KISAH-KISAH SEORANG SASTRAWAN

Ranang Aji SP
Chapter #26

KISAH 26

KISAH 26

 

Sebulan setelah kembali dai Pekanbaru, Jono bertemu dengan temannya yang mengajaknya berkunjung di Gunung Andong yang terletak di antara Gunung Merapi dan Merbabu. Perjalanan menuju ke puncak tidak terlalu jauh, tapi cukup melelahkan untuk siapa saja yang tak terbiasa dengan perjalanan menanjak. Menurut temannya, orang-orang di wilayah sini pernah menjadi bagian pergerakan PKI sebelum kemudian peristiwa G-30/S?PKI terjadi. Jono bertanya apa masih ada saksi hidup yang bisa menceritakan apa yang terjadi di Gunung Andong di masa PKI. Temannya menjawab masih ada.

*****

Lelaki tua berusia sekitar 70 tahun itu punya mata yang jernih dan tajam. Dengan suaranya yang masih jelas, dia menyambut Jono dan temannya di rumahnya yang terletak di antara tanah datar menghadap Gunung Merbabu. Rumahnya cukup dan dibangun dari tembok gedek. Semua lantainya adalah tanah yang dipadatkan berwarna hitam. Orang tua itu dengan ramah menyilakan tamunya untuk masuk dan duduk di ruang tamu yang remang. Satu-satunya penerang bersumber dari jendela besar yang terbuka. Tak ada perabotan kecuali kursi dan meja dan satu lemari yang berdiri di pojok dekat dinding penyekat antara ruang tamu dan ruang belakang.

“Ada perlu apa?” Orang tua itu bertanya.

Teman Jono menjelaskan apa yang menjadi keperluan mereka. Orang tua itu manggut-manggut mendengar penjelasan tamunya. Seorang perempuan paruh baya datang menyuguhkan kopi, dan orang tua itu meminta tamunya meminumnya. Setelah itu dia membenarkan bahwa di wilayah Andong dulu ada peristiwa kecil namun cukup membekas dalam ingatannya.

“Nak Jono mau menulisnya?” Jono mengangguk disertai senyum sopan.

“Kalau begitu saya akan bercerita,” katanya. “Sebenarnya,” orang tua itu mulai bercerita. “Semua kejadian itu dimulai dari seorang pemuda dari Jakarta yang datang ke Gunung Andong. Dia seorang guru. Namanya Kelono. Di sini, dia menyewa tempat di rumah seorang janda bernama Pratiwi. Rumah itu dikenal sebagai Warung Surga. Tempatnya di sebelah sana.”

++++ 

 1

 Kelono ingin tinggal di Andong untuk sementara waktu. Dan karena itu, Pratiwi yang ditemuinya menawarkan untuk tinggal di warungya. “Mau tinggal berapa lama?” Perempuan itu bertanya, tapi kemudian dia buru-buru mengusulkan untuk menyewa dalam waktu setahun. Tawaran itu, meskipun terasa berlebihan, tapi disambut Kelono dengan lega, karena dengan begitu tak perlu lagi dia bersusah payah mencari indekost. Matanya sayu dan lelah ketika bicara dengan perempuan itu. Dia hanya ingin segera istirahat. Lagipula dia tak melihat ada bangunan selain tempat ini di sekitar jalan utama, meskipun dia melihat keramaian di sepanjang jalan sebelumnya. Kata Pratiwi itu pasar tiban yang ada sekitar sebulan sekali. Setelah satu hari, pasar itu bubar. Para pedagangnya berpindah ke tempat lain, dan warga yang datang kembali ke rumah mereka yang tersebar di antara tebing dan lembah. Dari seluruh situasinya, dia merasa cocok. Kelono membayangkan sebuah ketenangan yang alami. Jadi, dia memutuskan menerima tawaran itu. Dia memperhatikan Pratiwi berbicara kesana kemari di antara tamu-tamunya, para pedangang yang ingin minum kopi sebelum pergi. Gerakannya gesit dan luwes. Setelah melayani salah satu tamunya, Pratiwi kembali pada Kelono.

“Jika tinggal lama,” kata Pratiwi, “harganya jauh lebih murah. Bila belum ada uang, semua bisa diatur.” Pratiwi berdiri dan tangannya mendekap dadanya. Matanya menatap langsung.

“Tidak, terimakasih.” Kelono tertawa. “Saya masih bisa membayar.”

“Baiklah, itu bagus,” kata Pratiwi sambil bergerak ke belakang.

++++

“Siapa Pratiwi itu?” Tanya Jono.

“Iya, baik, sabarlah,” jawab orang tua itu. Pratiwi ya?”

++++

Pratiwi adalah pemilik Warung Surga. Rambutnya hitam tergelung. Tubuhnya padat dengan dada bulat menyembul dari kutangnya yang berwarna merah marun, dan kulitnya halus sewarna sawo yang matang dibalut kain dan kebaya. Matanya besar hitam bersinar, dan bila tertawa, gingsul giginya menyapa, dan akibatnya, beberapa pria sering bengong di dalam kamar. Seorang pria di sana pernah menyebut Pratiwi sebagai biang mimpi kaum Adam. Pratiwi mengatakan pada Kelono bahwa dirinya sudah hidup sendiri sejak beberapa tahun lalu. “Kenapa?” Tanya Kelono, dan perempuan itu tertawa. Seorang perempuan, katanya, selalu mampu hidup sendiri. Kelono tak perlu menyangsikan itu, karena dia memang melihat sosok yang unik dalam kesannya sejak awal. Usia Pratiwi sekitar 30 tahun. Dia melewatkan masa kecilnya di antara orang-orang yang hidup di sekitar rel kereta api di Surabaya. Dia tak menyukai mereka yang tinggal dalam rumah-rumah bedeng itu, tempat yang menurutnya dibangun dari harapan yang putus asa, dan kayu-kayu yang membusuk dengan genting suram yang tersusun tak sempurna setinggi dua meter dengan lubang dan retakan. Ada sekitar dua puluh rumah bedeng yang berjajar tak beraturan sepanjang seratus meter, dan semua penghuninya adalah para pelacur bagi para perempuan, dan maling bagi para pria.

Mereka datang dari beberapa daerah seperti serpihan yang hancur dari kemanusiaan yang gagal akibat perang dan revolusi, dan mencoba menjadi utuh di tempat itu. Jika dia berjalan di sepanjang rel, mata Pratiwi selalu bisa melihat apa yang mereka lakukan dalam bedeng yang tak tertutup rapi. Terkadang dia hanya melihat tumpukan kaki yang bergerak seperti empat ular besar, terkadang dia melihat seorang pria tengah menampar pasangannya, dan terkadang dia melihat orang menatapnya dengan risih sambil berkata, “Pergi, anak pungut!”

