KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #19

BAGIAN TIGA

KISAH 19

 

Sepanjang jalan Kaliurang dipenuhi plang-plang iklan serta baliho yang saling berebut perhatian mata pengguna jalan, menutup keanggunan dan keagungan alami Gunung Merapi. Beberapa baliho besar berjajar di antara perempatan jalan yang padat, saling berhadapan, bergambar perempuan cantik dan seksi. Satu menawarkan pendidikan dan yang lain menawarkan apartemen mewah. Di sampingnya lagi sebuah baliho bergambar anak-anak yatim menyerukan semangat filantropis dengan rensonasi teologis. Kata-kata bak penyair yang sadar duniawi bertaburan diproduksi oleh para copywriter yang lulus sekolah komunikasi yang susah payah belajar kata kerja, kata sifat dan kata benda serta kalimat aktif demi mendapatkan efek provokatif.

Jono Winoto menjadikan jalan itu sebagai aktivitas rutin nyaris setiap waktu, begitu ia sempat –selama bertahun-tahun, tanpa terpengaruh sedikitpun oleh semua yang terpajang di sepanjang jalan tanpa kecuali. Ia membutuhkan perjalanan itu hanya sebagai ritual demi memenuhi hasratnya pada kerinduan yang tetap tejaga pada Sintya. Biasanya ia memutuskan kembali setelah melewati rumah kekasih bayangannya itu, tanpa pernah melihat bayangannya sekalipun. Tetapi itu cukup baginya.

 Di Gang Wuni B2 sekitar Jalan Kaliurang Km 5,5, sebuah rumah Jawa berusia lebih dari satu abad berdiri rapuh di antara rumah-rumah baru yang mewah. Jono Winoto tinggal sendiri di sana dengan mengontrak pada pemiliknya seorang perempuan tua yang sudah mulai pikun. Ia menjadikannya sebagi tempat persinggahan, sekaligus demi memperpendek jarak perasaannya yang terjebak di sepanjang Jalan Kaliurang –yang tanpa ampun terus menyiksanya setelah hampir lebih sepuluh tahun berlalu. Sepanjang waktu itu, setelah pernikahan Sintya yang membuatnya tak berheni bersedih memikirkannya –atau lebih tepatnya tak ingin berhenti, Jono berupaya membangun dirinya menjadi lebih bermartabat dengan terus menulis karya-karya sastra di koran, meskipun pada faktanya dia hidup dari menulis berdasarkan pesanan dari orang-orang kaya yang ingin namanya tercatat sebagai novelis tanpa harus bekerja keras menulis. Tapi, setidaknya Jono bisa menghidupi dirinya sendiri, meskipun hasilnya hanya setengah layak untuk hidup dengan ukuran kebutuhan sekunder dan tersier masyarakat yang secara ajaib berubah menjadi primer.

Waktu boleh terus berjalan dan mengubah dunia, tapi soal cinta ia menguncinya rapat dalam sebuah bilik hatinya dan tak berubah. Dengan semangat keabadian serupa kisah-kisah paling romantik dan menyentuh bagi setiap jiwa yang peka dan rapuh, Jono Winoto membawa nama Sintya dalam setiap persentuhannya dengan pelbagai perempuan yang singgah secara tergesa-gesa dalam hidupnya. Tak ada satu pun di antara mereka yang terasa menjadi penting, selain hanya saling membutuhkan dalam hal-hal yang sepintas. Jono juga menolak pernikahan yang menurutnya menjadi lembaga yang tak memberikan manfaat dan arti, tanpa cinta sesungguhnya yang dapat diuji melalui pendapatan pria setiap bulan. Keadaan ini membuat ibunya bersedih, tapi pada akhirnya memilih diam dan menerima keputusan anaknya.

“Setiap pernikahan di zaman ini menjadi rapuh dan hampir semua perceraian karena alasan ekonomi,” katanya menerangkan alasannya pada seorang temannya. Tetapi, sesungguhnya ia hanya kehilangan minat terhadap pernikahan karena terlalu membandingkan kesan pertama yang ia peroleh atas pribadi Sintya yang menjadi model animusnya.

Lihat selengkapnya