KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #10

KISAH 10

KISAH 10

 

Malam kelam sehabis hujan di bulan Februari. Udara atis nan dingin. Jalanan sunyi dan lengang menuju rumah Sintya, tepat di perempatan jalan menuju Merapi. Hanya ada beberapa orang jalan kaki berpayung disalip kendaraan bermotor. Orang-orang menghindar keluar rumah demi kehangatan. Sintya membaca surat yang dikirimkan Jono Winoto di dalam kamarnya yang bersih dan wangi. Ia duduk di pinggir ranjang berseprei putih bersih. Jamal, memberikan surat itu Ketika bertemu di perpustakaan fakultas. Kata Jamal dia mendapatkan seorang penggemar dan sepotong surat. Sintya hanya menyelipkannya sambil lalu di dalam bukunya Memories, Dreams and Refelection karya Carl Jung. Sementara itu, ia meneruskan membaca novel The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald yang bercerita tentang seorang pria yang mengejar cinta lamanya. Novel yang dipenuhi motif psikologis pada setiap tokohnya. Ia masih hanyut dalam novel itu sampai akhirnya tanpa sengaja buku Carl Jung jatuh dari meja dan selembar amplop biru melesat keluar seperti burung camar menukik. Ia mengambilnya. Meskipun tak tertarik pada awalnya, tapi karena ia membaca kalimat yang tertulis di sampul yang cukup norak, “Dari Penggemar Gelap” – Sintya segera saja menjadi penasaran untuk membuka amplop dan membacanya.

Ia kaget ketika tahu pengirim surat adalah Jono Winoto. Pria kurus bermuka sendu yang sempat ia kenal seadanya di Rumah Studi Sastra. Ia mencoba mengingat-ingatnya, percakapan apa yang sempat mereka lakukan. Tapi ia tak menemukan satupun percakapan yang cukup layak dikenang kecuali perkenalan seadanya lewat Jatmiko setelah ia membaca puisi. Tapi ketika ia datang sebentar untuk menyampaikan pesan Bended di Rumah Studi Sastra, ia tak melihat Jono. Dengan perasaan yang diliputi penasaran, Sintya membaca surat Jono Winoto.

*****

Sintya yang baik,

Maaf saya telah lacang mengirim surat ini untukmu. Saya tak bisa menahan diri untuk menulis surat ini setelah saya melihatmu membaca puisi beberapa waktu lalu. Saat itu saya kebetulan diajak teman saya untuk menghadiri kegiatan Rumah Studi Jono. Saya tidak menyangka bahwa acara itu semacam takdir yang dikirim Tuhan agar saya menyaksikan bidadari surga membaca puisi.

Pada bagian awal surat ini Sintya berhenti untuk tertawa, meskipun ia tak bisa menyangkal betapa ia merasa senang dan tersanjung dengan bualan Jono Winoto yang kemudian ia tetapkan sebagai pria dalam daftar aneh sementara. Di luar terdengar hujan mengguyur atap rumah. Dengan segera ia harus menutup jendela kamarnya. Setelah kembali ke ranjang, ia membaringkan dirinya tanpa melepas surat itu. Ia kembali membacanya.

...Ketika saya melihatmu, semua dunia saya tertutup oleh bayanganmu yang tak mungkin saya lawan. Saya tak melihat pintu untuk keluar. Saya sadar bahwa apa yang saya lakukan ini terlalu dini, tapi saya menyampaikannya agar saya merasakan kelegaan. Saya juga sadar bahwa saya tak boleh menuntut atau berharap apa pun. Tapi saya hanya boleh berharap kita bisa menjalin pertemanan yang barangkali akan memberikan manfaat.

Surat itu diakhiri dengan kata salam dan dibubuhi tanda tangan serta nama terang: Jono Winoto.

