KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #13

KISAH 13

KISAH 13

 

Seminggu kemudian, di suatu malam, ketika ibunya tengah duduk menyulam di ruang tengah di bawah lampu kuning, Jono datang dan duduk menghadapnya. Mata ibunya melirik dari balik kacamatanya. “Ada apa?” Jono berdehem dan mengatakan dia ingin mendengar cerita tentang nenek dari pihak ibu. “Ceritakan bu,” pinta Jono. "Aku ingin menuliskannya," tambahnya. Perempuan itu memandangnya, kemudian melepas kacamatanya dan meletakkannya di meja bersama alat sulamnya. “Nenekmu itu, di saat remaja sangat bandel. Dia suka membaca. Sangat suka membaca,” kata ibu Jono. “Mungkin bakatnya menurun ke dirimu.” Tangan ibunya menyentuh kepalanya. “Dulu, kakekmu, sepupu nenekmu bercerita pada ibu. Namanya Bayu.” Jono menyimak.

Dikisahkan oleh ibu Jono Winoto.

++++

1

Ayah Lintang adalah kakak dari ayah Bayu, kakak pertama dari lima bersaudara. Ayahnya tinggal di Sukoharjo, sementara ayah Lintang, Handi, tinggal di Kertosuro. Sedangkan yang lain tinggal jauh di Batavia dan Surabaya. Sebelum ibunya mengirim Bayu pada Pakdenya, beliau memberi pesan agar Bayu mengikuti apa saja kata pakdenya.

“Harus patuh, Le,” kata ibunya.

“Orang Jawa punya cara untuk belajar. Itu disebut ngenger, seperti Damarwulan mengabdi pada pamannya sebelum dia mendapatkan keberuntungannya.”

Bayu masih terlihat murung ketika Bayu sampai di halaman rumah pakdenya yang luas menjelang maghrib. Rumahnya besar memanjang dari arah depan sekitar tiga puluh meter yang disangga sepuluh tiang. Dan karena pakdenya adalah priyayi yang berasal dari Solo, semua rumahnya dicat berwarna biru kelabu. Beberapa pembantu rumah membantu mengangkat barang-barang, sementara pakdenya berdiri tepat di tengah teras sambil berkacak pinggang. Matanya tajam menatap ketika anak muda itu berjalan loyo ke arahnya.

“Anak laki-laki harus kuat,” pria itu menyambut dengan suaranya yang besar. Bayu segera berjongkok, memberinya hormat, dan merasakan dingin di permukaan dengkulnya.

“Sudah, berdiri,” perintahnya. “Segera mandi, nanti bicara di meja makan,” Ia kemudian memanggil seorang pembantu perempuan yang masih di halaman untuk mengantar ke kamar.

“Antar Den Mas ke kamarnya.” Tapi sebelum pergi, Bayu menyerahkan sebuah surat titipan ibunya. Pakde menerimanya. Ia membaca sejenak dan mengangguk perlahan.

Pukul tujuh malam Bayu diminta untuk bergabung di ruang makan yang berada di ruang belakang. Ruangannya luas. Di tengahnya ada meja besar persegi empat. Ketika Bayu masuk, di sana sudah menunggu pakde dan budenya, serta Lintang dan Benowo. Lintang melihat sepupunya dengan matanya yang tajam, tapi mukanya tampak manis. Bayu dipersilakan untuk segera duduk. Di hadapan keluarganya itu, sebelum semua sempat mengambil sendok dan garpu di setiap sisi piring, budenya meminta mereka berdoa, baru kemudian makan. Pakdenya sembari memegang garpunya, memperkenalkannya pada anak-anaknya. "Bayu akan tinggal dan sekolah di sini," katanya. Semua diam mendengarkan. Tak ada yang menyela sama sekali, hingga ruangan hanya berisi suara pria itu. Hal seperti itu menjadi rutinitas, terutama untuk makan malam. Beberapa hari tinggal di keluarga Lintang, Bayu merasa seperti tertekan karena harus mengikuti semua aturan keluarga yang ketat.

