KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #9

KISAH 9

KISAH 9

 

Jono Winoto mulai betah berada di markas Rumah Studi Sastra yang dihuni oleh beberapa pemuda, selain Jatmiko. Terkadang ia bertemu Jatmiko dan mengobrol secara serius tentang sastra, atau kadangkala ia mencoba menyelipkan obrolan yang mengarah pada profil Sintya. Sayangnya, Jatmiko, atau siapa saja di sana, tak ada yang bisa memberikan informasi yang cukup memuaskan bagi kebutuhannya, yang secara malu-malu selalu muncul begitu saja seperti anak kecil yang menginginkan kue coklat.

Di dalam komunitas itu, Jono Winoto mengenal beberapa karakter yang ia catat di dalam hatinya sebagai pujian maupun kritik paling sinis. Jatmiko, misalnya, adalah tipe disiplin yang selalu menggembleng diri dengan pelbagai latihan olah vocal, olah tubuh dan rajin melakukan retret karena ia juga seorang aktor teater. Jatmiko juga selalu merekam berlatih poetry reading. Puisi-puisi WS Rendra, seperti Nyanyian Angsa, Rick Dari Corona dan Sajak Pertemuan Mahasiswa adalah puisi-puisi yang sering dibacakan. Gaya membacanya juga tak menyimpang dari gaya penyair besar itu. Kritiknya pada Jatmiko lebih berupa perasaan anehnya pada rambut Jatmiko yang menurutnya lebih tinggi ketimbang tubuhnya.

Pernah, suatu ketika dia diajak Jatmiko ke pantai selatan dengan berjalan kaki untuk melatih vocal dengan poetry reading. Ketika mereka hampir sampai setelah maghrib, mereka menemukan perkemahan perkumpulan mahasiswa di sebuah lapangan. Jatmiko berinisiatif mendatangi mereka untuk meminta sedikit air dan makanan. Setelah berbicara, salah satu ketua perkumpulan itu meminta Jatmiko dan Jono membaca puisi pada acara renungan malam. Jatmiko membaca puisi di depan api unggun yang berkobar. Cara bacanya memukau hingga orang-orang bertepuk tangan. Jono pun demikian, dia membaca, tapi jelek, semua orang pun tepuk tangan. Karena malu, Jono mengambil dompet salah satu peserta.

“Mereka harus membayar karena sudah mengejekku,” kata Jono memberi alasan.

Nurul agak beda, dia adalah seorang aktor yang idealis dan selalu diliputi oleh kemarahan dan ketidakpuasan atas semua kondisi berkesenian yang ia hadapi. Ia mencaci semua nama orang sebagai tak tahu makna berteater, kecuali dirinya sendiri. Tapi, Nurul, meskipun demikian adalah orang yang baik, terutama pada Jono. Tapi tentu saja semua kebaikan Nurul hilang tertutup oleh temperamennya yang mudah berkobar. Tak banyak orang di sekitarnya berani bicara lama dengan Nurul karena takut salah bicara, terutama ketika membicarakan teater.

Selain itu, Jono Winoto juga mengenal Teguh yang sebelumnya menempati kamarnya. Ia adalah juga seorang aktor teater yang diyakini teman-temannya memiliki totalitas yang memberikan dampak, tidak saja bagi Teguh secara keaktoran, tapi juga hukum alam dan hukum pidana. Setiap kali mendapatkan peran, ia selalu mampu ‘menjadi’ perannya secara menakjubkan baik di panggung atau di luar panggung. Dan itu dibuktikan tidak saja penghargaan yang diterimanya sebagai aktor terbaik dalam festival teater, tapi juga hukuman penjara selama satu tahun sedikitnya, karena begitu totalnya ketika menghayati perannya menjadi pencuri di luar panggung.

“Aktor harus menjadi,” katanya tenang saat teman-temannya menjenguknya di penjara. ”Benar-benar harus menjadi.”

“Tapi kenapa harus benar-benar mencuri?” Tanya temannya.

“Itu totalitas,” jawab Teguh. “Kau tak bisa ‘menjadi’ jika tak menjadi pencuri.”

Mereka, meskipun teman yang baik dan mendukung setiap langkah keaktorannya, namun, karena tak ingin menjadi bagian obyek langsung dari latihan pemeranan yang totalitas itu, biasanya segera memutuskan mengamankan barangnya bila Teguh tampak berada di sekitar mereka.

Selain Teguh, salah satu penghuni Rumah Studi Sastra yang paling membuat Jono terkesan adalah Waringin, terutama isi kamarnya. Di kamarnya yang seluas tiga kali empat meter persegi itu dikelilingi oleh rak yang berisi ratusan buku dengan koleksi pelbagai buku yang membuat Jono merasa cemburu dan memberikan kesan betapa Waringin adalah seorang yang memiliki pandangan seluas dunia dan sedalam hati manusia. Meskipun kenyataannya sungguh mengejutkan. Buku-buku itu ternyata hanya tersimpan rapi di rak. Tak ada seorangpun yang boleh menyentuh – bahkan Waringin sendiri. Karena menurut Waringin, buku-bukunya adalah koleksi yang sangat berharga. Lebih berharga dari nyawanya. Saking berharganya, Waringin menjaga kerapiannya dengan begitu seksama dan tak berani membukanya sebab takut kertasnya terlipat.

****

Lihat selengkapnya