*****

Hampir dua bulan setelah mengirim surat, Jono Winoto tak mendapatkan balasan yang ia harapkan. Meskipun akal sehatnya menerima logika bahwa hanya ada sedikit kemungkinan Sintya akan membalas suratnya, apalagi dengan suasana hati yang sama dengan apa yang ia rasakan, tapi Jono, tetap saja memelihara harapannya. Dengan alasan itu pula, ia memutuskan lebih sering berada di kosnya agar bisa segera menerima informasi langsung dari Jamal. Tapi Jamal, bahkan jarang tampak di kos, dan lebih sering berada di Temanggung. Keadaan itu membuatnya lebih banyak membaca buku dan berhasil menyelesaikan menulis dua buah cerita pendek bertema cinta yang aneh. Dengan harapan yang lebih positif, Jono kemudian mengirimkannya ke surat kabar lokal. Dan karena jarak kantor media itu tak begitu jauh, dua cerpennya yang terbungkus dalam sebuah amplop putih, ia bawa langsung ke meja redaksi dengan sebuah sepeda. Jatmiko yang memberinya saran itu.

 “Kirim langsung saja ke redaksi, tak usah pakai pos.” Saran Jatmiko ketika ia bertanya bagaimana mengirim karya.

*****

Begitu bersemangatnya dirinya atas harapan yang ia tanam, setiap kayuhannya menuju alamat koran, menjadikannya seperti seorang pahlawan perang yang tengah menyonsong kemenangan yang begitu bernilai. Sepanjang jalan, setiap tatapan mata orang, seolah mengerti bahwa dirinya adalah seorang sastrawan yang berwibawa. Sensasi perasaan itu berhasil membuatnya percaya diri. Meskipun ia harus menunggu dengan perasaan was-was, apakah redaktur bersedia memuatnya karena menganggap layak. Ketika ia membaca satu edisi koran yang memuat puisi-puisi Jatmiko di meja tamu kantor redaksi, hatinya setengah meradang karena cemburu, dan rasa cemburunya naik pada garis yang hampir menyamai rasa cemburunya pada Danu Wirya. Ada perasaan yang tiba-tiba menggebu untuk sampai pada capaian Jatmiko. Ia telah beberapa kali membaca karya-karya puisi dan esai milik Jatmiko di beberapa koran lokal, yang menurutnya begitu berwarna penyair WS Rendra. Meskipun demikian, menurutnya puisi-puisi Jatmiko memiliki pesona bunyi sendiri dan kaya makna. Tulisannya sendiri menjadi lebih baik setelah menjadi bagian Rumah Studi Sastra. Setidaknya bila mengingat bahwa ia jarang mampu menyelesaikan tulisannya dengan tuntas

*****

Jatmiko yang memiliki keseriusan dan keuletan dalam mengorganisir kelompoknya, terkadang merasa jengkel dengan sikap Jono Winoto yang dianggapnya terlalu rumit dan terkesan ogah-ogahan dalam membantunya membuat kegiatan yang lebih berwarna. Begitu mudah membaca apa yang ada dalam pikiran Jono, yang bagi Jatmiko adalah perkara kotor yang merusak kemajuan, ia menuntut Jono Winoto agar berpikir lebih jernih.

“Otakmu jangan sampai mampet hanya gara-gara perempuan,” tegur Jatmiko ketika mengunjunginya.

Tapi, bagi Jono, Sintya bukan sekadar persoalan perempuan. Ia merasa ini soal perasaan yang harus ditetapkan, di mana perahu hati harus ditambatkan pada dermaga yang tenang dengan angin sepoi yang menyejukkan. Ia juga merasa mewarisi sifat ayahnya yang memiliki jiwa seekor harimau Jawa yang mampu setia pada pasangannya, yaitu ibunya. Dengan kepolosannya dalam persoalan asmara, Jono menganggap bahwa Sintya adalah pasangannya, tulang rusuknya yang hilang dari tubuhnya. Suatu saat ia akan kembali melengkapi di dalam dirinya. Meskipun terkadang ia sadar bahwa dirinya hanya terjebak dalam mimpi. Ketika kesadaran itu muncul, semangatnya menjadi kendor dan menerima kenyataan. Jika Lilik, Jamal dan Fuadi apalagi Karnaji, tak begitu peduli dengan urusan asmaranya, Jatmiko berbeda, ia memberikan dorongan untuk menjaga optimismenya, meskipun pada tingkat yang nyaris fatal, di mana emosinya terlalu larut dalam larutan kimia cinta yang hanya menguar dari dalam dirinya sendiri, Jatmiko mengingatkannya.

