KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #14

KISAH 14

KISAH 14

 

Suatu hari, seorang teman memberinya kabar bahwa cerpennya yang ke sekian ratus kali dikirim akhirnya dimuat di sebuah koran lokal. Kabar ini membuatnya senang dan bersemangat. Tiba-tiba saja ia ingin berlari, terbang dan menciumi siapa saja yang bersedia. Tubuhnya seolah membesar dan wajahnya terpampang di baliho-baliho dengan senyum paling memikat, mengalahkan semua pembesar-pembesar negeri yang tersenyum palsu. Seolah semua mata melihatnya sebagai bintang paling bersinar. Di dalam dirinya samudera bergolak bersama angin dan awan yang seperti kapas putih. Dan di cakrawala, pelangi yang paling berwana melingkar diagonal menyambut keberhasilannya.

Setelah mendapatkan koran di lapak kaki lima yang ia bayar secara lebih dari harga sebenarnya, Jono Winoto bergegas kembali diringi ucapan terima kasih pemilik lapak atas kedermawanannya. Semua orang diberinya kabar, tidak peduli mereka suka atau tidak. Teman-temannya di Rumah Studi Sastra memberinya selamat dan sanjungan atas keberhasilannya menembus koran lokal. Dengan perasaan penuh harap, ia mencari berita apakah Sintya sudah membaca. Tapi Jono tak pernah mendengar itu, meskipun Lilik bercerita pernah bertemu Sintya bersama Danu Wirya dalam sebuah acara para aktivis. Kabar itu membuatnya sakit hati. Meskipun di sisi lain, pemuatan karyanya itu benar-benar mampu mengangkat moralnya hingga setinggi langit biru.

*****

Sebuah rencana yang dipenuhi dengan ambisi tertentu, lantas ia tetapkan secara yakin, bahwa ia harus menembus koran terbesar di Jakarta. Tak ada artinya bila karyanya hanya dimuat di surat kabar lokal. Karena seluruh pengakuan hanya ada pada stempel Jakarta. Ambisinya yang besar ini membuatnya begitu bekerja keras jauh meninggalkan kesan malasnya selama ini. Ia juga mulai tak peduli dengan kuliahnya, meskipun ibunya mencoba membujuknya baik secara langsung atau melalui teman-temannya. Jamal, Fuadi, Karnaji dan Lilik oleh ibunya bahkan dimintai tolong untuk membujuknya. Tapi Jono bersikeras untuk pada pilihannya.

Di setiap tempat, Jono mulai membaca semua karya-karya yang biasa masuk surat kabar dan membandingkan dengan karya-karya luar negeri. Menurutnya beberapa karya yang dimuat di beberapa surat kabar memang memiliki kekuatan makna dan terasa orisinil. Nama-nama seperti Kuntwijoyo, Umar Kayam, Romo Mangun Wijaya adalah para sastrawan yang mampu membumikan gagasan yang berpusat pada kondisi sosial setempat. Sebagian yang lain terasa benar sebagai epigon dan masuk dalam daftar silsilah para epigon dunia. Tentu saja karena referensi sastra Indonesia –atau rujukan sastra modern Indonesia adalah sastra Barat. Dirinya sendiri karena begitu terpesona dengan sastra terjemahan masuk dalam silsilah itu. Sebagian yang lain menjadi perpanjangan ideologis Albet Camus, Jean Paul Sartre yang menyuarakan eksistensialisme dan juga nihilisme Nieztsche. Karena sastra haruslah mengekspresikan keadaan secara negatif dan harus mengandung ekspresi ideologis penulis, seperti tulisan Rolland Barthes di buku Writing Degree Zero merujuk sikap tulisan Sartre dan Camus.

*****

Ketika gerakan feminisme tengah ramai diperbincangkan bersama isu demokrasi, di dalam komunitasnya yang mayoritas laki-laki memperbincangkannya. Akibatnya Jono Winoto melihat beberapa temannnya yang begitu terpesona dalam pikiran itu berlaku aneh dan ambivalen. Di satu sisi mereka menganut doktrin agama, di satu sisi mereka berlaku sebagai seorang nihilis atau humanis yang sekuler. Mereka tak bisa sepenuhnya menjadi diri sendiri, karena dua kekuatan kutub yang saling tarik menarik. Jatmiko, dilihatnya sebagai orang yang bingung. Sebagai seorang Katholik yang taat dia menolak ikatan tanpa pernikahan, tapi dia juga menyerukan gerakan feminisme. Dia bahkan mengokohkan sikap patriakisnya pada pacar yang kemudian ia nikahi. Ketika Jono Winoto mempertanyakan sikapnya itu, Jatmiko dengan jelas mengatakan suara hatinya.

“Istriku nanti, ya harus mengikuti aku sebagai suami, kalau ia menentang, langit akan runtuh di tempatku,” ujar Jatmiko serius.

“Bukannya dirimu menyatakan diri sebagai pembela kaum femisnis dan Yani pacarmu ingin menulisnya?”

“Kadang-kadang kita harus mengikuti keinginan media, setidaknya mengingat mereka yang membeli karya kita. Dengan bersikap seperti itu dapur kita akan ada asapnya.”

“Bagaimana sikapmu bisa seperti politik dagang gitu?”

“Masak aku harus membiarkan istriku bercinta dengan pria lain, kalau dia mau atas nama hak dan kuasa tubuh? Yani bukan Simone De Beauviore, dan aku bukan Jean Paul Sartre, pacarnya itu.”

“Jika kamu mendukung anti patriarkis kenapa nikah? Bukankah pernikahan itu tradisi ptariarkis?”

“Sudahlah, tak usah dibahas,” kata Jatmiko.

Jono tertawa. Dirinya sendiri masih bingung, tapi sadar bahwa pikiran-pikiran itu hanya ideologi alternatif yang memang mau tak mau harus menjadi salah satu pikiran yang mesti diterima di negara bekas jajahan yang semuanya berangkat dari kekosongan –sebab Indonesia adalah negara baru dengan nasib harus menerima semua yang disodorkan oleh bangsa lain yang lebih berkuasa. Ia sendiri merasa bingung dengan semua sikap ini. Meskipun pada dasarnya dia sepakat bahwa hak-hak seorang perempuan harus setara dengan pria sebagai manusia yang sama hidup di dunia. Hanya saja dia berpikir bahwa menempatkan satu dengan yang lain sebagai musuh hanya akan menimbulkan ketaksimbangan itu sendiri. Tiba-tiba ia ingat gagasan ayahnya dari cerita ibunya tentang bagaimana seharusnya bangsa ini memulai membangun peradabannya. Semua harus dimulai dengan bacaan yang mampu merangsang pengetahuan, imajinasi dan akhirnya kreativitas anak bangsa. Tapi pada prinsipnya, mereka menekankan agar memperlakukan semua manusia sama. “Tak ada gender jika bicara kemanusiaan,” kata ayahnya.

Lihat selengkapnya