KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #17

KISAH 17

KISAH 17

 

Pertama kali yang dipikirkan Jono Winoto dalam rencana perjalanannya adalah mendatangi makam neneknya yang pernah diceritakan ibunya di Solo. Dalam pikirannya, penting untuk menyapa neneknya di kuburnya. Dengan menumpang truk bersama Udin, mereka berangkat ketika pagi dan sampai sekitar satu jam kemudian. Mereka turun di sekitar Sukaharja dan melanjutkan dengan jalan kaki. Setelah berjalan melewati beberapa desa, Jono mengajak Udin berhenti di sebuah kuburan yang luas. Di sana dengan petunjuk seorang juru kunci makam, dia bersimpuh di depan makam yang berkijing yang bertuliskan

“Lintang binti Suhandi”.

Setelah itu, mereka berjalan beriringan menuju kota kecamatan. Udin memanggul gitarnya dan Jono menatap langit sambil memikirkan rencana. Ketika melewati deretan rumah yang padat, Udin tanpa diminta langsung memainkan gitarnya di depan rumah pertama yang mereka lewati. Orang pertama yang terlihat adalah perempuan setengah tua dengan rambut setengah putih. Dia berdiri di teras rumahnya seperti tak peduli pada dua pengamen yang terus menyanyi menunggu uluran tangannya. Tapi perempuan itu memang tak peduli. Udin mengulang chorus lagunya, dan setelah sepuluh menit dari sepuluh menit awal memutuskan berhenti sambil berkata, “ngamen, Bu.” Jono yang belum terbisa segera mengajak Udin pergi.

“Orang gila dia,” kata Jono.

“Mungkin pura-pura gila,” Udin menanggapi.

Empat jam kemudian, ketika matahari turun di garis langit menjelang sore, Jono mengajak Udin makan. Di warung makan sederhana di mana bangunannya menempel pada tembok pabrik mereka makan dengan porsi setengah karena duit mereka kurang. Setelah bertanya jalan menuju arah kota, mereka tertatih-tatih berjalan melewati gerbang kecil, yang tampak seperti batang kayu besar yang kotor.

“Kita harus cari tempat istirahat,” kata Jono sambil berjalan.

“Kemana?” Udin berjalan sembari memainkan gitarnya.

“Kita ke alun-alun kota dulu.”

“Uang kita tak cukup buat makan,” kata Udin.

“Buat beli rokok aja dua batang.”

Jalanan bercahaya, berpendar oleh lampu kota di sekitar alun-alun setelah magrib. Di tengah lapangan berdiri panggung kecil dengan lampu mengepung. Suara musik menggema memenuhi awang-awang bersama deru motor. Orang-orang berjalan di sepanjang lapangan melewati orang-orang yang duduk atau menunggu pesanan jajan. Di pinggir lapangan, dua orang duduk berhadapan menghadap papan catur. Sementara orang-orang berputar menonton mereka. Bidak digerakkan dan suara tok terdengar. Jono menarik Udin dari kerumunan itu dan mengajaknya duduk di rumput. Dentuman drum bersama simbal terdengar menghentak. Jono melihat sekeliling, dari sudut tergelap hingga gedung pemerintah yang bercahaya dengan pendaran muram. Jono mengeluarkan kertas dan pulpen untuk membuat catatan. Dia ingin mencatat semua kesannya. Daerah ini asing baginya, meskipun leluhurnya berasal dari sini.

“Kita butuh duit berapa agar bisa membeli komputer kita, Mas?” Udin bertanya.

“Sekitar lima juta kalau baru.”

“Wah...kita harus menabung berapa setiap hari?”

“Entahlah…kita sisihkan berapa saja. Mungkin lima ribu,” Jono mencoba menghitung.

“Tapi apa bisa itu? Hasil ngamen dapat dua ribu sudah bagus.”

“Kita coba saja. Kalau tidak sedapat kita”, kata Jono sambil menunduk. Tiba-tiba menyempil rasa putus asa dalam hatinya. Jika dia menabung dua ribu lima ratus sehari, mungkin dia butuh waktu sekitar lima tahun. Itu waktu yang lama. Sedangkan dia membutuhkan menulis yang tak bisa ditunda-tunda.

“Kenapa kita harus punya komputer?” Udin bertanya lagi.

“Tak harus,” kata Jono, “tapi kita butuh untuk menulis. Kita ini sastrawan. Lebih baik kalau kita memiliki sendiri agar tetap menulis.”

“Ada kertas dan pulpen atau mesin ketik,” Udin memberikan pendapatnya.

“Ya, bisa,” kata Jono dengan nada turun, “tapi kita dipaksa zaman.”

Malam adalah saatnya makan. Apalagi dalam sehari Jono dan Udin hanya makan sedikit. Perut Jono seperti kota yang rusuh oleh upaya pemberotakan yang menyakitkan. Lambungnya perih dan bergolak oleh suara udara asam lambung. Meskipun biasa lapar, tapi di tanah yang asing dan jauh rasa lapar tak lagi punya basa-basi. Udin yang juga lapar kemudian berupaya mencari dana dengan mencoba mengamen di sepanjang pertokoan. Tetapi, uhasanya itu tak bisa dilanjutkan karena seorang preman lokal menghalangi dengan mengatakan bahwa dia adalah penguasa wilayah itu. Mereka ribut dalam perdebatan sengit yang diakhiri dengan perkelahian. Udin yang tak terima didorong dadanya memukul preman itu disusul Jono yang juga ikut memukul. Orang-orang di jalan berhenti dan melihat keributan itu. Ketika perkelahian yang seru itu terjadi, seorang anak muda dengan kaos lusuh dan rambut kotor datang melerai dengan berani. Anak muda pemberani itu menarik preman lokal itu dan mencegahnya bergerak. Preman itu berteriak keras, tapi menurut. Dia pergi setelah dibisiki sesuatu dan diberi rokok sebatang.

Pahlawan itu kemudian menyapa Jono dan Udin dengan ramah seperti seorang sahabat lama. Anak muda itu memperkenalkan dirinya bernama Gilang, lalu berkata, “kalian dilarang mengamen di sini.”

“Kenapa?” Tanya Jono sambil meraba pipinya yang kena cakar.

“Tidak boleh orang luar mengamen di sini. Kalian orang mana?”

Lihat selengkapnya