Waktu itu Bayu belum didaftarkan sekolah, jadi dia harus banyak membantu pekerjaan rumah yang sepertinya tak pernah selesai, meskipun di rumah besar itu sudah ada banyak pembantu. Setiap waktu yang dia ingat hanyalah ibu. Bayu melupakan ucapan pakdenya bahwa anak laki-laki tidak boleh cengeng. Bayu sering kepergok oleh Lintang saat merenung dan menangis. Awalnya Lintang hanya memperhatikan, tapi kemudian tertawa dan mengolok-olok. Karena malu, Bayu selalu berdalih dengan mengatakan matanya kemasukan debu. Meskipun tetap tidak percaya dengan dalihnya, Lintang kemudian menunjukkan perhatiannya dengan menawarkan dirinya untuk menolong dengan meniup matanya. Benowo juga bersikap baik, meskipun terlihat tak terlalu peduli. Ia sekolah di Yogyakarta dan indekos di sana. Jadi, ia lebih suka sibuk dengan urusannya sendiri bersama teman-teman sekolahnya. Benowo terkadang pulang bersama teman-temannya. Di antara mereka ada anak Eropa atau sinyo. Mungkin juga karena jarang bertemu, Bayu dan Benowo tak terlalu dekat.

Lintang fasih berbahasa Belanda, terkadang ia bicara dengan Bayu dengan bahasa itu. Bayu sendiri tak terlalu pintar mengucapkannya, tapi Bayu paham apa yang diucapkannya. Ia punya banyak buku yang didapatkannya dari gurunya, Nyonya Carel Scharten yang suka sekali jika muridnya membaca buku, terutama buku-buku yang tengah berkembang di Eropa. Kata Lintang, gurunya menuntunnya pada tujuan membaca buku itu.

“Membaca fiksi itu agar kita bisa belajar sesuatu yang berharga dari sana.” kata Lintang menirukan ucapan Nyonya Scharten.

Lintang lalu memamerkan buku-bukunya. Ada puluhan buku tebal yang belum pernah dilihatnya selama ini. Tapi ia menyukai buku-buku roman yang membuatnya sering marah bila digangggu saat tengah membaca. Tapi, meskipun begitu, Lintang tak berani membantah ayahnya. Ia selalu menyembunyikan buku-bukunya dari ayahnya itu. Sebenarnya, pakdenya adalah orang Jawa yang modern, progresif dalam hal-hal tertentu, tapi selebihnya ia masih sangat konservatif. Ia tak terlalu suka anak perempuannya menghabiskan waktu hanya untuk membaca buku. Jadi, ia marah jika mendapati Lintang begitu lama dan dalam menghayati buku yang dibacanya.

"Tak ada kegiatan lain?” Katanya marah jika melihat Lintang mengurung di kamar seharian.

“Nanti aku bakar buku-bukumu kalau hanya buku yang kamu perhatikan!”

Ancaman itu membuat Lintang menyimpan rapi buku-bukunya. Sejak Bayu berada di rumahnya, Lintang sering mengajaknya ke sebuah gubuk kecil di tengah sawah yang luas. Di sana ia akan membaca bukunya dan membiarkan sepupunya itu melamun sendiri. Ketika Bayu mulai bosan dan mengajaknya bicara, Lintang sama sekali tak mau mendengarkan. Lalu karena mulai jengkel, Bayu bertanya dengan nada yang ketus, memangnya mau jadi apa besok dia membaca buku terus. Kali ini Lintang mendengarkan, tapi itu juga hanya sekadar untuk menyuruhnya diam. “Sstt…jangan berisik.” Karena ia hanya bereaksi seperti itu, pada akhirnya Bayu harus mengalah dan memilih berjalan-jalan di sekitar sawah untuk mencari katak. Ketika satu jam kemudian Lintang masih mengembara dengan bukunya, salah satu katak yang Bayu bawa segera dia lemparkan di dekatnya. Saat itu, meskipun ia marah karena kaget dan ketakutan, akhirnya ia mau menutup bukunya dan bersedia pulang.