*****

Dalam sebuah kesempatan yang tak terduga, Jono Winoto seperti mendapatkan kejutan luar biasa, ketika tiba-tiba Sintya datang kembali dalam acara Rumah Studi Sastra bersama Bended di suatu sore menjelang senja. Saat itu ia berada di teras bersama beberapa anggota kelompok lainnya, ketika sebuah mobil sedan merah masuk di halaman. Seluruh otot sendinya menegang dan tubuhnya lengket pada bangku kayu panjang yang ia duduki. Matanya memandang cemas bercampur harapan yang ragu dan membuat jantungnya berdetak seratus kali lipat dari biasanya, ketika wajah Sintya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya sepanjang waktu ini, muncul begitu saja dikuti Bended, secara bersamaan rasa malu yang menguasai hatinya, mengingat bahwa suratnya tak pernah dibalas. Beruntung salah tingkahnya ini tak terlihat mencolok di mata teman-temannya yang dengan antusias tengah menyambut Bended. Ia ikut menyambut dengan sikap wajar yang dibuat-buat sedemikian rupa, seolah tak menyimpan masalah apapun sebelumnya.

****

Sintya sendiri tampaknya sudah melupakan surat itu, bahkan ia tampak tak mengingat sosok Jono sama sekali, ketika tangan mereka saling berjabat di teras. Ketika semua berbicara, Jono hanya mencuri-curi pandang ke arah Sintya yang tengah bicara bersama Jatmiko dan Bended. Ia mengambil jarak dan mencoba menyembunyikan dirinya di antara kursi dan tubuh temannya. Perasaannya tiba-tiba menjadi seperti di antara panasnya gurun Gobi, tersesat dan tak tahu arah jalan kembali. Dalam telinganya seolah berdengung ribuan lebah yang membuatnya hilang kosentrasi dan oreintasi. Jatmiko yang tahu persis apa yang tengah terjadi pada Jono Winoto, dengan sengaja memanggilnya saat Jono tengah sekuat tenaga berupaya membangun rasa percaya dirinya yang tiba-tiba ambruk begitu saja.

Sintya tersenyum pada Jono, saat Jatmiko dengan gaya khasnya memperkenalkan mereka. Jono mencoba menafsir arti senyum dan tatapan mata Sintya yang sulit ia terka dengan ketepatan yang ia inginkan. Saat mulut Sintya mengucap huruf vokal ‘O’ saja dari mulutnya, Jono tiba-tiba merasa seperti maling yang tertangkap basah. Jantungnya berdegup dalam satu detik yang cepat. Bended dengan keramahannya juga menyambut perkenalan itu dengan mengatakan bahwa Rumah Studi Sastra ini dipenuhi satrawan muda berbakat. Basa-basi Bended itu cukup membantu keadaan Jono yang memang membutuhkan pengalihan akibat wajahnya yang sepucat mayat. Jatmiko pun ikut memuji Jono dengan mengatakan teman yang memiliki bakat langka. Perbincangan kemudian menjadi lebih lancar, meskipun Jono lebih banyak diam terkurung dalam kecemasannya sendiri.

*****

Sepanjang acara berlangsung, Sintya terus menerus memperhatikan Jono Winoto yang tengah berpikir keras demi menyelamatkan dirinya dari rasa malu. Suratnya yang jelas menyatakan perasaannya agak membuatnya menyesali diri. Namun meskipun demikian, ia masih merasa bahwa Sintya bukanlah gadis yang sombong. Dan untuk itu ia berencana akan mengatakan maaf saja atas kesembronoannya mengirim surat. Itu akan terasa lebih jantan, pikirnya. Namun Jono tak perlu melakukan itu, karena saat berpamitan, tanpa disangka Sintya memberinya sepucuk kertas yang terlipat. Kenyataan itu membuatnya merasa seperti mendapatkan wesel dari sebuah surat kabar besar yang derajatnya berisi kemuliaan dan uang yang sangat dibutuhkan. Bergegas dia membacanya setelah ia masuk di dalam kamar. Sintya hanya menulis pendek, namun dengan efek yang jauh melampaui garis masa lalu dan masa depan. Dengan pulpen berwarna biru tua, Sintya menulis dengan huruf kapital: “TERIMA KASIH YAH, SUDAH MENGIRIMI AKU SURAT!”