Sepanjang waktu di pagi atau malam, dalam cahaya yang terang atau remang, dia bisa menyaksikan orang asing yang datang dan pergi, masuk dan keluar rumah bedeng. Dan tempat itu selalu bergoyang. Setiap kali kereta api melewati rel, rumah bedeng itu bergoyang bersama para penghuninya yang juga tengah bergoyang disertai lenguhan. Sementara anak-anak yang entah anak siapa berlarian tanpa baju dan celana di sepanjang rel. Mereka mengejar kereta sambil berteriak mengumpat dan melemparinya dengan batu yang dibalas dengan lengkingan lokomotif. Mereka yang datang, biasanya hanya berakibat pada dua kebutuhan, pertama selangkangan, dan kedua adalah keributan.

Gadis-gadis di sana, dipimpin oleh seorang germo yang dipanggil Yu Genuk, menawarkan kesenangan pada siapa saja yang memiliki uang tanpa membedakan status dan usia. Kuncinya ada pada uang. “Bila kamu ada uang kamu bisa bersenang-senang di sini,” kata Yu Genuk. “Bila tak ada, cari uangmu di mana saja, mungkin kamu bisa merampok atau korupsi. Korupsi itu jalan paling terhormat hingga akhir hayat. Tapi kamu harus terpelajar dan jadi pegawai dulu, dan itu susah. Tapi tetap saja kamu bisa ke sini, asal bawa uang.” 

Yu Genuk adalah ‘Kusatta Bara’ yang berarti mawar busuk ketika dia menjadi jugun ianfu di masa Jepang. Awalnya, saat masih segar, dia dipanggil ‘bara’ oleh para tentara Jepang yang haus akan selangkangan gadis manis sepertinya, tapi cepat sekali dia kemudian menjadi layu karena kurang gizi dan banyak siksaan yang diterimanya. Tapi seperti mawar, dia benar-benar berduri. Dia membunuh dua tentara Jepang yang menjaga kamp yang mabuk dan hendak menggilirnya, sebelum kemudian kabur ke kampung halamannya di Solo. Tapi, hanya sepekan dia bertahan, dan akhirnya kembali lagi ke Surabaya. Semua itu bermula dari penolakan orang-orang kampungnya yang mengusirnya karena menganggapnya sebagai manusia kotor penyebab bencana. Menyadari dirinya tidak dianggap sebagai manusia, dia akhirnya membangun koloninya sendiri bersama para pria dan gadis sejenis dirinya di sepanjang rel kereta api.

Setiap hari, para gadis itu menunggu di bedeng sambil mengoceh atau berdandan, mewarnai bibirnya dengan warna merah darah, menumpuk serbuk putih di atas wajah, dan melumuri tubuh mereka dengan minyak wangi murahan, sementara Yu Genuk dengan bibir merah menyala dengan mulut penuh tembakau susur, mencari orang-orang yang turun dari kereta dan membelokkan tujuan mereka, untuk menawarkan kesenangan surga ala bedeng. Terkadang dia mengajak Pratiwi ke stasiun, berdiri di antara pintu gerbang yang berwarna kelabu, sementara Pratiwi berjongkok di sebelah kakinya, matanya mengawasi siapa saja yang bisa diajak pulang untuk dimangsa para gadisnya. Bila tak ada, matanya akan segera beralih pada barang bawaan siapa saja yang terlihat lengah. Tangannya begitu terampil mengambil, hingga mereka tak sadar barangnya sudah menghilang. “Ingat,” katanya pada Pratiwi kecil, “Hidup itu adalah masalah. Dan masalah kita selalu kekurangan uang. Kita harus pandai mencari tambahan.”

Bila dimensi yang dimaksudkan untuk bisa menyenangkan itu menghilang, biasanya akan muncul urusan yang sebaliknya, yaitu keributan yang biasanya dipicu oleh datangnya penagih hutang yang disambut dengan caci-maki dan sorakan para gadis, atau keributan di antara para gadis itu sendiri yang berebut pelanggan. Jika kemudian, keadaannya mulai menjadi semakin serius, yaitu ketika seseorang menjadi terluka dan berdarah, Yu Genuk dan Soimah, atau para penghuni dari kaum pria segera meredakannya. Setelah itu semua orang sadar bahwa kejadian itu harus diredam dengan kesenangan untuk menutupi keadaan dengan bernyanyi dan mabuk bersama. Untuk metode yang terakhir itu, kadang berhasil, tapi seringkali justru semakin memburuk. Jika demikian yang terjadi, tak lagi ada yang bisa mengatasi kecuali alam. Ketika matahari merambat di antara garis cakrawala ufuk timur dan berwarna antara kuning dan jingga, semua orang menjadi lamban, bergerak kelelahan dan akhirnya tidur. Semua itu terus berputar seperti roda pedati yang berjalan. Pratiwi hidup sejak kecil dalam keadaan seperti itu, dan tempat itu baginya adalah semacam keabadian, mustahil untuk bisa berubah.

Tapi, meskipun dia membenci lingkungannya, Pratiwi tak bisa menolak nasibnya. Usianya lima belas ketika seorang pria disebut menikahinya. Pria itu bernama Gento, meminangnya setelah semalam meniduri seorang pelacur. Gento melihatnya saat keluar dari bedeng di pagi hari. "Siapa gadis itu?" Pelacur yang bersamanya, dan hanya mengenakan kutang berwarna hitam, kemudian mengintip dari semacam pintu bedeng. "Oh, Pratiwi. Anak Soimah." Pagi itu juga, pria itu langsung menemui Soimah yang tinggal beberapa meter dari bedeng itu. "Aku mau menikahi anakmu," katanya. Perempuan itu diam sesaat, lalu tertawa. Soimah, perempuan tua yang mengasuh Pratiwi sejak bayi, dan hanya punya satu mata akibat dipatuk Srigunting yang muncul tiba-tiba dari langit ketika muda, menikahkannya tanpa penghulu. Malam itu juga, Pratiwi diminta duduk berdampingan dengan pelamarnya, sementara Soimah duduk di depannya sebagai wali sekaligus penghulu, menerima mahar sambil berkata: “Sah.”

Prosesi itu begitu normal, sehingga auranya begitu terasa sakral yang membuat beberapa gadis merasa iri dengan keberuntungan Pratiwi. Mereka juga memimpikan pernikahan yang sama, atau lebih megah dari yang mereka lihat. Sedangkan Pratiwi hanya duduk diam dan menunduk menatap bayangannya.