**

Di tahun ketiga, Bayu melihat ada hal-hal yang aneh di dalam rumah. Ada sesuatu yang terasa sunyi. Selain semua orang sibuk dengan urusannya, tetapi terutama karena pakdenya jarang terlihat seperti biasanya. Awalnya Bayu kira pakdenya sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang manajer bagian di pabrik gula, tetapi ketika melihat wajah budenya yang murung. Bayu menduga semua itu ada kaitannya dengan pakdenya yang jarang pulang. Suatu siang, budenya menerima tamu seorang pria dari Semarang, pria itu datang sendiri. Saat itu Bayu tengah berada di sekitar teras untuk membersihkan lantai, ketika pria itu mengatakan bahwa suaminya sudah banyak menumpuk hutang karena judi pacuan kuda. Bayu terkejut mendengarnya, hingga membuatnya harus menghentikan pekerjaan karena ingin mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan tamu itu. Budenya, tentu saja lebih terkejut daripada Bayu, suaranya terdengar pelan dan gagap. Ia kehilangan kemampuannya untuk menanggapi. Hingga kemudian Bayu mendengar pria itu menyebutkan kata polisi. Kukira pria itu sepertinya tengah mengancam. Karena tak ingin mendengar terlalu banyak, Bayu segera saja meninggalkan pekerjaannya dan pergi ke belakang untuk mencuci tangannya.

Setelah itu, budenya wajahnya terlihat murung. Ia tak banyak bicara. Sementara pakdenya hanya terkadang muncul dengan muka tegang. Tapi, ia hanya sebentar di rumah. Setelah selesai urusannya, dia kemudian pergi lagi meninggalkan kemurungan di dalam rumah. Bayu ingin membicarakan ini dengan Lintang, tapi dia urungkan karena tampaknya Lintang belum tahu masalah yang tengah terjadi. Gadis itu masih sibuk dengan buku-bukunya. Ia juga masih seperti biasa bersemangat menceritakan Nyonya Schater usai sekolah yang diikutnya. Bayu tidak tega menceritakan apa yang dia dengar pada Lintang. Jadi dia membiarkan saja sepupunya itu tetap dengan suasana hatinya.

Suatu kali, pakdenya pulang ke rumah saat siang hari. Ia langsung mencari istrinya dan berbicara di kamar mereka. Semula tak ada suara yang membuat cemas, tapi kemudian Bayu mendengar suara budenya sedikit meninggi, disusul suara suaminya yang mencoba menenangkan. Bayu kaget mendengar suara budenya yang bisa begitu tinggi, mengingat selama ini ia tampak tenang dan halus. Selang beberapa menit kemudian tak lagi terdengar suara mereka dengan jelas, lalu semua kembali hening. Mendengar percakapan mereka itu membuat Bayu merasa cemas. Dia khawatir bila akan terjadi apa-apa dalam keluarga ini.

Dua hari kemudian, setelah pulang dari sekolah agak awal karena gurunya sakit malaria, dan tak ada guru pengganti, pakdenya meminta Bayu untuk menjemput Lintang di sekolahnya.

“Jemput mbakyumu di sekolah, nanti sore ada tamu.”

“Tamu siapa, Pakde?” TanyBayu penasaran.

“Tamu dari Semarang…sudah kamu jemput saja Mbakyumu, pastikan tidak kemana-mana,” kata Pakde menekankan perintahnya.

Nggih, Pakde,” jawabnya singkat.

*****

Bayu mengintip para gadis yang duduk di pendopo melalui tembok pagar berwarna merah setinggi setengah meter. Ada dua pohon sawo besar yang dikurung pagar bambu di depan halaman pendopo yang luas, selain beberapa pohon kepel tinggi yang daunnya bergoyang. Seorang perempuan bule dewasa berdiri di depan papan tulis hitam. Gaunnya berwarna krem dan blus putih, dengan rambut cokelat jerami yang diikat ke belakang. Tangannya membawa buku yang ia bacakan dengan suara keras dan ditirukan dengan semangat oleh para gadis di sana. Matahari bersinar panas di bulan Juli tahun 1920, dan Bayu harus berdiri bersender pada tembok berlumut sembari mengawasi.

Terkadang dia berpikir mengapa gadis yang terlihat halus seperti itu punya semangat yang melampaui anak laki-laki yang dia kenal. Menurutnya, Lintang adalah gadis yang beruntung. Meskipun sejauh ini yang dia tahu, orangtuanya tak begitu suka kegiatan belajarnya, terutama kegemarannya membaca buku. Mereka sepertinya khawatir jika kemudian menjadi melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan. Tapi Lintang sulit dicegah. Dia suka buku dan belajar, seperti saat ini, ketika Bayu lihat dia begitu bersemangat belajar di pendopo itu. Duduk paling depan, dan suaranya lantang mengikuti gurunya yang mengejakan sesuatu.

