Sebuah mainan kincir angin dipegang oleh se-orang gadis kecil di tangan kirinya. Dia gadis bertubuh mungil. Rambut ikalnya dikepang menyamping dan menggantung di bahu kanan. Dia suka sekali mengenakan rok warna-warni. Sedangkan kaus yang dia kenakan selalu ditutupi kardigan rajut. Seraya berlari-lari di halaman kompleks perumahan, kincir angin yang dibawa gadis itu berputar-putar digoyang angin sore Kota Kembang. Tangan kanan si gadis tampak kesusahan membawa sebuah alat musik kecil yang bahkan tak dia ingat namanya.
Itulah yang kuingat tentang memori masa kecilku. Dua benda itu yang sering kubawa ke manamana. Kincir angin dan sebuah alat musik yang entah apa namanya.
Alat musik yang kubawa adalah jenis petik. Tingginya cuma sebahuku. Warna peliturnya cokelat gelap. Bentuk dasarnya segitiga. Dalam segitiga itu terdapat puluhan senar. Dan semuanya terbuat dari nilon. Walaupun sudah tua, alat musik itu masih menghasilkan suara yang indah. Dentingan yang dihasilkan dawainya selalu memikat tiap orang yang mendengar.
Alat musik itu milikku. Bukan, sebenarnya bukan sepenuhnya milikku. Tapi, milik Kak Rihan, yang dipinjamkan padaku. Sedangkan mainan kincir angin milikku sendiri. Seorang teman baru saja memberi. Bayu Narendra, namanya.
Bayu, seorang bocah berbadan tinggi besar. Dia memakai kaus sepak bola dan celana pendek. Rambutnya dipangkas cepak. Matanya selalu menatap tajam. Dia tampak membawa buku gambar dan pensil untukku.
Kami bertetangga. Rumah Bayu persis di depan rumahku. Kami berteman. Langkah kami beriringan menuju sebuah rumah tua yang terletak persis di sebelah rumah Bayu. Rumah tua itu cukup besar. Bangunannya masih bergaya Belanda. Tembok dan kayu-kayu kosennya masih kuat. Ada debu-debu tipis yang mengotori sudutsudut ruangan. Tak ada perabotan yang tersisa di sana. Rumah itu milik paman Bayu. Beliau baru saja pergi dan meninggalkan rumahnya dalam keadaan kosong.
Aku dan Bayu bebas masuk ke sana. Kami menaiki tangga yang ada di ruang tengah. Masih kokoh. Susunan anak tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua menyimpan sisi estetis sendiri. Tangga dari marmer putih yang lengang. Tangga besar dengan handrail berukir yang lebih lebar dari telapak tangan. Dingin. Tangan kami bahkan terbiasa merasakan sisi estetis ukiranukirannya, tak sekadar memanfaatkannya untuk berpegangan. Lalu, kami berdua berhenti di belokan tangga dan duduk di sana. Tepat di belokan tangga terdapat jendela setinggi dinding yang mengagumkan.
“Kok kamu bawa buku gambar?” suaraku menggema di ruangan yang kosong dan tinggi.
“Supaya kamu nggak main harpa lagi. Soalnya bunyi permainanmu aneh.” Yang kuingat, Bayu selalu berkata jujur.
Harpa. Oh, iya, alat musik yang kubawa memang bernama harpa. Aku selalu lupa dan Bayu sering mengingatkan secara tak sengaja. Tak cuma itu. Bayu juga kerap mengingatkan supaya aku berhenti saja karena permainanku buruk. Bayu bilang, aku tak perlu memaksakan diri. Kalau memang tak bisa, tinggalkan saja dan cari mainan lain. Tapi, apa yang dikatakan Bayu tak sama dengan yang dikatakan Bunda. Menurut Bunda, justru karena aku tak bisa memainkannya, aku harus berlatih lebih keras. Entah kenapa Bunda selalu memintaku terus berlatih. Terus berlatih supaya bisa mahir seperti Kakak. Begitu Bunda selalu bilang.
“Tapi, aku sudah sebulan nggak latihan. Tanganku jadi kaku. Not Twinkle-Twinkle Little Star saja aku udah agak lupa. Kalau Bunda tahu, aku bisa kena marah, Bay.”
Bayu pun mengangguk-angguk. Dia sama sekali tak suka musik klasik, tapi apa boleh buat. “Ya sudah, kamu boleh latihan Twinkle-Twinkle Little Star. Setelah itu, jangan main harpa lagi. Kamu menggambar saja.”
Kami sepakat.
Twinkle-Twinkle Little Star memang tersusun dari nada-nada yang sangat sederhana. Mungkin saja, itu lagu yang dipakai para harpist saat pertama belajar memetik senarnya. Bunda juga mengajarkan lagu itu padaku saat latihan pertama. Sebelumnya Bunda mengajarkan cara memetik senarnya. Gerakan tangannya tak boleh terlalu lentur dan tak boleh terlalu kasar. Susah sekali melakukan instruksi Bunda. Tak hanya itu. Bunda bilang posisi pergelangan tangan harus tepat, tak boleh begitu, tak boleh begitu. Entahlah, apa yang dikatakan Bunda susah sekali kupraktikkan.
