KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #21

KISAH 21

KISAH 21

-

Jono kecewa ketika ia benar-benar datang menghadiri pesta bulan purnama di rumah seni milik pelukis di Borobudur. Pesta yang mereka namai ‘Laluna Festival’ itu – semula tampak lancar-lancar saja, tapi tiba-tiba hujan turun setelah sebelumnya awan hitam menelan cahaya bulan di bulan Maret. Tempat itu cukup luas dan terasa eksotis dengan sungai besar dan pohon-pohon rambutan serta durian yang berdiri tegak. Di depan pintu gerbang berpatung naga itu, ada sebuah panggung dan bangunan berlantai dua yang berwarna batu bata, di mana Jono Winoto dan Nurul terpaksa berteduh, bersama tamu-tamu yang lain sebelum sempat masuk melewati pintu yang disebut Gerbang Naga.

Ia duduk berdampingan dengan Nurul di teras depan panggung dan mendengarkan omelan temannya pada alam yang dia bilang telah menipu, meskipun ia tahu bulan Maret selalu mengandung air yang setiap saat akan tumpah dari lagit. Di sekitarnya orang-orang berkumpul dengan sebagian mulut menyala oleh sebatang rokok yang terbakar. Setidaknya sekitar dua puluhan orang, pria dan wanita muda yang turut berteduh sembari berbincang dengan setiap pasangan atau kelompoknya.

Hujan mulai reda sekitar pukul delapan malam, Jono dan Nurul masuk melewati pintu Gerbang Naga bersama tamu-tamu yang lain. Di sana, mobil dan motor terpakir tepat di pinggir sungai. Ketika memasuki gerbang ke dua yang berukuran satu setengah meter, di atas balkon yang menyerupai anjungan kapal yang difungsikan sebagai kedai, tampak samar beberapa kursi meja yang menghadap pertemuan dua sungai besar, seorang bertopi baret yang tampak sebagai siluet duduk bersama sosok siluet lain memanggil Nurul dengan suara yang berat.

“Bended,” bisik Nurul. Nama itu membuat Jono terkesiap seolah merasa semakin dekat dengan keberadaan Sintya.

Bended tertawa menyambut sembari berdiri memperkenalkan dua teman duduknya. Satu pria unik berambut ikal sebahu dengan ikat kepala putih dan mengenakan kaos putih dengan bawahan jarik batik. Wajahnya angkuh dan sedikit senyum. Ia bernama Soni, pemilik rumah seni. Soni sudah berada di Borobudur sekitar empat tahun. Ia seniman asal Jakarta yang membeli lahan seluas sekitar dua hektar di sekitar Sungai Progo. Ia membangun rumah seninya menjadi semacam kerajaan kecil. Satunya, gadis bule berusia sekitar 20-an tahun, berwajah hispanik yang lumayan cantik dengan rambut warna jerami. Nurul mencoba mengingatkan Bended yang tak begitu ingat akan Jono Winoto. Tapi segera saja ia menepuk kepalanya dan tertawa.

“Aku nyaris lupa wajahmu,” katanya pada Jono.

“Untung, aku tak pernah lupa,” balas Jono sedikit sungkan disambut tawa Bended.

“Dia ini sastrawan,” ujar Bended memperkenalkan pada Soni yang menatapnya tak acuh dengan senyum serupa seringai serigala. Jono memberikan tangannya untuk mejabat tangan Soni dan Michelle, gadis bule yang punya gigi putih dan rapi.

“Menulis apa?” Soni yang punya wajah acuh tak acuh bertanya.

“Menulis apa saja,” Jono asal saja menjawab. Dia merasa orang-orang ini hidup di dunia seni, tetapi tak pernah mau membaca koran, apalagi buku. Bagaimana mereka bisa mengenal sastrawan atau penulis jika tak pernah mau membaca. Tak ada yang mengenal, kecuali sedikit penulis melalui media massa kecuali lewat pergaulan.

Sementara di jalan kecil depan kedai semakin ramai lalu lalang serta celoteh, tawa orang-orang yang menuju panggung batu yang berada sekitar tiga ratus meter dari kedai. Mereka menggunakan bermacam-macam kostum yang aneh, seolah ini pesta topeng di masa Ratu Victoria berkuasa. Di kedai juga mulai ramai orang duduk memesan kopi, bir dan cemilan tertentu. Bau asap ganja menyebar dan tercium bersama angin malam, asap rokok, bau alkohol dan amis sungai. Jono melihat tiga perempuan cantik yang datang dan duduk di lingkaran kursi depannya. Beberapa orang menegur Soni yang disambut lambaian kedua tangannya yang terangkat secara bersamaan.

Setelah mendengar Bended bercerita yang mirip pertunjukan monolog, Soni meminta Jono dan Nurul berkeliling untuk melihat-lihat sebelum tengah malam, di mana waktu untuk menikmati acara yang sudah dipersiapkan oleh seniman-seniman yang katanya dari pelbagai dunia. Bended tak disangka menawarkan diri untuk menemani bersama Michelle.

“Ya, sudah, anggap tempat sendiri saja,” ujar Soni, Lo boleh ngapain saja di sini. Lihat lukisan gue di galeri boleh juga. Lo sudah jadi temen gue. Bebas saja, nyolek-nyolek cewek juga boleh.”

Ketika akhirnya mereka berada di dalam galeri yang hanya berisi lukisan dan patung milik Soni, ketika Nurul dan Michelle mengamati lukisan-lukisan di tembok, Jono sudah tidak tahan untuk bertanya pada Bended tentang keberadaan Sintya. Sebuah kejutan terjadi ketika Bended dengan nada ringan mengatakan bahwa Sintya ada di Jogja untuk sebuah keperluan bisnisnya. Ada desiran di setiap jaringan darahnya. Wajahnya merona seperti langit fajar tiba, dan udara segar segera memenuhi rongga paru-parunya, memompa semangat hidunya.

“Berapa waktu di sana?”

“Tak tahu.”

“Apakah sendiri?” Jono Winoto bertanya memancing.

“Katanya begitu. Kemarin rencana mau datang, tapi sepertinya tak jadi.”

Jono kecewa mendengarnya, tapi perasaannya bergolak dan seluruh nalurinya tegak waspada seperti pemburu yang mencium mangsa dalam jarak yang sudah semakin medekat. Ia mulai gelisah dan tidak betah berada dalam ruang yang semakin ramai, namun menjadi terasa sepi dalam batinnya.

Lihat selengkapnya