KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #12

KISAH 12

KISAH 12

 

Kabar sakit dan berlanjut dengan meninggalnya Winoto, ayah Jono Winoto, membuat seluruh langit dunia yang ada dalam dirinya menjadi gelap diliputi kabut kedukaan. Rasa penyesalannya tak kunjung habis selama nyaris berlangsung berbulan-bulan kemudian. Seluruh pertentangannya dengan ayahnya selama ini lenyap, berganti duka dan penyesalan sebagai anak yang sadar bahwa ayahnya bukan sekadar pindah kota, tapi pindah dunia, yang tak mungkin bisa ditemuinya lagi. Ketika dadanya sesak dan air matanya tak terbendung di acara pemakaman, ibunya sendiri justru tampak sebagai perempuan yang tabah. Ibunya yang dengan setia mendampingi ayahnya selama lebih dari 30 tahun, berdiri kokoh seperti gunung. Kelembutan dan kesalahennya membimbingnya pada pengertian agama yang tiba-tiba dengan patuh ia imani, bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara, kematian adalah fase di mana manusia harus berada di sana sebelum kemudian dibangkitkan kembali di alam yang abadi. Ibunya mengingatkannya bahwa saatnya peduli pada ayahnya yang selama ini tak pernah didengarnya.

“Berbaktilah pada ayahmu dengan cara beriman, agar doamu mampu membebaskan ayahmu dari kobaran api neraka kelak. Ingatlah, seperti kisah para satria Pandawa yang menyelamatkan ayahnya, Pandu, dari hukuman neraka jahanam. Dengan bersikap sebagai seorang satria yang saleh.” demikian ibunya memintanya.

Permintaan ibunya itu menyentuh hatinya. Kematian ayahnya juga mengingatkannya pada Udin yang tak pernah memiliki orangtua, hidup dan berjuang sendiri di jalanan. Sejak itu dia bertekad memperbaiki dirinya. Selain didorong keinginan untuk memberikan sesuatu pada ayahnya yang selama ini tak pernah ia berikan, Jono Winoto yang tak pernah bersembahyang sejak kecil, mulai menjalani sholat lima waktu. Ketika itu, ia mulai rajin membaca banyak buku panduan sholat lima waktu, sholat sunah dan bagaimana berdoa –tanpa pernah berpikir untuk membaca novel Eny Arrow yang membuatnya panas dingin sebagai selingan. Begitu rajinnya ia menjalani ibadah setiap hari, siang dan malam, nyaris membuatnya hidup seperti cara seorang sufi yang askestis yang membenci dunia. Setidaknya selama beberapa bulan Jono mengisi hidupnya dengan penuh kesalehan sebagaimana malaikat yang tak berdosa dan membosankan.

Perubahan ini cukup mengagetkan banyak teman-temannya yang sebagian merasa bersyukur dan merayakannya sebagai orang yang kembali pada jalan benar. Dan sebagian yang lain cukup meyakini itu sebagai fenomena alam sementara, dan begitulah faktanya, mereka yang terakhir terbukti benar. Seiring dengan waktu yang membuatnya bertemu dengan persoalan-persoalan sebagai godaan hidup –dan doa yang tak lagi mampu menjadi solusi bagi harapan hidupnya, ia seperti dihempas badai ketidakpercayaan kembali terhadap imannya. Dengan perasaan yang gamang ia kembali pada kehidupan semula, tanpa meyakini agama. Ia melupakan nasib ayahnya di akherat yang mungkin tengah menderita menunggu pembebasannya.

Ketika berada di rumah, ibunya yang tabah bercerita padanya.

++++

Winoto, ayahnya dahulu, adalah anak manja yang lahir di awal tahun 1933. Ayah dari ayahnya atau kakeknya, adalah seorang ambtenar atau pegawai negeri di zaman koloni Belanda yang kaya raya. Sementara ibunya Winoto, nenek Jono Winoto, adalah seorang putri bergelar Raden Ajeng anak putri ke lima belas dari istri ke empat adipati di Madiun. Neneknya sendiri adalah istri ke tiga setelah dua istri kakeknya yang sudah diceraikan dan berada di Bali dan Surabaya. Sebagai seorang bangsawan yang angkuh, bahkan pada keluarganya sendiri, neneknya tak pernah merawat anak-anaknya secara langsung. Neneknya lebih memilih menjaga wibawa aristokratnya dengan cara mengambil tujuh pengasuh untuk tujuh anaknya.

Ayah Jono sendiri diasuh oleh seorang pembantu bernama Suminah atau biasa dipanggil Mbok Nah. Meskipun nakal, wajahnya yang bersih mirip sinyo bule yang manis, mampu menipu banyak orang di sekitarnya, sebelum akhirnya mereka harus mengomel karena menjadi korban kebandelan Winoto. Terbiasa manja dan nakal, Winoto muda selalu bersikap seenaknya dan terjermus dalam kenakalan remaja di masa itu. Ketika masa perang revolusi, Clash ke dua di tahun 1949, ayah Winoto memutuskan mengungsi dari Semarang menuju Klaten. Semua barang berharga kecuali tanahnya yang luas, diangkut oleh sepuluh pedati dengan sapi jenis Bengala sebagai penariknya. Winoto yang ikut rombongan terakhir bersitegang dengan kusir pedati karena memaksa sapinya ditukar dengan sapi jenis lokal biasa yang jauh lebih kecil dengan alasan yang tak pernah diketahui oleh siapa pun.

“Jangan, Ndoro, nanti Bapak marah,” cegah kusir pedati ketika itu.

“Diam saja kamu!”

*****

Kejadian itu benar-benar membuat kakek Jono murka dan menyalahkan sepenuhnya kusir pedatinya. Sementara kusir pedati itu, sepenuhnya menyalahkan nasibnya sendiri yang buruk. Kakek Jono mungkin tidak tega menghukum dengan kelakuan anaknya itu, tapi tidak dengan kakak pertamanya, Heru Poernomo yang berjarak usia tujuh belas tahun. Suatu malam, saat semua sudah tidur di penampungan sementara di Bayat, Heru Poernomo membangunkan Winoto dan mengajaknya ke sebuah bulak yang gelap dan sunyi. Dengan satu kuncian tiba-tiba di sekitar leher Winoto, Heru Purnomo yang sudah menjadi prajurit skuadron angkatan udara dan meminta izin untuk mengawal keluarganya, menyeretnya dan membenamkan kepala adiknya ke dalam air kotor berkali-kali.

Lihat selengkapnya