"Dia suamimu sekarang," kata Soimah lega setelah beberapa saat. "Di dunia ini tak ada pria sebaik dia." Soimah memuji pria itu karena puas dengan mas kawin yang diberikan. Sementara Pratiwi berpikir dirinya sah menjadi pelacur. Itu setelah dia melihat Yu Genuk menerima bagian dari maharnya.

Beberapa tahun lalu, Gento yang disebut sebagai suaminya, membawanya ke Andong setelah menjadi buronan polisi di Surabaya atas kasus perampokan dan pembunuhan seorang pejabat di tahun 1955, sekaligus diduga sebagai PKI. Di Andong yang sunyi dan terpencil, suaminya bisa melakukan apa saja tanpa takut diburu polisi. Dia bergerak seperti hantu dan bertindak seperti gerilyawan, mencegat setiap rombongan yang kaya atau disangka kaya, dan jika jalanan sepi, dia merampok di kota. Tak ada yang bisa dilakukannya kecuali menerima semua yang diberikan suaminya, meskipun buruk, kecuali satu hal. Kesetiaan. Orang boleh jahat, tapi orang tanpa kesetiaan, itu lebih buruk dari kejahatan itu sendiri, katanya.

"Aku tak peduli jiwamu kotor yang memakan bahan kotor, tapi selama menjadi pria yang setia aku tak akan mengutukmu." Ancaman itu disampaikannya suatu malam. Suaminya tertawa dan lantas mengikrarkan kesetiannya. Jadi, pria itu mengucapkan sumpahnya sambil tertawa di malam hari. Dan pagi berikutnya tangannya sibuk meremas pantat gadis tetangga, masih sambil tertawa.

"Tak ada pria dilahirkan setia," katanya. Tentu saja yang dia maksud adalah dirinya sendiri.

Dua tahun kemudian, setelah berada di Andong, pria itu pergi tanpa pamitan, dan tak pulang dalam beberapa hari. Faktanya dia pergi bersama istri seorang begal, dan akhirnya mati terbunuh, dan yang membunuhnya gantian kabur untuk menyelamatkan diri ke luar pulau. Jasad suaminya ditemukan terbelah dua di dasar selokan bersama kekasihnya. Itu terjadi setelah Pratiwi mengutuknya keseribu kali. Mungkin lebih.

++++

Jono termenung sejenak. Kemudian bertanya tentang Kelono.

“Iya, di waktu itu dia akhirnya menyewa kamar di rumah Pratiwi.

++++

 

Di rumah Pratiwi terdapat tiga kamar tidur yang memang disewakan. Semuanya hanya disekat dinding gedek tipis setinggi satu setengah meter diapit belahan bambu. Masing-masing kamar berisi satu ranjang kecil, satu meja kursi, dan satu sentir sebagai penerang. Namun, bila ada tamu yang ingin cahaya lebih terang, ada pula petromaks yang bisa dipinjam dengan memberi tambahan uang sewa. Itu aturan yang diniatkan Pratiwi untuk mereka para pedagang pasar yang bersedia membayar. Karena aturan sebenarnya adalah 'bayar bila kamu ada uang'.

Kelono sudah masuk kamar sekitar pukul delapan malam, ketika Pratiwi menerima tamunya seorang pria yang bicara dengan suara keras. Suaranya terdengar jelas menembus kamarnya. Tamu itu tampaknya istimewa, karena ketika Kelono tengah berjuang untuk menghangatkan tubuhnya dari serangan udara yang begitu dingin, dia mendengar suara-suara yang membuat jantungya berdebar, dan membuatnya jadi sulit memejamkan mata. Dinding gedek pembatas itu memang punya fungsi untuk menutupi masing-masing ruang, tapi tak berfungsi untuk menghambat suara tertentu, terutama yang tak terkontrol seperti itu. Awalnya Kelono mendengar suara gesekan yang tak beraturan, lalu kemudian berubah menjadi dengusan nafas, dan kemudian terdengar lenguhan-lenguhan panjang yang masih tetap saja terdengar tak beraturan, namun semakin lama semakin jelas, dan akhirnya melekat dalam benak Kelono hingga selamanya.

Esok paginya, Kelono bangun dan merasa malu hati bertatap muka dengan Pratiwi yang menyuguhinya kopi dengan rambut terurai dan basah. Perempuan itu tersenyum dan menyapanya dengan ucapan selamat pagi. Kelono tersenyum sembari menundukkan kepalanya, dan mulutnya mengucapkan terima kasih atas kopi yang sudah disuguhkan. Sambil membakar rokok, pikirannya masih melayang pada kejadian semalam, walaupun sudah berusaha menepisnya. Meskipun penasaran dengan pria semalam yang dia tahu pergi saat subuh, Kelono tak ingin bertanya langsung. Siangnya seorang pelanggan menyebut tamu itu adalah Burhan, seorang kepala desa.

++++

“Siapa Burhan itu?

“Nanti aku ceritakan. Tapi sebelumnya ada orang bernama Badak. Dia mengaku seorang komunis. Cita-citanya menggantikan Burhan.”

“Dia orang yang bersemangat ya,” kata Burhan tertawa.

++++

2

Badak adalah semacam contoh dari seorang penguasa tanpa istana. Sehingga dia membutuhkan tempat gratis, di mana dirinya bisa merancang angan-angan kekuasaannya, karena tempatnya sendiri terlalu jauh mendaki di ujung selatan Andong yang tak memenuhi syarat untuk berkoordinasi dengan sedikit pengikutnya. Maka, warung Pratiwi adalah pilihan yang tepat untuk nongkrong, maksudnya untuk memenuhi kepentingannya seperti sudah disebut di atas. Selain memang tak ada pilihan tempat lainnya. Di tempat itu, dia bisa bertemu dengan teman-temannya untuk berbagi keluhan, berlagak melakukan semacam intruksi organisatoris pada saat-saat tertentu, dan selain itu, di dalam hatinya dia berharap bisa mendapatkan perhatian Pratiwi. Meskipun pada faktanya, harapannya yang terakhir itu sulit dipercaya untuk bisa dikabulkan, bahkan bila dia cukup punya iman untuk berdoa pada Tuhan (tapi faktanya dia adalah ateis yang taat). Sebab, tentu saja Tuhan pasti juga mempertimbangkan doa orang lain, seperti juga para pria lainnya yang berdoa sama sepertinya. Misalnya pun Pratiwi sendiri juga berdoa, bisa dipastikan bahwa doanya juga bukan untuknya, tapi untuk mendapatkan perhatian orang lain, bukan Badak. Untungnya, Badak cukup menyadari untuk fakta itu, jadi Badak tak terlalu memikirkannya. Sebab, bila tidak, dia pasti akan dijuluki sebagai ‘orang yang tak punya malu’, selain dia tahu pasti konsekuensinya bila tetap ngotot tak menerima kenyataan, yaitu sakit merana. Fakta terakhir adalah, karena dia sudah memiliki istri dan lima orang anak, jadi dia tak ingin mendapatkan masalah hanya karena hal-hal yang tak mungkin dia jangkau.

