"Jadi, papi mau laki-laki yang terbaik buat kamu, Sher. Kamu anak perempuan papi satu-satunya, papi nggak mau kamu salah pilih jodoh," ucap Norman dengan suara yang besar dan dalam. Menghadapi anak perempuan satu-satunya ini memang butuh kesabaran ekstra. Tantangan tersendiri bagi Norman yang notabene adalah seorang tentara. Norman sangat disegani oleh rekan-rekan sejawat dan sangat dihormati oleh anak buahnya. Hampir semua orang yang ditemuinya patuh terhadap perintah dan kebijakannya, kecuali ... Sherly Mandasari, putrinya sendiri!
"Nggak bisa gitu, dong, Pap! Sherly nggak mau dijodoh-jodohin gini! Apa coba kata teman-teman Sherly nanti? Bisa hilang harga diri Sherly kalau tahu ketemu jodohnya gara-gara perjodohan! Pokoknya, Sherly mau kudeta!"
Sherly berdiri dari tempat duduknya, ia menghentakkan kaki beberapa kali sebelum akhirnya meninggalkan ruang keluarga tempat Norman dan Anita duduk.
Norman membuang napas kasar. Ia menatap punggung Sherly yang kian menjauh seraya menggeleng beberapa kali.
"Anakmu, tuh, Mi!"
Anita mencebikkan bibirnya. "Anak mami, kan, anak papi juga. Memangnya dia keras kepala begitu nurun dari siapa?" ucap Anita seraya melirik dan menahan tawanya.
Norman kembali mengembuskan napas kasar. Ia tahu sulit membujuk Sherly untuk masalah seperti ini. Anak itu memang tidak terlalu suka diatur. Salah Norman juga yang terlalu memanjakan Sherly hingga akhirnya anak gadisnya itu kini jadi gemar mrmberontak.
"Kamu bujuk dia, gih! Papi nggak mau tahu pokoknya dia harus nikah sama laki-laki pilihan papi," ucap Norman tegas.
Anita membuang napas kasar. Beginilah nasib ibu yang sabar, menjadi penengah kedua anggota keluarganya yang sama-sama keras kepala.
"Mami kalau cuma pengen bujuk Sherly buat nerima perjodohan itu mendingan lupain, deh! Sherly nggak mau!"
Sherly membuang muka, ia mendengus kesal dengan kedua tangan ia silangkan di depan dada.
"Buka dulu, deh mendingan pintunya. Mami cuma mau ngobrol."
"Lagu lama, Mi. Sherly udah hapal! Ujung-ujungnya Sherly juga yang disuruh nurut! Untuk urusan yang ini Sherly mau kudeta aja! Sherly nggak mau nikah sama orang asing!"
Anita kembali mengembuskan napas panjang. Ia harus menahan dan menurunkan emosinya untuk dapat berbicara dengan putri kesayangannya itu.
"Sher, kamu apa nggak kasihan sama Mami? Kamu, kan, tahu papimu galak. Kalau kamunya nolak, nanti ujung-ujungnya mami juga yang kena. Sini, deh, mending buka dulu pintunya. Kita bisa bicarakan semua baik-baik dulu. Dengar dulu alasan papi dan dengar dulu pendapat mami."
Anita mulai putus asa. Sepertinya Sherly benar-benar enggan berkompromi. Gadis itu masih tetap mengunci pintu kamarnya. Ia kembali membuang napas kasar. Ia merasa sikap yang ditunjukkan Sherly adalah sikap yang wajar. Sherly sudah dewasa dan sudah saatnya menentukan pilihan untuk dirinya sendiri.
"Ya sudah, mami tinggal dulu. Kamu coba pikirkan baik-baik dulu. Kalian, kan, bisa saling kenal dulu. Nanti kalau kamu oke untuk ketemu sama orangnya, biar papi suruh dia datang ke rumah. Ya, Sher?"
Anita akhirnya meninggalkan kamar Sherly saat merasa tidak ada jawaban apapun yang keluar dari dalam kamar putrinya itu.
***
"Gila lo, Sher! Lo serius mau kabur?" tanya Aryo saat melihat Sherly membawa sebuah tas ransel besar ke Basecamp Pengabdi Nusantara, tempat Aryo mengabdikan diri pada bangsa dan negara sebagai relawan.