KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #22

KISAH 22

KISAH 22

 

Berjalan menuju kontrakannya, Jono melewati lubang-lubang trotoar yang terbuka dan melihat tikus-tikus keluar masuk membawa makanan dari tong-tong sampah. Telinganya dipekakkan oleh suara kendaraan bermotor bergemuruh di sepanjang jalan menjelang malam. Di sisi kanan-kiri jalan, deretan pertokoan menyala oleh lampu. Tukang parkir dengan jaket orange dan rambut diikat sibuk menata motor dan mobil yang mencari ruang. Dalam setiap langkah, hidungnya seperti lalu lintas kuliner menghirup harum gorengan dan bawang yang menyebar bersama angin yang menyerang tanpa ampun. Tepat pukul 19:00 dia sampai di kamarnya.

Sejenak dia termangu oleh pemandangan kamarnya yang dipenuhi buku-buku dan manuskrip berserakan di ranjang dan lantai. Setelah menimbang untuk sedikit memberikan rasa nyaman pada mata dan tubuhnya, dia memutuskan membuang rasa malasnya dan dengan cepat memunguti buku dan manuskrip. Menatanya dalam tumpukan berjajar di pojok ruang. Setelah itu, dia duduk di atas ranjang. Dia sempat berpikir tak ada gunanya memikirkan Sintya lagi, sebelum kemudian diserang oleh perasaan bersalah atas profesinya sebagai penulis hantu.

Apakah yang kulakukan salah? Pikirnya berulang kali.

Suara serangga mendenging dalam telinganya berputar dalam otaknya dan segera membeku di sana. Tak segera menemukan jawabannya, dia beralih ke meja kerjanya. Duduk dan menyulut rokok dan membiarkannya tergantung di bibirnya. Suara tokek mengagetkannya. Kepalanya mendongak, mencoba mencari di mana tokek berada, tapi matanya tak menemukannya. Jono kembali pada rokoknya, menghisapnya sekali dan memperhatikan warna merah baranya. Asap putih melayang tepat di depan mukanya. Perasaannya tak senang setelah bicara dengan Nurul soal bagaimana dia mencari uang. Nurul mengatakan dengan jelas saat itu. Menulis sastra untuk orang lain adalah kejahatan.

“Apa yang jahat ketika penulis kelaparan?” Jono membatah dan memberikan alibinya.

Nurul tertawa sinis. Lalu mengatakan bahwa seorang sastrawan seharusnya memiliki kejujuran. Tanpa kejujuran, dia seperti politisi yang menipu masyarakat. Mereka, katanya, membangun kursinya dari bara api neraka. Mata Jono berkedip-kedip mendengar suara temannya bicara menentangnya. “Tapi aku bukan politisi,” katanya mencoba membiaskan analogi yang baru diciptakan temannya. Nurul cepat sekali marah, seperti sumbu yang pendek. Tangannya menggebrak meja.

“Tahi!” Nurul berdiri dan menatap wajah Jono dari arah atas. “Kamu bukan politisi, tapi penipu!”

Suara Nurul seperti godam menghentak dan mengintimidasi, namum Jono berusaha bersikap tenang, meskipun hatinya sempat kaget dengan suara keras temannya itu. Dia paham sifat temannya yang idealis dan temperamental. Dengan santai tangannya meraih bungkus rokok dan mencabut satu batang. Sebelum membakarnya, dia memberikan sisanya pada temannya itu. Nurul diam sejenak, meskipun wajahnya masih merah, tapi di terlihat tengah berupaya mengendalikan dirinya. Jono menggeser duduknya dan berkata dengan hati-hati.

“Kau paham, tidak,” katanya kemudian. “Menulis di sni, di tanah ini, artinya kau membunuh dirimu pelan-pelan.”

“Lalu kenapa mau menjadi penulis?” Nurul bertanya tajam, meskipun suaranya tidak keras. “Itu risiko pilihan hidupmu,” tambahnya menekankan.

“Aku tumbuh besar oleh dongeng dan buku. Itu takdirku,” kata Jono.

“Kalau begitu jangan mengeluh. Itu mental kerupuk,” suara Nurul meninggi lagi. Kali ini perasaannya mulai tersinggung karena disebut mental kerupuk, tapi mencoba tetap menahan diri.

“Aku harus hidup agar bisa tetap menulis,” Jono masih membela dirinya.

“Menulis novel pop itu lebih baik daripada menjadi goshtwriter. Kenapa tidak kamu lakukan itu saja?”

“Aku menulisnya,” kata Jono tenang. “Kutuliskan sesuai pesanan.”

Lihat selengkapnya