Badak adalah seorang komunis jadi-jadian, dalam arti keluguan dan keterbatasaannya pada pengetahuan serta pandangan-pandangan yang lain. Penerimaan ideologinya itu bukan karena dia seorang ateis sejak orangtuanya sibuk putus asa dalam kemiskinan, dan melahirkannya, tapi karena keterpesonaannya terhadap apa yang diyakininya dari sebab apa yang didengarnya dari seorang seniman di kota yang pernah ditemuinya mengatakan bahwa menjadi komunis adalah cara orang miskin menuju jalan kemakmuran. Di mana, katanya seorang manusia seharunya memiliki sesuatu yang sama rata demi menghindari ketidakadilan di dunia. Nah, pada posisi kata miskin, dan frase menjadi makmur, serta diramu sedemikian rupa dengan rasa kecemburuan sosial inilah yang paling menyentuhnya, dan membuatnya percaya pada gagasan yang diperkenalkan padanya. Dia juga suka pada bagian dari apa yang dikatakan seniman itu, bahwa tanah-tanah seharusnya adalah milik petani, karena merekalah yang harus memproduksi semua kebutuhan manusia yang dihasilkan dari tanah. Karena itu, seorang tuan tanah, atau semua yang berasal dari kaum feodal adalah sumber dari ketidakadilan yang harus dilawan. Jadi tanah harus dibagi rata pada semua warga petani, “jika memang benar ada kosa kata untuk keadilan,” kata seniman itu. Tanah seharusnya benar-benar untuk petani, seperti slogan yang dirancang D.N. Aidit.

Petani Andong, sebagian besar adalah petani penggarap, atau buruh tani sejak berabad-abad lalu. Sebab semua tanah adalah milik para bangsawan desa, kepala desa, atau sebagian perangkat desa, kecuali hanya sedikit lahan yang dimiliki warga biasa. Realitas itu membuat Badak yakin bahwa jalan komunisme adalah jalan keadilan, seperti dia meyakini begitu saja bahwa tak ada Tuhan di alam semesta ini. Meskipun dirinya sendiri seringkali mengeluh dengan menyebut nama Tuhan tanpa sadar.

Keyakinannya itu suatu kali pernah dipertanyakan kesahihannya oleh salah seorang temannya yang meskipun bersedia menjadi komunis setelah dia ajak, tapi tetap berkukuh beriman pada agamanya. Karena Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta, sedangkan manusia lahir dalam keadaan yang sama, yaitu telanjang, kata orang itu, tapi kok mereka tumbuh menjadi manusia yang berbeda-beda. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang memiliki tanah, ada yang tidak. Ada yang punya satu, ada yang banyak, dan ada yang tak kebagian. Lantas, orang itu bertanya pada Badak, apakah dengan demikian Tuhan itu bukan komunis karena tidak memberikan nasib yang sama. Dan pertanyaan itu dijawab Badak dengan mengatakan Tuhan itu kontra-revolusi karena tidak membagi kekayaan sama rata pada manusia jika ada. Akibat jawaban itu, dan ditambah tidak paham arti kontra-revolusi, orang tersebut menjadi ragu apakah pantas menjadi seorang komunis, karena dia masih beriman pada Tuhan yang bukan komunis.

Badak pernah sekolah rakyat, meskipun tidak selesai, maka, dia bisa membaca atau menulis sebaik para kaum terpelajar (hanya saja dia tak pernah membaca buku, karena itu dia tidak terlalu pintar), dan oleh sebab itu pula dia bersedia membuat perkumpulan petani, seperti diajarkan seniman itu. Dan untuk itu, dia menyerukan ‘tanah untuk petani’ di Andong, di mana hampir semua penduduknya buta huruf, dan hidup dalam keadaan miskin. Pada tingkat kenyataan inilah, kemudian, dia merasa memiliki bakat berkuasa. Dengan kemarahannya karena rasa lapar, dia menyerukan slogan itu dan mengajak orang-orang mengikutinya sebagai pemimpin. Meskipun kenyataannya tak banyak yang ikut.

**

Dalam beberapa hari, Badak selalu bersemangat menemui Kelono untuk mengajaknya berbicara. Semua bahan obrolan yang disampaikannya membuat Kelono ingin menghindar. Tapi pria itu tak memberinya kesempatan untuk membuat alasan. Tapi kemudian, Kelono memutuskan bicara terus terang.

"Aku tak suka berpolitik."

Badak tertawa dengan suara yang serak. "Tapi kau seorang terpelajar," katanya. "Seorang pelajar harus memikirkan masyarakat."

Kelono tak ingin menanggapi. Matanya melihat ke luar jendela. Ada pohon pinus menonjol, menjulang ke langit. Di puncaknya daunnya menguning sebagian, seperti uban pria usia empat puluhan. Di atasnya melayang burung alap-alap.

"Apa alasanmu datang ke sini?" Badak bertanya dan ikut memandang pinus di luar. Tangan Kelono mengambil cangkir kopinya yang putih kecil.

"Tak ada."

"Hah, orang selalu punya alasan."

"Aku tak punya."

Badak berdiri dan berjalan ke belakang meja, Mengambil kendi air untuk minum. Kemudian dia berbalik dan bicara tentang Burhan. Kali ini Kelono memperhatikannya.

"Kepala desa itu selama hidupnya tak pernah tahu tugasnya."

"Bagaimana tugasnya?" Kelono tertarik. Pratiwi muncul dari dapur dan bergabung, melihat dua pria itu secara bergantian. Badak menunda melanjutkan. "Teruskan," kata Pratiwi. “Ada apa dengan Burhan?"

"Jangan salah paham," ujar Badak tak enak hatinya begitu melihat Pratiwi. Khawatir perempuan itu tersinggung. "Ini bukan soal pribadi," katanya. Pratiwi tersenyum. "Iya terserah,” kata Pratiwi. “Ada apa dengan Burhan?"

"Aku tak suka perbincangan politik." Kali ini Kelono bicara. Menegaskan sekali lagi sikapnya pada Badak.

"Ini bukan politik..." Badak ragu untuk melanjutkan. Pratiwi berdehem, dan melihat Kelono, lalu tersenyum. Tangannya menyingkirkan beberapa helai rambutnya yang keluar dari gelungannya.

