KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #6

KISAH 6

KISAH 6

 

Semakin lama dikurung oleh rutinitas yang datar, Jono mulai merasakan betapa bosannya melakukan kegiatan belajar di dalam kelas. Ditambah rasa malu untuk pulang demi mendapatkan jatah bulanan yang dia tahu betapa orangtuanya susah payah mendanainya selama ini. Meskipun dengan alasan demi pendidikan, memaksanya untuk tetap sekolah. Karena tak segera menemukan lingkungan yang membuatnya bersemangat, Jono mulai berpikir kembali pada kegiatan yang lebih menyenangkan, yaitu melamun seperti kebiasaan para penyair dan pengarang malas. Terus berpikir dan berimajinasi tentang dunia ide, membicarakan karya-karya sastra dunia yang tak ditanggapi serius oleh teman-temannya. Namun tetap saja, kertasnya di atas mesin ketiknya tak kunjung terisi dengan huruf-huruf. Dia hanya menumpuk kertas-kertas yang gagal orgasme di pojok kamar kosnya yang mirip gudang. Dan semua itu menjadi semakin sepi ketika mesin ketiknya, dengan sebuah alasan demi menyelamatkan keadaan hidupnya, ia gadaikan di pengadian di tengah kota. Dengan uang itu, dia menyemangati dirinya dengan membeli beberapa buku di loakan dan makanan yang lebih manusiawi.

Suatu kali, saat ia bergegas pulang dari kampus dan ingin bersantai di kamar – di depan pintu gerbang dekat pos satpam, Lilik Sutiarso mencegatnya dengan vespa yang ia namai Santi. Katanya, sore ini ada acara di Rumah Studi Sastra.

“Tak usah pulang dulu. Ikut aku, nanti kamu aku kenalin dengan temanku.”

“Acara apa?” Jono bertanya penasaran.

“Ikut saja. Kamu kan sastrawan, jadi ya ikut saja kumpul di sana.”

Jono Winoto selalu senang mendengar dirinya disebut sebagai sastrawan oleh Lilik, meskipun belum satu karyapun diselesaikan atau dipublikasikan. Bahkan dalam majalah dinding sekalipun. Ini adalah waktu yang dia tunggu untuk memperluas pergaulannya di kalangan sastrawan di Jogja. Apalagi diajak berkumpul di sebuah kelompok seni dan sastra. Perasaannya menjadi bersemangat. Langsung saja dia melompat duduk di atas jok vespa milik Lilik yang masih menyala. Dalam beberapa detik yang cepat vespa itu meluncur menjauh dari kawasan kampus.

*****

Setelah setengah jam perjalanan melewati jalanan yang mulai padat dengan kendaraan bermotor, spanduk dan baliho iklan, mereka sampai di pinggiran kota. Lilik mengarahkan vespanya memasuki pemukiman padat dan masuk di sebuah halaman yang lumayan luas yang dipagari oleh tanaman rambat teh siam dan beberapa pohon asem londo yang besar. Di depan pohon asem besar itu berdiri bangunan yang cukup besar bergaya kolonial dengan cat hijau berpadu kuning. Beberapa motor dan sepeda onthel terpakir tak rapi di depan terasnya. Jono melihat beberapa anak muda berambut panjang dan hampir semuanya mengenakan kaos atau pakaian berwarna kusam. Baik itu karena sudah tua atau memang jarang dicuci. Perasaannya tiba-tiba terasa sejuk, seolah ia tengah masuk dalam taman surga yang dipenuhi bunga warna-warni, tanpa sengatan panas yang membuatnya berkeringat. Jono melihat sekumpulan pemuda kusam itu sebagai para pahlawan yang gagah berani.

*****

Di sana, mereka disambut pemuda berambut ikal dan panjang dengan tubuh kurus namun tak seberapa tinggi. Tapi suaranya begitu kuat dan bulat. Lilik memperkenalkan pada Jono Winoto.

Lihat selengkapnya