KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #24

KISAH 24

KISAH 24

 

Menulis selalu menuntut waktu dan juga perhatian yang seksama agar dunia di masa depan mendapatkan apa yang dibutuhkan. Semua itu bukan soal uang, seperti keyakinan Jono sejak muda, namun soal memberikan fungsi yang semestinya pada sastra. Tapi uang tetap saja adalah kebutuhan dari zaman ke zaman, di mana semua kebutuhan harus ditukar dengan nilai-nilai yang ditentukan. Semua yang diinginkan harus dibeli, semua yang menjadi kebutuhan harus diperoleh dengan menukar nilainya, termasuk cinta. Dan semua itu adalah omong kosong bagi Jono Winoto dan teman-temannya. Dunia, seperti diyakininya adalah tempat di mana keajaiban bisa selalu terjadi tanpa unsur uang. Karena seluruh sel alam semesta adalah dibentuk oleh sesuatu yang tak terduga dari lubang kehampaan, bukan uang. Biji-bijian tumbuh dari dalam tanah, bayi-bayi lahir dari cairan yang bersumber dari tanah. Atau orang-orang yang menghilang entah kemana seperti Udin dan Gilang.

Setelah dengan senang hati Jono meninggalkan pekerjaannya sebagai guru, dan setelah sekian lama tanpa pekerjaan, dia kembali pada dunianya yang membutuhkan perhatian penuh. Menulis sebuah novel yang tidak dipesan dan digeser namanya dari garis setelah judul. Di sana benar-benar hanya ada namanya yang sah dituliskan, dan tentu saja tak ada uangnya. Dia menyelesaikan draft novelnya hampir selama satu tahun. Usai pertapaan yang panjang dan dipenuhi oleh dunia yang tak terduga oleh siapa pun, suatu ketika Jono Winoto memutuskan bergabung bersama teman-temannya di masa kini.

Jono muncul di antara teman-temannya yang hidup bersama di sebuah rumah yang selalu berdenting, karena fungling digantung di depan pintu. Fungling itu selalu berdenting ketika angin menggoyangnya. Rumah itu berisi orang-orang yang tak percaya uang mampu membuat manusia bahagia, tapi enggan membicarakan keyakinan mereka tentang tuhan yang dianggap terlalu misterius. Dengan kata lain, mereka mengabaikannya secara tak pasti. Mereka lebih percaya pada hal-hal yang bisa mereka capai dengan pengetahuan mereka yang terbatas. Dan jika pun harus mempercayai sesuatu yang gaib, pasti itu adalah soal tipu daya politik.

Orang pertama yang menyambut ketika Jono masuk rumah itu adalah Tito, seorang pelukis berusia hampir 60 tahun yang tak mengakui dirinya sebagai seniman. Jadi, meskipun dia melukis setiap hari, tapi dia menolak untuk mengikuti pameran sebagai ajang eksistensi. Katanya, pameran hanya dibutuhkan oleh mereka yang ingin menjual lukisan. “Aku tidak menjual lukisan,” katanya. Dia hanya akan memberikan lukisannya pada orang yang tepat, dan semua ketepatan itu hanya bergantung pada kecocokannya pada orang tersebut. “Aku akan berikan gratis kalau cocok,” katanya, dan itu jarang terjadi. Di lain waktu, kecocokan itu tergantung berapa besar nilai yang ditawarkan orang itu pada lukisannya. Dan itu yang sering terjadi.

Tito tengah melinting tembakau seperti saat Lucky Luke bersandar di kursi tua ketika melihat Jono masuk dan duduk tepat di depannya. Rambut hitam keperakannya terurai sebahu, menyentuh lengannya yang penuh tatoo. Dia tak mengubah posisinya ketika menyapa dengan pertanyaannya. “Sudah selesai menulis?” Jono mengambil rokok dari sakunya dan menjawab sembari menyulutnya.  

”Yah, kelar,” jawabnya, “tapi menulis tak pernah selesai.”

“Terserah kamu saja,” kata Tito sembari membakar rokoknya yang tebal.

“Ada orang yang mau mengambil lukisanku,” sambungnya.

“Siapa?”

“Orang Pekanbaru.”

“Gratis?”

“Dia memaksa membelinya. Kau tahu aku bagaimana.”

“Jadi kapan dia mau ambil?” Tanya Jono.

“Hari ini, mungkin malam.”

“Dapat duit besar,” kata Jono.

“Uang bukan segalanya di tempat kita,” balas Tito.

Tentu saja apa yang dikatakan Tito benar, di tempat itu uang bukan segalanya, jika tak ada. Tapi bila datang, uang diterima tanpa perlu dikomentari. Hanya disyukuri. Sesuatu yang jauh lebih penting untuk diperhatikan adalah ketika Jono merasa tertarik pada perempuan itu setelah sekian waktu mencoba menghancurkan dominasi Sintya dalam hatinya.

Jadi, ketika Jono melihat Akrida datang untuk mengambil lukisan yang dibelinya dari Tito, dia mengambil peran aktif dengan membantu mengepak lukisan dengan plastik dan kardus, sementara Tito dan Akrida berdiri di sampingnya sembari mengobrol. Meskipun Jono tampak sibuk, dia diam-diam mencuri dengar dan mencuri pandang pada wajah Akrida yang menurutnya sangat menarik. Matanya bersinar kagum ketika melihat rambut perempuan itu menggeliat hidup dan merah seperti rambut ular Medusa. Kulitnya halus dan putih, bahkan lalat pun akan susah payah untuk bisa hinggap. Tapi Jono tak punya kesempatan untuk ikut bicara. Dia sungkan untuk masuk dalam arena obrolan yang dirinya tak dipersilakan masuk. Satu-satunya komunikasi yang dia lakukan secara langsung dengan Akrida adalah ketika Jono membantu mengangkat dan meletakkan bungkusan lukisan ke bagasi mobilnya. Di saat itu, Akrida mengucapkan terima kasih sebelum kemudian pergi. Tapi itu cukup bagi Jono untuk memikirkan Akrida sebagai sesuatu yang istimewa.

Lihat selengkapnya