Tulisan pendek itu dibaca Jono setidaknya sekitar seratus kali diiringi senyuman setengah mabuk, seolah dirinya tengah membaca karya sastra panjang nan indah. Matanya tak mau lepas sepanjang satu jam lebih dari kertas bergaris yang tampaknya didapatkan dari menyobek buku tulis merk Hallo Kity. Ia tak menyangka bahwa dari tangan Sintya sendirilah ia menerima balasan suratnya yang berbulan-bulan ia tunggu dalam perasaan yang penuh siksaan. Dengan fakta ini, ia mulai berpikir lebih, bahwa ada peluang yang bisa ia dapatkan –dan untuk itu, hanya perlu sebuah langkah yang –dalam bahasanya, lebih puitis untuk mengambil hati Sintya dan menggeser posisi Danu Wirya. Setidaknya ia meyakini bahwa waktu bisa membuat perubahan yang berbeda. Tidak ada yang pasti di masa depan, kecuali kematian, katanya dalam hatinya.

*****

Bagi Sintya, apa yang dia lakukan pada saat itu adalah sekadar untuk sopan-santun pergaulan. Ketika ia melihat pria yang mengiriminya surat, dan kemudian ingat surat yang dikirimkannya, tiba-tiba muncul perasaan sungkan jika tidak merespon surat itu –sementara di hadapannya ia melihat wajah yang kuyu dan malu. Dengan memberikan surat terima kasih itu, setidaknya ia sudah melakukan hal yang baik. Meskipun dengan demikian, ia tidak mempertimbangkan dampak apa yang akan terjadi pada dirinya di masa-masa mendatang.

Usai menerima surat pendek itu, Jono menjadi yakin bila dirinya memiliki peluang merebut hati Sintya. Dengan diliputi gelombang perasaan yang sulit ia tahan, ia menjadi tak kuat untuk tidak mengekspresikan perasaannya. Maka, dengan diliputi hasrat yang semakin buta, ia mengirimkan surat kembali pada Sintya. Dengan semua rujukan literasi puitis yang ia coba tiru habis-habisan, ia merasa memiliki kekuatan perasaaan.

Sintya yang baik,

Aku tak bisa lagi menahan diri untuk tidak membalas suratmu yang kau berikan padaku. Surat itu, aku tahu, hanya pendek dan berisi ucapan terima kasihmu, tetapi aku tak bisa membohongi diriku bahwa surat itu adalah jiwa yang hidup dan memancarkan cahaya pagi yang hangat dan sempurna dalam jiwaku. Aku sangat berterima kasih atas ucapanmu itu.

Sintya, Aku juga harus meminta maaf atas kenekatanku mengirimimu surat lagi. Aku sendiri tak bisa mengerti mengapa aku melakukannya, bahkan ketika aku tahu dirimu merasa tidak nyaman karena seseorang yang belum kau kenal benar memberimu badai hujan kata-kata yang tak berguna. Tapi, sejujurnya, niatku adalah tulus, tanpa keinginan untuk menganggumu. Untuk itu, perkenankanlah aku mengenalmu lebih dekat, setidaknya sebagai sahabat. Sebab, hidup ini tak lagi sempurna tanpa sahabat yang ada di hati. Namun, jika engkau tak menginginkannya, aku tak mampu menjadi pemaksamu. Jika demikian, biarlah aku menjadi punguk yang selalu merindukan bulan. Itu mungkin lebih baik bagiku.

Maafkan aku sudah menjadi pengganggumu. Sekali lagi, terima kasih atas balasan suratmu kemarin.

Jono Winoto

*****

Ketika Rumah Studi Sastra menggelar acara rutin di Gunung Merapi, Jono sekali lagi tak menyangka bisa bertemu Sintya tanpa ia duga. Kejutan itu membuatnya tampak senang, namun jelas sekali ia merasa kikuk. Ketika ia menyapa, suaranya seperti mengandung getaran yang meruntuhkan karang-karang kepercayaan dirinya sendiri. Karena tak ingin terlihat bodoh, ia segera menjauh setelah Sintya memberinya salam balasan. Tapi karena tak ingin menghilangkan kesempatan itu, ia meminta pada Jatmiko untuk memberinya tenda yang tak jauh dari Sintya.

