KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #25

KISAH 25

KISAH 25


Ketika Akrida melihat Jono muncul di tokonya, kumal tapi tegar, wajahnya terlihat kaget, seperti pantulan cahaya yang berkilat menyilaukan di permukaan jendela tokonya. Di jalan suara motor berdengung, asap memuai dari kulit aspal. Perjalanan bus yang ditempuh selama dua hari dari Jogja membuat tubuhnya tampak lusuh dan letih. Tapi perjalanan ini adalah perjalanan cinta. Dan cinta selalu membuat segalanya baik-baik saja. Hanya muka Akrida saja yang tampak tidak baik-baik saja. Dia berdiri dengan wajah melongo disaksikan para karyawannya.

“Kenapa tak memberitahu dulu?”

“Aku datang untuk urusanku,” jawab Jono beralasan.

“Jika aku berpergian, apa perjalanamu tak sia-sia?”

“Aku bisa menunggumu sampai kau pulang,” jawabnya tenang. “Aku bisa juga meneruskan perjalanan. Tidak ada yang sia-sia.”

“Apa rencanamu?”

“Akan kupikirkan nanti,” kata Jono. Dia diam sejenak. Kemudian menambahkan permohonan. “Bisa aku minta secangkit kopi panas?”

*****

Jono menyewa satu kamar di sekitar Jalan Rambutan dengan harga murah. Kamarnya tak memiliki jendela dan hanya ada kasur lipat serta meja kursi kecil di pojok kamar. Baunya sedikit pengap, tapi dia sudah terbiasa. Dia meletakkan ranselnya dan mengeluarkan buku-buku dan laptopnya, lalu meletakkannya di atas meja. Setelah itu dia memikirkan rencananya. Tak ada suara apapun di dalam kamarnya yang seperti kedap suara. Semuanya menjadi sempurna karena dengan demikian hanya suara hatinya yang terdengar. Setelah merenung beberapa saat, dia menggeser mundur kursinya lalu membuka laptop dan menyalakannya. Usai itu dia merokok dan kemudian mengetik.

Jono sudah paham apa yang harus dia kerjakan. Dia mengabaikan seluruh perasaannya dan mencoba melakukan kerja observasi sembari menulis catatan-catatanya. Setiap bangun tidur setelah melakukan olah raga kecil, dia menghangatkan otaknya dengan kopi panas dan rokok sembari membaca buku. Pukul 9 setiap pagi dia datang ke toko Akrida, menyapa beberapa karyawan di sana yang tengah menyiapkan baki-baki nampan, kerdus, dan penganan yang hendak dipajang atau sudah dipesan. Duduk di sana berjam-jam hingga para pelanggan mengiranya seorang satpam. Akrida menemuinya sesekali seperti kesepakatan dan terkadang mengajaknya pergi minum kopi di sebuah kafe. Setelah puas berkunjung dan mendengarkan cerita Akrida, dia segera balik ke kamarnya untuk menulis.

++++

1

Namaku Akrida, tulis Jono memulai.

Aku gadis yang tumbuh bersama kemunafikan, seperti benalu menempel di pohon-pohon, seperti semak belukar liar yang mengganggu dan mengurung halaman. Orang-orang bicara tentang kesucian agama, tapi hidup dengan korupsi dan berpikir itu tak apa. Mungkin ibuku setengah masuk dalam kategori itu, hanya saha masih tergolong ringan dan bisa dimaafkan. Walaupun dia orang baik, tapi ambisinya membuatnya menjadi orang yang tak pernah sesuai antara mulut dan tindakannya. Katanya, aku boleh memilih menjadi apa saja, tetapi dia selalu memaksaku menjadi seperti maunya. Setiap pagi, sebelum berangkat mengajar, dia akan berhias di depan cermin selama beberapa menit, sementara anak-anaknya duduk menunggunya. Setelah itu dia akan memberi wejangan dan memuji semua anaknya, kecuali aku.

Aku tidak pernah suka sekolah di mana aku belajar, terutama karena gurunya. Ketika di kelas enam, guru agamaku menghukumku berdiri di kelas hingga sekolah bubar. Dia menghukumku karena aku telat masuk kelas di jam terakhir, dan tubuhku basah oleh air kolam. Karena basah, kain seragam sekolahku yang putih dan tipis lengket pada kulitku dan dadaku tampak semakin menonjol bersama kaos kutangku. Ketika semua anak berlarian keluar kelas sambil menertawaiku, aku harus tetap berdiri di depan kelas. Guru itu berjalan perlahan ke arahku, setelah memastikan semua anak menjauh dari kelas. Dia berdiri tepat di depanku. Menatap dengan mata seperti binatang menatap mangsanya.

“Kau merasa bersalah?” Dia bertanya sambil maju setindak.

Aku tak mau menjawab. Dia terus memaksaku untuk mengakui kesalahanku dan mulai berani menatap dadaku. Lalu mukanya mulai memerah seperti babi. Tapi aku tetap bertahan. Ketika tangannya tiba-tiba menyentuh pipiku, aku berteriak. Dia kaget dan panik, lalu membentakku. Katanya, kurang ajar. Setelah itu dia membiarkanku pulang. Aku tidak menangis, tapi aku merasakan betapa hidupku menjadi begitu berat oleh rasa jijik yang ditimbulkan oleh guru agama itu.

Ketika ibuku mendengar dari laporan guru agama itu, dia justru memarahiku dan tidak mau mendengar apa yang aku katakan. Dia menganggapku sebagai perempuan pemberontak yang sudah berani melanggar agama. Katanya, guru itu menuntun pada kebaikan. Tapi ibuku tidak tahu bagaimana mata guru agama itu melihatku seolah aku adalah daging yang nikmat untuk disantap. Dia itu predator. Guru agama yang munafik.

Lihat selengkapnya