KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #7

KISAH 7

KISAH 7

 

“Sintya?”

Jamal dengan rasa penuh curiga menjawab pertanyaan Jono dengan pertanyaan. Jamal curiga kenapa Jono tiba-tiba ingin tahu nama lengkap salah seorang temannya. Karena dianggap menganggunya, Jamal tak mau memberikan informasinya. Upaya menggali informasi yang gagal itu membuat Jono berada dalam ketidakpastian. Namun, memang tak ada yang bisa dilakukannya terhadap gadis yang tiba-tiba menjadi pujaannya itu, kecuali mengangankannya. Jono Winoto hanya mengingat Sintya sebagai ingatan anak-anak pada mainan yang diinginkannya. Matanya yang teduh dan bercahaya, suaranya yang seindah penyanyi pop cengeng nan manja, dan tubuhnya yang dipenuhi magnet-magnet ajaib dan menggetarkan hingga ke tulang sumsumnya. Darahnya turun naik melewati jaringan pembuluh darahnya dan mengendap lama di bagian bawah tubuhnya, hingga kemudian menimbulkan efek ketegangan yang sensasional pada selangkangan yang membuatnya tersiksa selama berhari-hari. Sensasi perasaan itu membuat Jono merasakan demam pada tubuhnya setiap malam atau pagi, yang sukses memotong waktu dari pagi hingga pagi berikutnya serupa perjalanan kilat yang cepat.

Namun, keadaan itu juga secara ajaib membuat Jono Winoto seperti memiliki enerji besar untuk bertekad mengisi kertas-kertas putih yang sekian bulan tanpa noda tinta, dengan puisi-puisi cinta. Karena mesin ketiknya tengah berada di pengadaian, Jono hanya bisa menuliskannya dengan sebuah pulpen murah yang tintanya antara basah dan kering. Ia mulai dengan sebuah kata tanpa tujuan dan seringkali macet untuk sekian detik, dan akhinya berhasil menampakkan hasil berupa satu bait puisi sebagai berikut:

Kau bayangan di cakrawala

angsa putih melintasi waktu

di mana sekuntum bunga tumbuh

di antara pelerku.

*****

Setelah sekian menit yang melelahkan dalam upaya menghasilkan kalimat-kalimat puitis lainnya, Jono Winoto biasanya berbaring di atas kasur kusamnya untuk maksud yang lebih produktif. Mengumpulkan enerji, memeras daya imajinasinya dengan memejamkan mata – dan dengan demikian, seperti biasanya, semua berakhir dengan ingatan yang hilang, karena daya khayalnya berubah menjadi mimpi yang tak berbentuk di dalam tidur berjam-jam kemudian.

Ingatan pertama ketika terbangun kemudian, adalah nama Sintya, dan hal itu membuatnya mengeluh karena menyadari benturan kenyataan dan rasa rindu yang begitu menyiksanya kembali. Dengan sebuah gerakan merayap yang mirip tentara yang tertembak dalam sebuah pertempuran, tangan Jono Winoto meraih kertasnya yang berisi satu bait puisinya. Ia membacanya dengan serius setiap kata dan mencoba menimbang apakah perlu menambahkan beberapa bait, sebelum kemudian rasa lapar menyergapnya tanpa ampun. Rasa lapar itu, meskipun satu-satunya yang mampu melemahkan segala bayangan Sintya, namun tak mampu menyingkirkan sepenuhnya. Dengan rasa malas dia bangun, mengambil kaos dan sedikit sisa simpanan uang dari dompetnya yang tergeletak lesu di lantai –segera pergi ke warung makan sebelah kontrakan untuk mendapatkan sepiring nasi putih, sejumput mie goreng, tiga sendok sayur kubis dan dua tempe goreng dengan sambal yang pedas. Menu itu setidaknya mampu mengganjal perutnya hingga delapan jam ke depan.

*****

Ketika rasa rindunya semakin parah di hari-hari berikutnya, Jono Winoto tidak saja semakin rajin menggauli kertas-kertasnya, tapi juga semakin sering masuk ke dalam kamar Jamal demi mendapatkan informasi, sekaligus membangun imajinasi tertentu agar bayangan Sintya menjadi tampak lebih nyata. Ia menggunakan Jamal sebagai tubuh perantaranya. Setiap tema perbincangan yang umum, tiba-tiba ia tarik dan persempit menjadi perbincangan tentang Sintya. Jamal sendiri menjadi jengkel karena harus mengulang-ulang informasi yang diberikan. Setelah mengulang yang ke seribu kali menurut hitungan Jamal sendiri, dia mulai curiga.

“Ini sudah seribu kali kusampaikan ya,” dengus Jamal mulai terdengar jengkel. “Ada apa sih? Kamu naksir?”

“Bukan naksir,” kelit Jono.

“Aku suka dia baca puisi. Bagus sekali.”

“Dia memang seperti penyair, tapi bukan penyair.”

Lihat selengkapnya