"Dia guru. Tidak berpolitik," kata Pratiwi mencoba mewakili. Badak berdiri menghadap Kelono. Wajahnya berseri. "Itu bagus. Di sini kita butuh guru," katanya cepat. "Burhan tak pernah memikirkannya."

"Hanya sekolah guru." Kelono sedikit menerangkan keadaannya.

"Beri anak-anak pelajaran sekolah kalau begitu." Badak tiba-tiba memberi usulan. Kelono diam sesaat, merenungkannya, sebelum kemudian berkata,"berapa banyak yang mau belajar?"

"Kalau gratis pasti banyak yang mau belajar." Pratiwi memberikan pendapatnya. "Kalau ada yang mau sekolah, biar di sini saja."

++++

“Apakah Kelono menerima ajakan itu,” tanya Jono.

Orang tua itu tak langsung menjawab. Dia berdehem dan tangannya membuka palstik berisi tembakau, cengkeh dan dan klembak menyan. Setelah itu dia membuat lintingan besar dan membakarnya di antara mulutnya yang hitam dan kering.

“Iya, Kelono bersedia karena dia membutuhkan kegiatan.”

++++

3

Kelono merasa bosan setelah beberapa hari tanpa ada kegiatan, kecuali hanya tiduran. Ditambah dalam beberapa malam dia terus menerus merasa tersiksa oleh kehadiran Burhan yang selalu membuat suara gaduh bersama Pratiwi. Rasanya menegangkan seperti ketika dia membaca cerita detektif Nick Carter milik ayanya dalam bahasa Inggris di tahun 1940-an, ketika detektif tampan itu merayu gadis yang menjadi kliennya, dan bicara dalam nafas yang basah. Ditambah setiap pagi dia harus malu menghadapi Pratiwi yang tersenyum manis dengan rambut basah. Tapi, dia harus menerima keadaan itu karena tak ada tempat lain.

**

 Burhan adalah musuh Badak. Bukan saja karena keduanya seperti siang dan malam secara fisik, tapi keduanya berselisih karena ambisi Badak, dan sebab pikiran kritis Badak yang terbawa oleh pikiran komunisnya. Kelono belum punya penilaian apapun tentang Burhan, meskipun rasanya dia begitu dekat dengan nafasnya beberapa malam ini. Tapi, sejauh ini, dia belum pernah berbicara. Oleh sebab itu belum ada kesan yang tepat, kecuali dia hanya melihat Burhan sebagai pria yang selalu menjaga tubuhnya tetap bersih dengan baju yang bersih dan rambut model duck tail berkilat karena pomade yang wangi. Beberapa kali saat berpapasan, dia sebenarnya ingin mengajaknya bicara. Ia ingin memperkenalkan dirinya pada penguasa Andong itu. Tapi karena melihat wajahnya yang tak peduli, akhirnya dia urungkan. Meskipun Badak sudah sering bercerita, tapi Kelono tak ingin terlibat dalam perselisihan mereka.

Sudah beberapa hari Badak belum muncul setelah berjanji akan membawa anak-anak Andong untuk belajar. Pratiwi mengatakan tidak mudah bagi Badak untuk menepati janji karena dia sendiri harus bekerja untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. “Tunggu saja,” kata Pratiwi. Tapi ketika, rasa bosannya semakin menghancurkan semangatnya, Badak akhirnya muncul dengan lima bocah laki-laki. Usia mereka sekitar enam atau tujuh tahun. Kelono merasa senang dan menyambut mereka di depan kedai. Pratiwi juga ikut keluar menyambut setelah melayani beberapa pelanggan yang meminta kopi. Perempuan itu dengan mata bersinar berdiri dan berkacak pinggang melihat mereka, tapi kemudian masuk kembali ke dalam kedai. Di tempat terbuka, Badak memperkenalkan beberapa bocah itu pada Kelono. Mata mereka malu memandang Kelono dengan tangan dan tubuh yang terus bergerak dan mulut terbuka.

"Kalian mau sekolah?" Tanya Kelono.

Anak-anak itu hanya berdiri dengan tubuh meliuk-liuk dan menjawab dengan tawa malu. Kelono mengulang pertanyaannya dan dijawab dengan cara yang sama. Kelono mendekat dan mengulang beberapa kali dengan tekanan yang lebih tegas, tapi mereka menjawab dengan cara yang masih sama. Karena menjadi sedikit tak sabar, Kelono akhirnya bicara dengan maksud bercanda. Katanya, kalau tidak ingin sekolah pulang saja. Sesuatu yang tak diduga terjadi. Anak-anak itu berdiri saling desak menghadap Kelono, saling cubit, lalu bergerak mundur satu langkah, dan kemudian berbalik kabur sambil tertawa. Badak sampai harus mengejar mereka, tapi tak satupun ingin kembali.

Di hari berikutnya, Badak membawa tiga anak berusia sekitar sembilan tahun. Semuanya laki-laki dengan muka dan badan penuh kotoran. Pakaian mereka mengingatkan masa penjajahan Jepang. Mereka berdiri loyo dengan muka murung tanpa gizi. Tapi, semuanya menjawab mau sekolah ketika Kelono bertanya. Itu melegakan hati Kelono dan Badak. Tapi, kemudian masalah baru disadari, Kelono tak punya alat-alat untuk mengajar. Sementara, dia harus mengajari mereka mengeja huruf Alfabet dari awal, karena tak satupun mereka pernah mengenalnya. Kelono bicara pada Pratiwi bahwa mereka butuh papan tulis dan kapur. Mereka juga harus punya buku dan pensil untuk mencatat. Pratiwi berjanji akan mengusahakan. “Tapi butuh waktu,” katanya. Jadi, untuk sementara Kelono mengajari mereka menghafal dengan cara lisan.

"Ikuti kata saya," Kelono memberi intruksi.

"A"

"A"

"B"

"B"

Tiga anak itu, meskipun selalu terlihat lapar, tapi mereka punya semangat dan bisa mengingat setiap huruf yang harus mereka hafal. Dalam seminggu mereka bisa menghafal sepuluh huruf yang diberikan, tanpa tahu cara menuliskannya karena belum dicatatkan dan dilihat. Hal itu cukup membuat Kelono senang.

"Yak, begitu. bagus," Kelono memberikan semangat dan disambut tawa anak-anak.

Setelah seminggu, beberapa anak lain tertarik ikut belajar, termasuk beberapa anak yang waktu lalu kabur. Semua itu berkat kabar bahwa Pratiwi menyediakan makanan. Hanya saja, selalu ada anak yang pulang sebelum waktunya karena makanan sudah habis. Tapi, mereka datang lagi saat pagi berikutnya, dan pulang setelah makanan mereka telan. Kelono kemudian meminta Pratiwi menunda menyuguhkan makanan hingga waktu siang. Stratergi itu berhasil membuat mereka ikut belajar hingga selesai, meskipun mata mereka selalu terpaut pada pintu dapur.

