Karnaji dan diikuti para aktivis itu, serta ditutup dengan tepuk tangan meriah.

Mekipun sempat terpesona dengan penjelasan Karnaji tentang bagaimana mendapatkan uang dengan mudah, serta semangat yang ditularkan para pemuda itu, tapi Jono Winoto tak pernah mengatakan bersedia bergabung. Ia merasa itu bukan dunianya. Kegiatan itu terlalu remeh bagi dirinya yang menganggap dirinya sebagai seorang sastrawan yang lebih mulia. Seorang intelektual yang tabu bicara uang. Jono justru merasa heran, bagaimana mungkin mereka adalah manusia yang beradab. Setiap hari yang mereka pikirkan hanyalah uang dan uang. Mereka begitu bersemangat dan berubah agresif untuk membuatnya bergabung.

“Pikirkan masa depanmu,” kata salah satu dari mereka secara provokatif sekaligus agitatif. ”Kamu hanya butuh sedikit waktu dan akan segera membuatmu pensiun. Biarkan uang bekerja untukmu.”

“Bagaimana bisa?”

“Sistem yang akan bekerja. Kau hanya butuh bekerja keras mencari downline sebanyak-banyaknya.”

Jono terdiam. Tapi perasaannnya seperti berada di antara dua jurang yang mengancamnya. Dia mengangguk, tapi diam-diam pergi menghindar dari Karnaji dan teman-temannya yang baginya sungguh menyeramkan sejak saat itu.

****

Berbeda dengan yang lain, Lilik Sutiarso, wajahya jauh lebih tua dibanding yang lain. Kepalanya botak dan tubuhnya kekar dengan dada berbulu. Lilik ini semacam mahluk yang luar biasa, tampil semacam sufi asketis yang zuhud dan ajaib. Dia selalu terkesan tak pernah mempunyai uang lebih, seperti juga Jono sendiri, tapi selalu saja, secara ajaib tiba-tiba bisa mendapatkan uang yang dibutuhkan. Entah dari mana. Dari Lilik ini pula Jono Winoto berkenalan dengan banyak banyak teman-teman di luar lingkungan kosnya saat ini. Lilik punya pergaulan di banyak komunitas seni dan sosial lainnya.

“Mahasiswa harus bergerak demi perubahan,” kata Lilik suatu kali di kamar Jono seolah tengah berorasi, sembari matanya mencari botol kopi dan gula.

“Ada kopi di pojok,” tunjuk Jono yang tahu arah mata Lilik. Mendengar itu, tanpa basa-basi lagi, Lilik berhenti bicara, dan segera ke dapur untuk memasak air.

“Kita ngopi, merokok dan berdiskusi tentang nasib bangsa kita,” ujar Lilik sembari menuang air panas dari panci berpantat hitam ke dalam dua gelas yang ia siapkan.

“Kenapa memangnya?”

“Kenapa?

Lihat selengkapnya