KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #20

KISAH 20

KISAH 20

 

Akhir hubungan itu bagi Jono Winoto menjadi semacam pembuktian bahwa semua yang dilandasi oleh yang material tak akan bertahan lama. Namun, di sisi lain, akibat terbiasa bersama Kartika, setidaknya hampir satu tahun membuatnya kesulitan melupakan hal-hal yang menyenangkan secara ragawi. Maka demi menghilangkan residu itu semua, ia memulihkan rasa cinta sejatinya yang murni pada Sintya dan menolak kembali berhubungan dengan perempuan lain. Dengan modal sebuah keyakinan yang ia jaga, seperti pernah disampaikan Jatmiko, bahwa hidup tak memiliki kepastian, termasuk hubungan, ia berharap agar segera datang kabar menggembirakan, yaitu kehancuran pernikahan Sintya. Meskipun hingga detik itu, tak sejumput pun pernah ada kabar tentang keberadaan Sintya yang tinggal di Jakarta, atau sejauh 538 km dari tempat tinggalnya.

Sebulan setelah perpisahannya dengan pacarnya, Jono Winoto lebih banyak melakukan perenungan di dalam kamar dan menulis satu proyek novel romantis pesanan dari seorang pengusaha muda di Jakarta. Ia hanya menghabiskan waktu dengan duduk membaca, menulis hingga pagi menjelang subuh hampir setiap hari. Merumuskan premis, menciptakan karakter-karkater, memikirkan alur, plot dan konfliknya, mencatat simbol-simbol dan motif setiap kerangka bab. Ketika seluruh otaknya menjadi jenuh dan beku, maka waktu yang membeku itu, coba ia cairkan dengan memutar film-film jenis drama milik Zhang Yinmou seperti The Road Home yang meskipun berkualitas bagus dan best office, tapi tidak pernah populer di Indonesia.

Dalam kesepian yang ia ciptakan sendiri itu, meskipun bukan pertama kali dalam sepanjang hidupnya –Jono mulai merindukan pergaulan yang begitu lama ia tinggalkan. Ia mulai memikirkan kunjungan pada beberapa temannya untuk sebuah percakapan yang lebih hidup. Untuk itu, pertama ia mencari Jatmiko yang ternyata sudah pergi jauh meninggalkan Yogyakarta. Tetapi ia berhasil bertemu Nurul yang setia dengan keadaannya yang memperihatinkan seperti tumpukan debu abadi padang pasir.

“Kau masih seperti Socrates,” ujar Jono saat menemui di kontrakannya.

“Kau seperti penulis kesepian,” balas Nurul.

Tegur sapa kerinduan itu kemudian ditutup dengan sebuah kesepakatan makan bersama atas permintaan Nurul yang tampak tak sabar melahap menu-menu baru selain sambal dan tempe goreng.

“Kita makan dulu baru cerita. Kamu ada uang, kan?”

“Tentu saja, kau boleh makan sepuasmu.”

Jono Winoto dengan sepeda motornya membawa Nurul di sebuah warung lesehan kaki lima di sekitar Bugisan yang menyediakan menu-menu ikan laut dan daging ayam serta bebek, juga sayuran. Mereka duduk memesan makanan dan minuman tanpa ada yang bicara selama beberapa menit. Mata mereka hanya memperhatikan setiap orang atau motor yang lewat di jalanan. Atau memperhatikan juru masak mengolah pesanan makanan yang menyebarkan bau wangi ikan dan bawang goreng. Mulai merasa jenuh, Jono mencoba membuka percakapan dengan menanyakan kabar teman lamanya itu. Wajah Nurul yang secara sekilas memperlihatkan penderitaan fisik, namun memiliki sorot mata kuat yang memancar dari jiwanya yang keras dan angkuh, menjawab tegas.

“Aku tak mau ngomong sebelum kita selesai makan.”

Jono Winoto tak memaksa, atau tersinggung mendengar suara Nurul. Ia memahami bagaimana uniknya teman-temannya dahulu. Diikat oleh idealisme berkesenian secara membuta, lalu tumbang dan bangkit berdiri tanpa peduli ketika harus menubruk pada zaman yang tak lagi memberi tempat bagi mereka yang mengira hidup dalam kemuliaan kesenian manual. Namun, sejauh ini mereka konsisten dengan jalan sunyi mereka. Nurul adalah satu contoh keabadian perasaan terhadap apa yang ia kira sebagai dedikasi tanpa henti dalam kemuliaan berteater, meskipun tak ada lagi panggung yang meriah. Ia serupa pemuda Al-Kahfi yang tak berubah setelah tertidur selama 300 tahun dalam gua. Keluar dan bingung dengan luapan kecemasan eksisensial atas ancaman dari apa yang telah diyakininya. Melihat secara sinis semua produk kesenian muktakhir yang mengandalkan teknologi, dan menyebutnya secara kurang ajar sebagai sampah perusak lingkungan.

Usai makan yang dipenuhi rasa khidmad terhadap rezeki yang selalu datang tak terduga, Nurul meminta rokok sebagai penutup ritual hidup hariannya, yang datang tak selalu setia pada waktunya. Sembari bersandar di sebuah tembok pagar halaman sekolah yang membatasi pendestrian yang digunakan sebagai lokasi warung itu. Nurul menelan asap rokoknya dan bercerita tentang keadaannya yang membosankan. Asap putih mengepul dari mulut hidung dan mengurung kepalanya bersama pendar cahaya kelabu.

“Aku melatih teater kampus,” katanya. “Semuanya anak-anak manja yang ada. Tak tahan proses dan hanya butuh pengakuan eksistensi. Dan tak ada honor.”

“Mulia sekali jiwamu,” tanggap Jono tanpa bermaksud menyindir.

Lihat selengkapnya