Waktu berikutnya, setelah beberapa anak sudah mampu menghafal dan menuliskannya, muncul sedikit ketegangan. Itu terjadi Ketika Kelono memisahkan beberapa anak yang sudah mulai hafal dan tahu cara menuliskannya, Badak yang bisa membaca dan menulis memutuskan turun tangan mengajari mereka menulis. Badak berusaha mengajari mereka menulis beberapa kata sulit, seperti 'Setan Feodal, Setan Kapitalis, dan Kamerad'. Mengetahui itu, Kelono tidak suka, dan meminta Badak untuk tidak ikut campur dalam pengajarannya.

“Ini tugasku,” kata Kelono. “Tak perlu mengajari mereka seperti itu.”

"Ini kata-kata penting," kata Badak. “Mereka bisa.” Badak mencoba meyakinkan.

“Ini tugasku,” Kelono menegaskan. “Akan kuminta nanti kalau butuh.”

“Ini kan hanya kata-kata untuk belajar.”

“Tidak.”

Kelono tidak ingin Badak meracuni mereka dengan politik.

++++

Jono setiap hari harus turun ke bawah agar bisa mendapat aliran listrik untuk laptopnya. Sebelum kemudian dia menulis di laptopnya. Ketika dia sampai di atas orang tua itu sudah menunggunya untuk melanjutkan ceritanya.

“Bagaimana dengan Burhan?” Jono bertanya.

“Burhan,” kata orang itu adalah penguasa dengan hati yang lemah. Dia mudah rusak oleh apa yang tak sesuai kemauannya. Ketika Pratiwi tak lagi ingin bersamanya hatinya hancur.”

“Mengapa Pratiwi berubah?”

Orang tua itu tertawa. Kemudian melanjutkan ceritanya. Katanya, tak semua orang suka perubahan. Meskipun itu niscaya. Dan perubahan adalah simpang jalan. Membuat hati berdesir…

++++

4

Warung Pratiwi adalah semacam pusat persinggahan, tetapi seringkali ketika malam tanpa ada tamu, tempat ini menjadi begitu sunyi dengan suara-suara malam yang terasa jauh dan asing. Di sepanjang jalan utama, tak ada bangunan lain selain milik Pratiwi. Jalanan senyap dan gelap, dan setiap sudut diliputi oleh suasana mistis sepanjang malam, disambung malam-malam berikutnya. Suatu malam, di hari Selasa Pahing, tempat itu benar-benar begitu sepi. Angin bergerak cepat dari arah bukit melewati pohon-pohon, dan menyapu ladang-ladang hingga akhirnya menerobos masuk ke dalam rumah, menyentuh semua barang menjadi begitu atis berembun. Kelono tengah duduk minum kopi di bangku dengan berselimut sarung sembari memikirkan pelajaran buat murid-muridnya - ketika Pratiwi tiba-tiba datang dari arah belakang tanpa kebaya, hanya mengenakan jarit yang membungkus sesak dadanya yang bulat. Dalam cahaya sentir bayangannya menempel di dinding seperti belalang sembah yang tengah berjalan dengan tangan bergerak-gerak. Dari balik meja, matanya menatap Kelono yang tengah merapatkan kain sarung ke kepala untuk melawan hawa atis. Bibir perempuan itu tersenyum lebar, dan berkata bila tak kuat dingin pakai saja baju rangkap.

"Ada jaket di lemari."

Kelono mengabaikan saran itu dan bicara tentang murid-muridnya, tapi Pratiwi tak ingin membicarakan itu. Pipinya merona merah dengan mata berbinar. Karena sadar tak ditanggapi, Kelono mengalihkan dengan bertanya tentang Burhan.

“Dia bukan tamu,“ Pratiwi meralat. “Mungkin ada perlu di kota,” lanjutnya santai. “Lagipula tak penting dia datang atau tidak."

Malam itu ada sesuatu yang memancar aneh dari mata Pratiwi. Seperti mata kumbang yang bersinar di malam hari. Matanya terus menatap hingga membuat Kelono kikuk. Dengan gerakan perlahan, Pratiwi tiba-tiba berdiri dan memberi isyarat dengan tangannya agar Kelono mengikutinya. Kelono menuruti isyarat itu, meskipun belum mengerti maksudnya. Tubuhnya berdiri terhuyung dengan kaki menekuk tatih mengikuti Pratiwi yang masuk ke kamarnya. 

“Lepas sarungmu,” kata Pratiwi. Tangannya memberi isyarat.

Muka Kelono memerah dan tanpak bodoh. Pikirannya menjadi buntu, tetapi dia adalah jenis pria yang patuh pada perempuan, jadi, dia turuti saja perintah itu. Lalu, sedetik kemudian, tubuhnya semacam terperangkap dalam situasi yang membuat jantungnya berdetak cepat, ketika tangan Pratiwi menarik tubuhnya, dan merengkuhnya. Darahnya mengalir deras, dan terasa panas dari atas hingga ke bawah. Dari kepala hingga selangkangan. Mulai detik itu juga, Kelono tak lagi sempat memikirkan nilai-nilai. Ketika tubuh telanjang perempuan itu kemudian menindihnya, semua hawa dingin yang semula berkuasa kehilangan dayanya. Rasa dingin yang atis berubah menjadi hangat menyengat bersama liukan tubuh dan hembusan nafas yang tiba-tiba memburu. Dalam detik-detik yang memuncak, mata Kelono seolah melihat bintang-bintang berkelip di langit atap, disusul tubuh Pratiwi yang ambruk mendekap tubuhnya sepuluh menit kemudian. Keduanya diam tak bergerak, kecuali angin, keluarga serangga, dan cicak di dinding.

