KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #11

BAGIAN DUA

KISAH 11

Kekasaran Danu Wirya nyaris membuat Jono Winoto kalap. Setiap mengingatnya, membuat api amarahnya meluap dan berkobar seperti api dalam air laut yang menerjang daratan. Dalam bayangannya, tangannya yang kurus seolah menjadi tinju seorang pendekar yang menghabisi musuhnya dalam sebuah pertarungan yang tak seimbang. Tapi kemudian dia merasa menjadi manusia paling tidak bernilai, dan untuk itu tidak pantas hidup. Tapi bunuh diri bukanlah jalan keluar bagi Jono yang takut mati dan tersiksa di alam yang tak pasti dalam bayangannya. Jadi, karena dia terbiasa menikmati rasa sakit dari jenis apapun, terutama cinta, dia hanya berbaring diam dan merenung tanpa melakukan apapun, seolah tak ada lagi masa depan yang harus dipikirkan. Ketika dia tengah merenung meratapi nasibnya, Jatmiko datang dengan rambut terurai basah, masuk kamar tampa mengetuk terlebih dahulu dengan rokok menyala di mulutnya. Mulutnya terbuka saat melihat Jono yang lesu, katanya, tak ada artinya seorang sastrawan yang tak terlibat dalam kehidupan yang luas. Orang muda butuh pengalaman hidup selain ditolak cintanya. Jono Winoto bergerak malas dari tempatnya berbaring dan berkata, “Aku tak ditolak cinta.” Jatmiko tertawa mendengar itu, dan sembari menepuk kaki temannya, dia berkata sabar.

“Bukan itu maksudku.”

“Lalu? Maksudmu aku harus mengalami penderitaan lain?”

“Bukan begitu, meskipun bisa jadi seperti itu.”

“Mengapa kau datang hanya untuk hal yang tak jelas?” Jono Winoto bangkit dari ranjangnya dan mengambil rokok dari tangan Jatmiko.

“Apanya tak jelas? Bahkan rokokku bermanfaat buatmu.”

Jono tak peduli dengan sindiran temannya. Dia menyulut rokoknya dan duduk di atas ranjang.

“Dengarkan ini,” kata Jatmiko, “aku mencoba menolongmu.”

“Menolong?”

“Dengarkan… ada pekerjaan yang ditawarkan. Mungkin hanya menjadi relawan, tetapi ada honornya. Tapi yang lebih penting pengalaman hidupmu akan bertambah.”

“Apa yang bertambah?”

“Bukankah penulis membutuhkan banyak pengetahuan lahir dan batin?”

“Baik, apa itu?”

“Ada tawaran untuk membantu mengajar sastra untuk anak jalanan.”

“Mengajar sastra?”

“Iya hanya program pendek. Tiga bulan.”

“Aku bahkan belum menghasilkan apa-apa.”

“Tapi tetap saja kau seorang sastrawan.”

Jono merasa tersanjung mendengar dirinya diakui sebagai sastrawan, dan itu cukup membuatnya menerima tawaran ketua Rumah Studi Sastra itu.

****

Langit terang bercahaya di langit yang menaungi jembatan yang di hadapannya sekitar dua puluh meter dari jalan berdiri rumah sederhana berpenghuni anak-anak jalanan yang asal-usulnya rata-rata sulit diketahui. Di sana seorang wanita muda bernama Farida berusia sekitar dua puluhan tahun mengurusi anak-anak jalanan dari usia delapan hingga dua puluh tahun. Jatmiko menemuinya dan memperkenalkan Jono Winoto yang berdiri canggung. Pikirannya sedikit kacau karena masih memikirkan bagaimana dia akan mengajar sastra, sementara dirinya sendiri juga masih dalam proses. Farida melihatnya dan memberikan senyumnya dan jabat tangan yang hangat.

“Dia Jono Winoto,” kata Jatmiko. “Dia yang akan mengajar.”

“Senang sekali ketemu sastrawan. Terima kasih sudah mau membantu,” kata Farida.

Jono setengah kikuk melihat Jatmiko, lalu pada gadis itu. Wajahnya agak pucat. Tapi dia menguatkan dirinya dengan berdiri tegak.

“Sebenarnya saya belum pantas mengajar. Saya sendiri masih dalam proses,” kata Jono demi menghindari harapan yang lebih.

