Kisah Klasik Untuk Sherly

NonaAns
Chapter #2

Ujung Timur Pulau Karingga

Gunung, hutan, dan senjata. Tiga hal yang tiga bulan ini akrab dengan Angkasa. Tugas kali ini membawa Angkasa ke Pulau Karingga, pulau paling luar dari nusantara yang langsung berbatasan dengan negara tetangga. Ini tugas kedua Angkasa menjadi penjaga perbatasan.

Pulau dengan sejuta pesona dan segala keramahtamahan juga kesederhanaan warganya. Mereka menyambut baik para prajurit penjaga perbatasan, menerima dengan tangan terbuka para relawan yang datang untuk memberikan bantuan.

Luasnya negara ini terkadang membuat beberapa daerah khususnya yang ada di sisi terluar menjadi seperti anak tiri. Pembangunan dan sarana prasarana yang terbatas, membuat warga Pulau Karingga sedikit tertinggal.

Jalan berlumpur dan berbatu menjadi akses satu-satunya para penduduk. Listrik yang belum sepenuhnya menjamah warga. Sekolah yang hampir rubuh serta guru yang hanya seorang sejak lima tahun lalu membuat warga enggan mengirimkan anak mereka ke sekolah. Hanya ada segelintir anak yang datang ke sekolah untuk belajar. Sisanya, lebih baik ikut orang tuanya berkebun, berburu, dan melaut.

Banyak keluarga miskin di tempat ini. Banyak rumah-rumah tak layak huni di sini. Rumah sederhana, terbuat dari anyaman bambu dengan daun kelapa kering sebagai atapnya, beralaskan tanah, dan tanpa penerangan. Sebagian dari warga menimbun pasir dirumah-rumah mereka dan menutupinya dengan alas yang terbuat dari anyaman daun kelapa untuk menghalau hawa dingin.

Banyak dari anak dan balita di daerah ini yang kekurangan gizi. Mereka tidak mendapatkan asupan nutrisi yang tepat. Disinilah peran Angkasa dan anak buahnya. Memberikan bantuan bahan kebutuhan pokok, bantuan pemeriksaan gratis, bantuan makanan tambahan untuk anak dan balita. Angkasa juga bertugas menjaga lokasi perbatasan agar tetap aman.

Ia dan anak buahnya sengaja memasang pagar kawat berduri di batas paling luar Pulau Karingga, agar masyarakat tidak menyeberang perbatasan dan memancing komplotan Baltazar, kelompok kriminal bersenjata negara tetangga masuk ke wilayah Pulau Karingga dan mengancam keamanan serta keselamatan warga. Pos penjagaan juga di buat disana untuk mengawasi setiap warga yang mendekati perbatasan.

"Izin, Kapten, untuk patroli apa tidak sebaiknya di majukan atau ditunda besok pagi? Kabarnya Kelompok Pengabdi Nusantara akan segera tiba, Ndan. Kita perlu memberikan sambutan yang hangat untuk mereka, kan, Ndan?" Sertu Adit, salah seorang anak buah terdekat Angkasa memberikan informasi usai menerima kabar dari pasukan yang bertugas di pelabuhan mengenai kedatangan relawan Pengabdi Nusantara itu.

"Yang patroli biar saja patroli. Penyambutan juga bisa dilakukan besok atau lusa. Anak-anak kota itu pasti sudah lelah karena jauhnya perjalanan sampai ke pulau ini. Saya sudah sampaikan pada kepala desa untuk melakukan penyambutan secara formalitas."

Adit mengerutkan dahinya. "Kok, kepala desa, Ndan? Komandan tidak ikut memberi sambutan?"

"Saya patroli."

Adit memberi hormat saat Angkasa tidak lagi tertarik membahas para relawan yang akan datang itu.

"Gimana kata komandan?" tanya Prada Aji saat melihat komandan regunya datang.

"Yang patroli tetap patroli. Komandan saja patroli juga."

Desahan panjang terdengar dari para prajurit itu. Maklum saja, selama bertugas di pulau terpencil ini, mereka jarang bertemu dengan lawan jenis. Yang ada hanya mama-mama yang berjualan sayur dipasar. Atau anak-anak kecil yang sengaja datang untuk menukarkan barang. Ada yang remaja, tapi biasanya mereka sudah dinikahkan dengan anak tetangga. Jadi, maklum saja jika mereka sangat bersemangat ketika mendengar ada beberapa anggota relawan perempuan yang dikirimkan ke sana.

"Sudah, tidak perlu sedih begitu. Komandan saja memilih patroli. Katanya penyambutsn bisa dilakukan besok atau lusa. Tebar pesonanya bisa ditunda sebentar, Kawan," ucap Adit mencoba meredam kekecewaan anggota regunya.

"Yang bertugas untuk patroli, segera bersiap! Kita akan berpatroli lebih awal!" teriak Angkasa yang segera di sahuti siap oleh beberapa anak buahnya.

Patroli biasanya dilaksanakan usai apel pagi, tapi kali ini Angkasa meminta anak buahnya agar berangkat selepas subuh.

"Bawa beberapa ransum. Kita sarapan di jalan saja. Jangan lupa bawa beberapa sembako, susu, biskuit, dan obat-obatan. Dokter Andres tidak ikut patroli karena saya tugaskan di pos. Kalau-kalau para relawan ada yang butuh perawatan khusus," ucap Angkasa tegas sebelum meminta anggotanya untuk berbaris dan bergegas berangkat.

***

"Sumpah, kita masih harus naik kapal?" tanya Sherly saat ia turun dari truk tentara yang ditugaskan untuk menjemput para relawan.

"Lokasinya di ujung Pulau Karingga, jadi memang harus naik kapal dulu buat nyeberang ke sana. Capek?" tanya Aryo saat ia berdiri tepat di samping Sherly. Gadis itu sudah tampam kacau. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya terlihat kusam.

"Gila lo! Ini, mah, bukan capek lagi. Gue udah mau pingsan! Naik pesawat serasa naik angkot, dua jam terbang mendarat langsung naik truk. Mana jalannya mirip sungai kering begitu, batu doang! Sekarang masih harus naik kapal ini buat nyeberang? Lo serius, Yo?" tanya Sherly tidak percaya.

Kapal yang ditumpangi oleh para relawan itu hanya sebuah kapal kecil yang hanya bisa menampung sekitar sepuluh orang. Jadi, mereka harus membagi kelompok menjadi dua agar dapat terangkut seluruhnya sampai ke seberang pulau.

"Kan, gue udah bilang, ini hukan healing, tapi kerja. Perjalanan ke tempat terpencil itu memang panjang dan nggak gampang. Gue juga udah sampaikan waktu sebelum berangkat. Dua jam naik pesawat, delapan jam naik truk, satu jam naik kapal untuk menyeberang, dan nanti jalan kaki masuk hutan untuk sampai lokasi. Lo beruntung, ini masih termasuk short trip."

Lihat selengkapnya