Kelono masih kebingungan dengan kesenangan yang baru dialaminya. Mulutnya mencoba bicara, tapi lidahnya kelu, dan suaranya tersangkut di tenggorokan. Peristiwa tak terduga malam itu membuat perasaan Kelono seperti diselimuti kabut putih mejelang malam. Pikirannya kacau, seolah dia tengah berjalan di jalanan gelap dan berliku, yang membuatnya melangkah dengan ragu karena takut terperosok jatuh ke dalam jurang - karena sadar telah berurusan ranjang dengan perempuan itu. Matanya seolah tak mampu melihat sesuatu dengan jelas apa yang ada di hadapannya. Pikirannya masih tak mampu bekerja dengan baik, tapi ada sesuatu yang tiba-tiba menjadi terikat secara samar oleh aroma tubuh Pratiwi sejak malam itu. Kelono tak pernah memiliki pengalaman asmara. Tapi dia pernah menaksir seorang Noni, anak teman sejawat ayahnya. Noni itu bernama Annie, dan mereka bertemu di sebuah pasar malam yang membuat hatinya berdesir seperti drumolen yang berputar ketika mata Annie yang bening kecokelatan menatapnya. Kelono segera megalihakan matanya pada putaran dumolen yang bergelombang hingga membuat kerlipan cahaya seperti mozaik warna-warni. Sementara suara-suara para penjual tiket berteriak, Kelono mencoba menguatkan dirinya dan mepertimbangkan untuk menyapa. Tapi, terlambat. Annie sudah pergi bersama keluarganya. Kelono hanya mendapati kerumunan orang-orang yang sedang menertawai penjual obat yang melucu. Ketika dia bertanya pada ayahnya, orangtuanya itu tertawa senang.

"Jadi laki-laki harus jantan," kata ayahnya.

"Aku tidak suka dengan laki-laki yang sombong, bohong pada dirinya sendiri."

Ayahnya mulai pidato. Dia awalnya bicara tentang keharusan seorang pria sejati, lalu merambat tenntang cerita dirinya sendiri dengan ibunya, kemudian bercerita tentang sesuatu yang tak ada hubungannya sama sekali dengan keduanya. Dan kemudian ketika Kelono mulai bosan mendengarkan, ayahnya mulai marah karena merasa diabaikan. Setelah itu ayahnya berjanji akan bertanya pada temannya tentang anaknya. Kelono menolak karena merasa malu, tapi ayahnya memaksa. Terakhir, Kelono tak tahu harus merasakan apa, karena sebulan kemudian dia mendengar Annie pergi ke Belanda bersama keluarganya.

**

Pratiwi menjadi lebih ceria setelah malam itu. Seolah dirinya tengah menemukan sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Setelah bertahun-tahun dia tak memiliki mimpi, kini dia punya harapan tentang dunianya yang baru. Pratiwi berubah. Terutama sikapnya pada Burhan. Perubahan itu menciptakan banyak pertanyaan dalam kepala Burhan. Dengan otak panas, dia mulai membuat hipotesisnya sendiri. Pertama dia mecurigai Badak, musuhnya, yang dia tahu menyukai kekasihnya, meskipun kemudian dia menyangkal sendiri pikirannya. Pratiwi tak mungkin menyukai Badak. Tapi penyangkalannya ini juga tak bersifat tetap. Dia menguji ulang dengan kemungkinan baru, tapi, tak bisa ia buktikan. Namun, karena bingung, akhirnya tetap saja dia masukkan nama Badak dalam daftar yang harus diawasi. Setelah mencoba mencari, pikiranya beralih dengan mencurigai Kelono. Tapi dia tak juga yakin. Menurutnya, pria itu terlalu lemah untuk urusan cinta, bila melihat matanya yang muram. Dia lebih cocok sebagai pecundang. Karena lelah berpikir dan mencurigai, Burhan akhirnya bertanya langsung pada Pratiwi mengapa dia berubah.

“Kita tak punya ikatan, dan kau sudah beristri,” Itu jawaban Pratiwi. Burhan duduk bengong mendengarnya. Kemudian dia sadar, ada sesuatu yang berlubang di hatinya.

Perasaan hati adalah sumber dari mana seluruh apa yang dilihat, didengar, diharap, kebencian, kasih sayang, harga diri, cinta, kehidupan, dan kematian dapat dirangkum dalam dua kata yang mewakili semua kerumitan itu: senang dan susah. Dua kata yang bisa bersinonim dengan kata lain, dan seterusnya. Dari dua kata sifat itu pada akhirnya menghasilkan lagi masalah-masalah baru yang beranak pinak tanpa pernah ada kata selesai kecuali manusia itu menginginkannya sendiri. Tapi, tentu saja Burhan tak menginginkan itu. Dalam waktu-waktu tertentu, Burhan masih datang ke kedai, tapi penolakan demi penolakan Pratiwi untuk melayaninya sebagai kekasih membuatnya seperti manusia bodoh yang hanya bisa duduk melongo. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk tidak datang. Setidaknya dengan cara itu dia berharap Pratiwi merindukannya.

+++++

Setelah mendengar cerita itu Jono tertawa. Lalu dia ingat Akrida dan dia meminta izin untuk meneleponnya. Perbincangannya tak panjang karena sinyal yang buruk. Tapi Jono menceritakan tengah berada di Gunung Andong untuk proyek menulisnya. Dia kemudian menemui orang tua itu dan bertanya tentang Burhan. Orang tua itu mengatakan bahwa Burhan jiwa yang berantakan, tetapi dia mencoba utuh dan bangkit kembali.

++++

5

Burhan, seperti dalam pikiran banyak orang, adalah jenis manusia yang tak mengenal rasa susah, dalam arti yang dipahami kebanyakan petani melarat di Andong. Dia seorang kepala desa, dan dibesarkan sebagai anak dan cucu dari kepala desa yang memiliki harta yang jauh lebih baik dari hampir semua warga desa yang terpencil itu. Tapi dia sebenarnya hanya manusia biasa yang lemah, semacam jenis orang kaya, tapi kurang kaya dalam pikiran dan mental. Berkat posisi dan kekayaannya itu dia mengira semuanya bisa dia dapatkan. Termasuk perkara perasaan. Jadi, meskipun dia tampak hidup senang, tapi tiba-tiba menjadi tak bahagia ketika kekasih gelapnya mendadak berubah sikap. Semacam tak mencintainya lagi.

Keadaan itu sebenarnya juga tak bisa menghapus kenyataan bahwa di dalam rumahnya dia sudah memiliki banyak cinta yang dipancarkan dari istri dan dua anaknya yang masih balita. Tapi, toh dia melupakan apa yang sudah dimilikinya. Tapi, ya seperti itu, memiliki kekayaan bukan berarti kau puas dengan yang sudah ada. Kesalahannya dalam menganggap bahwa harta bisa membuatnya bahagia sepenuhnya membuat rasa sakit itu cepat menjalar kemana-mana. Pertama, dadanya tiba-tiba diserang rasa sesak yang menyakitkan, kemudian nafsu makannya menurun disusul sakit lambung akibat maag, dan akhirnya juga migren.