“Tapi lebih tahu dari anak-anak itu,” kata Jatmiko. “Sudah, cukuplah basa-basimu.”

Farida tertawa menunjukkan gigi gingsulnya, dan menyilakan duduk serta menjelaskan bagaimana dia bekerja setiap harinya. Jono Winoto tampak kagum dengan penjelasan Farida yang menceritakan bagaimana dia mengurusi anak-anak jalanan. Tiba-tiba dirinya merasa malu sendiri karena hidupnya yang pas-pasan ternyata masih terlalu mewah dibandingkan nasib anak-anak jalanan di sini. Farida mengatakan bahwa mengajar sastra di sini adalah usul Jatmiko. Lalu, dia memberikan jadwal mengajar pada Jono Winoto yang kali ini tampak pasrah.

*****

Seperti yang telah dijadwalkan, Jono Winoto bertemu anak-anak yang bersedia datang belajar. Lima anak hadir di kelasnya. Udin adalah anak paling tua di antara yang datang. Usianya tujuh belas tahun dan dia punya gitar kecil untuk mengamen. Anak-anak yang lain adalah tiga anak perempuan berusia sekitar tiga belas tahun, dan anak laki-laki berusia enam tahun dengan ingus meleleh dari hidungnya.

“Baik, adik-adik,” kata Jono Winoto di hadapan mereka yang duduk di tikar dengan tatapan aneh. “Apa kalian suka sastra?” Anak-anak itu hanya diam memperhatikan, dan itu membuat Jono menjadi gugup. Dia berpikir keras agar bisa mengatakan sesuatu, tapi otaknya buntu. Tiba-tiba dia merasa membutuhkan anggur merah agar bisa bicara banyak seperti saat bersama teman-temannya. Alkohol membuatnya bisa bicara banyak meskipun tak ada yang mendengarkannya. Keringatnya mulai mengembun di dahinya.

“Sastra itu apa, Mas?” Tiba-tiba Udin bertanya setelah kebekuan yang terasa menyiksa. Jono tersenyum dan merasa sedikit lega, meskipun harus susah payah memikirkan jawabannya.

“Sastra itu sesuatu yang membuat kita hidup,” jawabnya sekenanya seperti yang dia rasakan.

“Sesuatu itu macam apa?” anak kedua bertanya.

“Apa bisa untuk cari makan?”

Jono Winoto berdiri seperti tonggak kayu. Pertanyaan itu mengingatkannya pada pertanyaan ayahnya dan Jamal. Tapi dia ragu untuk memberikan jawaban seperti dia mendebat ayahnya soal sastra dalam konteks ekonomi. Tapi pertanyaan itu membuatnya semakin percaya diri.

“Jika sastra membuat kita hidup, tentu bisa untuk mencari makan,” katanya membuat kesimpulan, meskipun dia meragukannya sendiri. Kemudian dia mengambil buku kecil kumpulan puisi milik W.S Rendra berjudul “Blues untuk Bonnie”

“Ini,” katanya sembari mengangkat buku itu di atas kepalanya, “buku ini milik penyair W.S Rendra.” Anak-anak melihatnya dalam tatapan diam. Jono kemudian mengatakan bahwa penyair ini membuat dirinya hidup dengan menulis puisi, dan dengan puisinya dia membuat orang lain hidup. Setelah itu Jono diam sejenak dan merasa takjub dengan penjelasannya sendiri. Tapi, tentu saja anak-anak itu tidak paham apa yang dia maksud. Mereka duduk bosan dan mengantuk, bahkan dua anak di sana memutuskan tidur dengan menyandarkan kepalanya pada tiang.

Di hari berikutnya, Jono tak mendapatkan anak-anak berada di sana. Dia bertanya pada Farida di mana anak-anak. Farida dengan senyum kesabarannya mengatakan bahwa anak-anak tidak selalu bisa datang untuk ikut kelas. Mereka setiap hari mengamen atau mengemis. Atau bisa apa saja. Mereka juga tidak selalu tidur di rumah singgah.

“Jadi bagaimana saya bisa menemui mereka?” Jono bertanya.

“Tinggalah di sini,” saran Farida.

“Itu ide bagus.”

“Mau tinggal?”

Lihat selengkapnya