"Jadi, kali ini kami akan berpatroli bersama dengan rekan-rekan relawan. Perlu rekan-rekan tahu, lokasi kita berada di perbatasan dan area perbatasan adalah area yang rawan. Ada kelompok kriminal bersenjata di negara tetangga yang tidak menutup kemungkinan akan mengacau di daerah kita.
"Jadi saya harap, rekan-rekan semua tetap waspada dan patuhi perintah yang saya sampaikan! Bagaimana pun juga, keselamatan rekan-rekan dan warga tetap kami utamakan. Untuk pembagian timnya, sudah saya susun seperti yang tertera pada papan pengumuman pos. Silakan dibaca! Bagi yang akan bertugas segera bersiap!" ucap Angkasa tegas.
Seluruh relawan bergantian melihat papan pengumuman, tak terkecuali Sherly. Ia membaca dengan saksama giliran tugas pertamanya. Ia menatap jadwal yang telah ditetapkan untuk tiga bulan mendatang. Ia mengernyit saat dirinya terus menerus bertugas dengan Angkasa.
Sherly dengan segera menatap laki-laki berseragam itu, melihat dan mencermati nametag yang terpasang di sisi kanan bagian depan.
"Sudah lihat jadwal patroli dan kunjungannya?"
Sherly terkesiap, awalnya wajahnya tampak ramah, tapi saat ia menyadari jika orang yang bertanya adalah Angkasa. Raut wajahnya berubah seketika. Ia menatap Angkasa dengan saksama. Matanya membulat saat ia menyadari nama yang tertulis di bagian kanan depan seragam Angkasa.
"Jadi yang namanya Angkasa itu ... lo?" tanya Sherly tidak percaya.
"Maaf, kita belum sempat berkenalan. Nama saya Kapten Angkasa Dirgantara, saya komandan pos perbatasan Ujung Timur Pulau Karingga." Tangan Angkasa mengulur, tapi Sherly hanya menatapnya sebelah mata.
Sherly mendengus, lalu tertawa.
"Lo komandan pos di sini? Artinya ... lo yang punya andil besar bikin jadwal patroli dan kunjungannya, kan?"
Angkasa mengangguk.
"Maksud lo apa naruh nama gue di bawah nama lo? Gue sama lo tugas bareng terus selama tiga bulan kedepan gitu?" tanya Sherly dengan nada tinggi.
"Iya. Ada masalah?"
"Jelas dong! Gue nggak mau tugas bareng sama lo!"
"Semua sudah diatur dan itu keputusan saya. Mutlak! Semua sudah sesuai dengan porsinya. Lagipula tidak ada yang merasa keberatan."
"Nggak bisa! Pokoknya nggak bisa! Gue nggak mau tugas sama lo! Siapa bilang nggak ada yang keberatan? Gue keberatan! Sangat!" ucap Sherly dengan nada tinggi.
Angkasa mengembuskan napas kasar. Baru hari pertama bertugas kesabarannya kembali diuji. Lagi-lagi untuk kali kesekian ia harus berhadapan langsung dengan Sherly, si kepala batu. Angkasa menyadari jika teriakan Sherly barusan bisa saja mengundang rasa tanya dari anggota dan rekan relawan, terlebih masyarakat sekitar. Maklum saja, Angkasa dikenal komandan yang irit bicara, tegas, dan tidak pernah bermasalah dengan orang lain. Namun, kali ini? Dia harus berurusan dengan Sherly.
"Panggil saja pimpinan kamu, minta dia menemui saya di kantor. Miss Complain!"
Angkasa berbalik dan berjalan tegap menuju ke ruang kerjanya. Sementara itu, Sherly terus menggeram dan menatap kesal pada Angkasa yang sudah kian menjauh itu.
"Lo bilang apa barusan? Lo panggil gue miss complain? How dare you!"
Sherly menghentakkan kakinya beberapa kali, ia berjalan cepat menyusul Angkasa sebelum tangannya mengepal dan memukul tepat di punggung Angkasa.
"Argh!"
Angkasa mengerang, ia nyaris jatuh, tapi beruntung responnya sangat baik. Angkasa masih berdiri tegak. Kini dia menatap tajam, tidak terima dengan perlakuan Sherly barusan.
"Kamu pukul saya?" tanya Angkasa tidak terima. Matanya menajam dengan rahang kokohnya yang mengeras.
Sherly berkacak pinggang ia menatap menatang pada Angkasa.
"Kamu mau nguji kesabaran saya?" Kali ini suara Angkasa terdengar meninggi. Suara bariton itu menggelegar membuat beberapa orang di sekitarnya menoleh untuk memperhatikan.
Sherly tampak terkejut, tapi ia mencoba untuk tetap tenang. Sherly mengerjap beberapa kali saat melihat Angkasa berjalan mendekatinya.
"Mau apa lo?" tanya Sherly takut-takut.
Angkasa mendengus. Ia kembali menatap tajam, mengunci pandangan Sherly dengan mata elangnya.
"Kalau kamu tidak mau mengikuti perintah saya, lebih baik pulang!" ucap Angkasa pelan, tapi tegas. Angkasa berbalik dan segera meninggalkan Sherly.
Sherly menggeram kesal. Ia menatap sebal ke punggung Angkasa yang kian lama kian menjauh. Sepertinya Sherly tidak ada pilihan selain menurut.
***
"Perjalanan kali ini akan panjang dan akan melewati lokasi rawan konflik, jadi saya harap kamu patuh pada perintah saya!" ucap Angkasa tegas.
Sherly membuang muka. Tidak tertarik rasanya menanggapi ucapan Angkasa barusan.
Tim pun mulai perjalanan. Ini adalah tugas pertama Sherly menjadi seorang relawan. Ia menatap sekeliling, suasana begitu asri dan sejuk. Kicau burung turut menghiasi perjalanan Sherly dan kelompoknya. Sepertinya keindahan alam yang ada lumayan dapat membuat Sherly melupakan kekesalannya pada Angkasa.
Sherly takjub saat melihat sinar matahari yang baru saja terbit itu menelusup diantara daun-daun. Beberapa burung kecil hinggap dan terbang di antara dahan dan dedaunan. Sherly mengulas senyum. Ia mengambil napas dalam-dalam memenuhi paru-parunya dengan udara segar yang masih bersih.
Tugas pertama kali ini adalah memberikan pengobatan gratis, bantuan makanan tambahan untuk bayi dan balita, dan penyaluran bantuan berupa bahan makanan untuk beberapa keluarga yang tinggal di Kampung Timur.
Jaraknya dari markas utama perbatasan sekitar lima kilometer. Tidak terlalu jauh, tapi medannya sangat ekstrim. Tim harus menyusuri aliran Sungai Karingga terlebih dahulu, menaiki bukit dengan jalan terjal dan berbatu, melewati jalan berlumpur hingga akhirnya sampai di Kampung Timur.
Sherly mulai tampak lelah. Fisiknya tidak seprima rekan-rekan yang lainnya. Jelas saja Sherly tidak mempersiapkan kondosi fisiknya sebaik mungkin. Menjadi relawan dadakan dan berkelana hingga ke pulau terluar nusantara juga karena ia wujud kenekatan dan pemberontakannya.
"Argh!"
Sherly mengerang tertahan saat tiba-tiba ia terjatuh dan merasakan kakinya terasa sakit saat digerakkan.
Mendengar suara erangan Sherly itu, Angkasa segera menghampiri. Ia berjongkok dan menatap Sherly dengan saksama.
Gadis itu tampak meringis sembari memegang pergelangan kakinya.
"Kenapa?"