Di malam yang sunyi dan dingin, waktu seharusnya dia bisa tidur dengan nyenyak yang dihangatkan oleh selimut tebal, atau tubuh istrinya, matanya justru tak pernah bisa terpenjam, dan pikirannya terus berada Pratiwi. Perasaannya tiba-tiba diresahkan oleh harga dirinya yang rusak. Hatinya seperti permainan ombak banyu dan drumolen dalam pasar malam tahunan, terkadang dia begitu merindukan Pratiwi, tapi dalam waktu yang sama, rasa bencinya memuncak, dan lantas, dengan enteng mulutnya memaki dan mengutuknya sebagai perempuan sundal. Pagi harinya, matanya sepet dan bengkak, tapi tetap tak bisa tidur dengan bayangan Pratiwi menggantung di pelupuk mata. Ketika ketiga tamunya datang, wajah Burhan tampak pucat menyambut, meskipun bibirnya berusaha tersenyum ramah. Kelesuan itu segera ditangkap oleh mata jeli dan berpengalaman dari salah seorang tamunya yang dipanggil Ki Banua, sebagai meredupnya energi positif seorang ksatria. “Harus segera diruwat agar energimu kembali pulih."

"Tolonglah," kata Burhan pedih.

"Bisa diatur."

Tamu-tamu itu awalnya datang untuk keperluan proyek spritual yang direncanakan. Burhan sudah bertemu mereka sejak lama, dan membicarakan tentang kemungkinan membersihkan Andong dari segala macam mahluk halus yang ada di semua tempat di wilayah Andong, sebelum kemudian akan dibangun kios-kios di lokasi pasar tiban. Mereka mahluk halus ini, kata gurunya, terdiri dari banyak suku, dan masing-masing suku itu menguasai harta yang ada di perut bumi dan juga permukaan di sepanjang jalan utama Andong, sementara kaum jin yang gelandangan bersaing dengan begal di jalanan. Dalam pikiran mulia Burhan yang dicampur kelicikan seorang politisi pedagang yang ingin untung, dengan membuat pasar yang bisa buka setiap hari, warga Andong akan bisa menjual semua produksi yang dihasilkannya. Meskipun mereka tak pernah punya uang. Tapi tetap saja itu tak masalah, karena mereka masih punya tanah yang bisa ditukar.

Nah, untuk membalas kebaikannya yang mulia itu, warga bisa meyewa kios-kios yang akan dia dirikan dengan harga yang sudah dia pikirkan untungnya, dan bagaimana cara membayar berikut pajaknya. Semua gagasan itu diilhami oleh seorang calon pengusaha yang selalu gagal berusaha karena tak cukup modal untuk merealisasikan. Meskipun gagal, tapi otaknya tak pernah gagal untuk melahirkan gagasan-gagasan usaha. Salah satunya, diberikannya pada Burhan ketika mereka bertemu di sebuah warung di kota. Dan untuk membalasnya, Burhan mentratirkanya makan di saat itu juga. Burhan, atas saran kenalannya juga, kemudian bertemu Ki Banua di padepokannya untuk meminta dukungan spiritual.

Masalahnya, ketika tamunya sudah datang untuk keperluan itu, jiwanya tengah melayang sakit yang tak memungkinkan pikirannya berjalan secara normal. Jadi, karena melihat kondisi tuan rumah seperti mendung hitam yang dipancarkan dari aura wajahnya, Ki Banua mengatakan Burhan perlu diruwat. Saran itu, karena muncul dari mulut Ki Banua, baginya adalah semacam cahaya yang bersinar dalam kegelapan jiwanya. Dia sangat takjub dan berterima kasih atas kejelian tamunya. Maka, Burhan dengan semangat; mengatakan setuju, asal nanti dia bisa merawat Pratiwi.

“Itu sih mudah,” kata Ki Banua.

Sepertinya Ki Banua adalah semacam obat perangsang, karena hanya kata-katanya di awal saja sudah mampu membangkitkan semangat Burhan. Membuatnya menjadi punya harapan besar untuk kembali hidup, dan berkuasa penuh atas tubuh dan jiwa Pratiwi. Dan karena puas dengan apa yang disampaikan ‘orang pintar’ itu, Burhan kemudian memberikan wewenang padanya dan kedua cantriknya untuk melakukan beberapa proyek spiritual sekaligus. Tugas Ki Banua seperti sudah dibicarakan sejak awal, dan disepakati adalah:

1.Membersihakan sepanjang jalan utama Andong dari demit-demit agar bisa segera dibangun kios-kios dengan aman. Artinya kedai Pratiwi akan segera memiliki tetangga, bila semua lancar.

2.Mengambil pusaka dan harta yang terpendam di bumi Andong sebanyak-banyaknya.

3.Adalah tugas tambahan, membuat Pratiwi kembali terpikat padanya.

Semua proyek spiritual itu diketahui dengan jelas oleh istri Burhan dan semua orang dalam, kecuali proyek nomer tiga. Tugas yang terakhir ini hanya diketahui oleh tamunya dan Tuhan yang selalu mengawasi mahluknya. Untuk keperluan itu, Burhan mengeluarkan banyak anggaran dengan jumlah belum bisa dipastikan karena kebutuhannya harus menyesuaikan situasinya. Tapi itu tak masalah. Karena semua bisa dibebankan pada pundak rakyatnya yang memang dilahirkan untuk mendukung keperluannya.

Jadi, untuk mengawali proyek itu, pertama Ki Banua mengajak cantriknya dan Burhan melakukan ritual yang dipenuhi makanan berdaging, bunga dan asap dupa yang dimulai dari ujung jalan perbatasan, dan beberapa tempat yang dianggap wingit, seperti Lembah Demit. Di sepanjang jalan itu Ki Banua melakukan komunikasi dengan para penguasa alam gaib. Tujuannya adalah meminta izin agar semua rencana yang sudah disusun berjalan lancar. Dari beberapa tempat, Ki Banua juga mendapatkan pusaka-pusaka kuno, seperti mata tombak dan keris, termasuk batu akik yang berwarna-warni. Tapi, tak sekalipun mereka memperoleh harta karun yang mereka harapakan seperti emas dan intan.

“Sebenarnya ada harta karun di beberapa lembah,” kata Ki Banua.

“Di mana, Ki?” Burhan bertanya.

“Nanti biar saya tanya lagi,” kata Ki Banua. “Tapi ada banyak syarat tambahan.”

“Apa syaratnya?”

“Nanti aku tanya dulu.”

++++

Jono punya kesan bahwa Burhan adalah pemimpin yang buruk. Tapi dia juga semakin penasaran dengan Badak dan Kelono. Orang tua itu menceritakan bahwa Badak dan Kelono serius dengan cita-cita mereka membuat anak-anak bisa mendapatkan pendidikan yang baik. Tetapi masalah masyarakat Andong tidak saja soal pendidikan yang taka da, tetapi juga kemiskinan yang membuat masyarakat menjadi rawan dan rapuh.

++++

Lihat selengkapnya