KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #23

KISAH 23

KISAH 23

 

Hampir saja Jono menolak, ketika seorang kepala sekolah kenalan guru ayahnya memintanya mengajar sejarah dan sastra di sekolah swasta yang didirikannya. Dia merasa aneh jika benar-benar harus menjadi seorang guru.

"Saya sastrawan," katanya. "Bukan pengajar."

Tapi orang itu bersikeras dan memohon agar dia bersedia mengisi kekosongan pengajar sebelum ada guru lain. Katanya hanya satu bulan.

"Honorya nanti lumayan," bujuk orang itu.

"Saya tidak tamat kuliah," Jono sengaja menunjukkan kelemahan formalnya sebagai alasannya menolak. Tapi teman ayahnya itu tak peduli. Dia justru memujinya sebagai anak yang pintar.

"Ayahmu alhamrhum sudah cerita banyak.”

Jono, tentu saja bukan orang yang mudah dibujuk, apalagi dengan uang, tetapi ibunya tak memberinya kesempatan untuk menolak. Setelah mempertimbangkan banyak hal, terutama kenyataan bahwa dia juga sedang membutuhkan uang, Jono mengatakan sanggup, tapi hanya untuk sementara. Teman ayahnya itu setuju. Jadi, begitulah, akhirnya Jono mengajar sejarah.

*****

Nyaris pukul dua siang. Dalam ruang kelas, seluruhnya ada lima belas orang yang duduk di bangku. Enam belas berikut Jono. Cahaya berkilat dari kaca jendela. Langit tampak biru dan putih. Meja dan bangku-bangku cekelat memendar. Muram. Berkilat. Semua anak duduk diam. Lesu. Ruangan sunyi. Di luar suara benturan palu terdengar. Lalu terdengar lamat-lamat suara tukang bangunan mendendangkan lagu dangdut. Suaranya jelek sih. Tapi tampak bahagia. Jono menulis sesuatu di papan tulis hitam dengan kapur tulis warna putih: Yogyakarta 1812. Serbuk kapur berhamburan ke lantai.

"Ada apa?"

Tak ada suara menyahut. Jono bergerak, pindah dari muka papan tulis menuju meja guru. Duduk di sana memandang ruangan dalam sapuan matanya. Kemudian matanya berhenti pada murid pria yang duduk di bangku paling belakang. Jalu?

"Maksudnya, Pak?"

"Ada peristiwa apa di Yogyakarta?"

"Banyak perstiwa, Pak."

Suara tawa berhamburan keluar dari mulut anak-anak. Ruangan menjadi hidup. Jono berdiri, kemudian ikut tertawa. Suaranya membaur bersama tawa murid-muridnya. Benar, katanya. Aroma gorengan yang wangi menyebar bersama angin yang berputar. Mengelus kepala, merasuki hidung. Anak-anak yang resah tahu sumbernya dari kantin sekolah. Pikiran mulai bercabang.

"Tentu saja banyak peristiwa," ujarnya. "Tapi tak semua peristiwa pantas diikuti dan sudah sewajarnya lenyap. Hanya perstiwa penting yang layak untuk terus diingat. Sebagai sejarah. Sesuatu yang bergerak dan hidup dalam kenangan manusia. Pantas menjadi pelajaran karena ada nilai-nilai." Suara Jono kuat menjelaskan. "Seperti juga semua cerita, ada yang hanya sebuah cerita, namun ada cerita yang memberikan sesuatu yang bernilai. Punya makna yang pantas dipikirkan. Semua itu membuat kita bergerak maju dan berkembang. Menahan yang tak perlu."

"Lalu apa sejarah memang punya nilai?" Murid di bagian depan bertanya disusul tawa setengah temannya.

Lalu tangan Jono mengelus dada. Ada serbuk kapur menempel di kemeja batiknya warna merah. "Seperti puisi," kata Jono, "dan seperti kata John Keating dalam Dead Poets Society: Puisi tidak seperti bisnis yang dibutuhkan sebagai alat untuk bertahan hidup, tapi sejarah memiliki maknanya puisi, dibutuhkan agar manusia tetap hidup. Karena nilai dan moral membuat manusia tetap hidup. Ada rasa di sana. Ada roh. Ada semangat. Ada peringatan." Jono membungkuk dengan dua tangannya menyangga di atas meja muridnya yang resah. Matanya menatap lurus ke depan. Diam sejenak. Sadar sudah melakukan bid’ah narasi. Menunggu reaksi muridnya. Tapi semua tenang. "Akhirya," katanya, "semua orang membuat, mencatat sejarah. Sejarah harus ditulis, dibaca. Dipahami."

Selanjutnya Jalu diberi tugas. Menguraikan catatan gurunya.

Lihat selengkapnya