Sepanjang sore itu, Jono Winoto menyibukkan dirinya ikut mempersiapkan perekemahan tanpa perlu mengeluhkan teman-temannya yang hanya duduk-duduk merokok. Dengan sebuah dedikasi yang tampak berlebihan sebagai alasan khusus, ia ikut menyiapkan tenda yang di dalamnya nanti Sintya menempati bersama beberapa gadis lain. Sementara itu, otaknya dipenuhi dengan pelbagai pertanyaan tentang keberadaan Sintya, mengingat bahwa gadis pujaan hatinya itu bukan anggota kelompok. Ketika ia tengah mengikat tali jemuran di antara dua pohon, tiba-tiba Sintya menyapanya. Meskipun ini merupakan kejutan yang lain, tapi Jono sudah mampu memulihkan rasa percaya dirinya kembali. Ia melihat mata Sintya dan mengatakan apa saja yang bisa ia lakukan untuk membantunya, ia merasa senang melakukan. Sintya dengan setiap geraknya yang membuat Jono lemas karena mengalami abrasi pertahanan mental, mengatakan di sini ia sengaja ikut acara karena memang ingin bicara dengannya.

“Nanti malam kita bicara,” kata Sintya.

“Baik,” jawabnya tenang, seolah tak ada gemuruh dalam jiwanya.

*****

Perasaan Jono Winoto seperti terbuka dan lepas, seolah melihat padang luas membentang dengan angin semilir yang menggoyang seluruh pucuk ilalang, meskipun di sekitarnya adalah pohon-pohon pinus tegang menjulang. Bibirnya tersenyum lebar membentang membentuk garis lengkung dan memperlihatkan giginya yang lumayan bagus. Sementara di pipinya yang kuning pucat, muncul rona merah. Seolah dalam tubuhnya berisi cukup nutrisi yang lumayan berlimpah. Sintya sendiri tersenyum kecil dan terasa sedikit terpaksa, sebelum kemudian meminta diri dengan meninggalkan gelombang aneh yang menyihir kesadaran Jono. Tak pelak lagi, akibat peristiwa yang tak didua-duga itu, batok kepalanya yang selama ini penat seperti mengalami sensasi bayangan cahaya berkelap-kelip dan dipenuhi keyakinan bahwa Sintya punya rasa suka padanya. Namun, perasaan dan bayangan yang membuatnya tak lagi berpikir logis itu tiba dipatahkan oleh kesadaran sendiri bahwa harapannya itu hanyalah ilusi.

*****

Malam itu, usai acara semacam seremoni yang dipenuhi dengan puisi, pidato kebudayaan yang membosankan serta aksi teatrikal yang amatiran, Jono keluar diam-diam dari kerumunan orang dan asap yang mengepul, untuk menemui Sintya di sebuah cangkrung bambu di antara jembatan kecil –disertai detak jantung yang bagai genderang perang prajurit Chin. Ia menunggu dengan kesabaran seekor laba-laba menunggu mangsanya. Mungkin sekitar setengah jam waktu yang dibutuhkannya untuk menanti, tapi baginya menjadi penantian sepanjang usia. Ketika sebuah bayangan tampak mendekat, ia tahu itu adalah Sintya. Bahkan jika itu bukan Sintya sekalipun, pasti ia akan menyangkanya demikian. Karena harapan adalah perkara hasrat untuk terus menunggu. Dan itu menimbulkan problem ilusi.

*****

Di antara sorak sorai suara dan nyanyian Iwan Fals yang berbunyi kumenanti seorang kekakasih di seputaran api unggun yang menggeliat-liat seperti penari perut Timur Tengah, Sintya muncul. Kepalanya mengenakan topi gunung rajut berbahan wol warna merah marun. Sementara lehernya melilit syal wol kotak-kotak hitam putih menutup blus dan jaketnya. Wajah halusnya masih terlihat mengkilat dengan mata jeli dan besinar, walaupun di antara keremangan malam. Jono Winoto menyambutnya dengan berdiri seolah menyambut seorang putri kerajaan. Dengan langkah yang halus namun percaya diri, Sintya menyapanya dan langsung menempatkan dirinya duduk di cangkrung bambu. Hawa atis pegunungan menyentuh lembut kepala, pipi dan telapak tangan Jono yang berdiri menghadap Sintya yang duduk bagai patung beku. Tak ada yang mulai berbicara, kecuali hati mereka sendiri. Jono mengusap telapak tangannya sebelum memulai bicara dengan mengeluhkan rasa atisnya untuk mencairkan kebekuan itu.

Lihat selengkapnya