****

Lintang kaget melihat Bayu berada di pintu gerbang sekolahnya. Tapi ia segera tertawa dan memberikan bukunya.

“Bawakan bukuku,” katanya.

“Pria sejati harus membantu seorang wanita…lagipula aku kakakmu” tambahnya dengan suara riang. Bayu menerima permintaan itu.

“Kita ke gubuk saja sekalian, mumpung kamu di sini,” katanya sambil jalan di depan Bayu.

“Jangan sekarang.” Bayu menolak.

“Untuk apa cepat-cepat pulang?”

“Aku disuruh menjemputmu.”

“Kamu kan sudah menjemputku. Dasar bodoh…sekarang kita ke gubuk dulu.” Langkahnya semakin cepat melewati bayangan pohon-pohon di pinggir jalan.

“Jangan! Tidak sekarang.”

“Jangan membantah…kita ke gubuk.”

“Aku diminta menjemput karena ada tamu.”

Lintang berhenti dan berbalik menatap sepupunya.

“Ada Tamu? Siapa?”

“Katanya dari Semarang.”

“Siapa?”

“Aku tak tahu siapa.”

“Tak ada urusannya denganku,” ucap Lintang sambil menatap sejenak, lalu berkata dengan intonasi tegas. “Kita ke gubuk!”

Bayu melihat tubuhnya berbalik, dan punggungnya menjauh dari posisinya berdiri. Dia tertegun dan mulai cemas dengan sikap sepupunya. Matahari seperti bergerak dengan cahayanya yang berkilat melewati pohon kelapa.

“Kamu ditunggu Pakde,” seru Bayu kemudian. Tapi suaranya tak mampu membuatnya berhenti. Anak muda itu berlari menyusul. Bayu mencoba membujuknya agar langsung pulang, tapi tetap saja ia tak mau mendengarkan.

“Aku mau cerita tentang buku baru yang diceritakan Nyonya Scharter,” Lintang berkata tanpa mempedulikan kecemasan Bayu.

“Kamu bisa cerita sambil jalan ke rumah,” pinta Bayu. Lintang diam tak menanggapi. Ia terus berjalan.

Meskipun sudah membujuk dan memohon, Bayu tetap saja tak mampu menghentikannya. Jadi, Bayu mengikutinya saja ke gubuk, tapi kali ini dengan hati yang cemas. Pakdenya tentu saja akan menyalahkannya nanti.

Sekali lagi Bayu sampaikan ketika tiba di gubuk bahwa tamu akan datang di sore hari. Tapi, Lintang masih tak peduli, ia justru meminta bukunya, dan duduk di pinggir lantai gubuk. Tanngannya kemudian mengambil salah satu buku dan mengatakan ingin baca beberapa halaman. Bayu semakin heran kenapa Lintang begitu gila dengan buku sampai tak peduli dengan perintah ayahnya. Perasaannya semakin tidak enak ketika Lintang tak juga memberi tanda-tanda akan selesai. Bayu pasti akan kena marah, itu adalah kemugkinan besarnya. Namun, karena susah untuk meyakinan Lintang, akhirnya Bayu pasrah, dan hanya menunggunya hingga ia merasa puas.

Sekitar pukul tiga, Lintang akhirnya bergerak dari gubuk, dan mengajak pulang. Tak ada yang bisa membuatnya berpikir pulang, kecuali rasa lapar. Ia berteriak dan melambaikan tangannya ke arah Bayu yang tengah berdiri di galengan sawah. Hal itu membuat Bayu merasa lega, meskipun jantungnya masih berdetak tak beraturan mengingat teguran yang akan dia terima nanti. Benar saja ketika sampai di halaman rumah, Bayu sudah melihat pakdenya berdiri di antara dua pintu dengan muka yang tegang. Matanya melotot seperti serigala tengah mengawasi buruan.

****

“Apa-apaan kalian ini pulang sore begini! “

Lihat selengkapnya