Aku sudah dibuat frustrasi saat pertama berkenalan dengan harpa. Jari-jariku diharuskan masuk sampai telapak tangan begitu selesai memetik. Ada juga tempo-tempo untuk gerakan istirahat. Dan entah aturan apa lagi.
Aku belum bisa memetik memakai dua tangan atau delapan jari seperti Kakak. Yang kutahu, jari kelingking tak dipakai. Mungkin karena terlalu pendek dan lagi pula kejauhan. Mungkin. Bagiku, dilatih memetik memakai empat jari saja sudah susah, apalagi delapan jari?
Twinkle-Twinkle Little Star yang kumainkan siang itu terdengar kacau. Mungkin karena aku harus menyesuaikan jari jemariku lagi setelah sebulan tak menyentuh harpa sama sekali. Sebulan kemarin aku diopname di rumah sakit karena meningitis. Dan sakit itu tak cuma membuatku berpisah dengan harpa. Aku bahkan tak bisa bangun dari tempat tidur. Cahaya dan suara yang keras sangat menyakitkan bagi mata dan telingaku.
“Gimana rasanya tinggal di rumah sakit kemarin?”
Aku masih sibuk mengingat-ingat not saat Bayu bertanya. Jari-jemariku siap memetik senarsenar itu. “Rasanya asyik soalnya aku nggak perlu latihan harpa. Tiap hari Ayah menemaniku. Tapi, aku bosan dan nggak bisa bangun. Aku nggak boleh makan sembarangan. Dan lagi pula, perutku selalu mual dan aku sering muntah.”
Bayu memperlihatkan ekspresi jijik. Bayu bilang kalau sakitku kemarin cukup aneh. Dia bilang aku tak cuma terserang demam biasa. Waktu Bayu berkunjung menjenguk ke rumah sakit, dia melihatku sedang tergolek lemah di ranjang dan bahkan lebih sering tampak tak sadarkan diri. Kalaupun sadar, aku lebih sering tampak linglung dan kebingungan. Kadang aku tidur terus sampai berhari-hari dan kadang tak bisa tidur sampai berhari-hari pula. Dan lagi, dia pernah melihatku mengigau dan menjerit kesakitan. Aku tak tahu apa yang dia bilang itu benar atau bohong.
Tapi, aku pernah menguping pembicaraan Ayah dan Bunda. Ayah bilang kalau ada radang di selaput pelindung sistem saraf pusatku. Penyakitku mungkin sangat serius karena dekat otak dan tulang belakang. Jadi, bisa saja menyebabkan kerusakan kendali gerakan, pikiran, atau bahkan juga kematian. Aku ngeri mendengarnya.
“Yang paling menakutkan bagiku, penyakitmu itu menular, Han. Makanya aku nggak berani lama-lama menjenguk.”
“Tapi, Ayah bilang kalau aku sekarang sudah sembuh total, kok,” jawabku tanpa mengalihkan perhatian dari senar-senar harpa.
“Bagus kalau begitu.”
Aku mulai frustrasi dengan not-not yang tak bisa kuingat. Kemudian, aku menyerah dengan senar-senar harpa. Aku beralih meraih buku gambar dan pensil yang tadi dibawakan sahabatku. Di sana, terangkum banyak sekali gambar yang pernah kubuat. Gambar khas anak kecil. Rumah, pantai, dan pegunungan. Tapi, aku mungkin punya bakat menggambar terpendam. Gambar-gambar sederhana itu sudah memperlihatkan konsep perspektif yang bagus.
Kemudian, terdengar seseorang membuka pa-gar berkarat di depan. Aku dan Bayu langsung berhenti bergerak. Itu pasti Bunda. Tadi, aku memang kabur dari tidur siang. Bunda pasti mencariku. Dia belum memperbolehkanku keluar rumah karena masih dalam proses pemulihan, begitu katanya.
“Suara Bunda. Aku harus pulang sekarang,” bisikku.
Bayu menggeleng. Dia malah menarik lenganku untuk berjingkat-jingkat menaiki tangga. Aku sempat menolak, tapi bocah itu memaksa. Kami kemudian bersembunyi di sebuah ruangan. Sebuah kamar mandi yang sudah kering.
“Rahani!” terdengar panggilan Bunda dari lantai bawah.
Aku menahan napas dan berdoa supaya Bunda tak naik ke lantai atas. Bunda tak suka kalau aku main ke rumah kosong ini. Lagi pula, aku tadi meninggalkan harpa dan buku gambar di belokan tangga. Itu akan meninggalkan jejak-jejak yang membuat Bunda makin marah nantinya.
Begitu terdengar langkah Bunda meninggalkan rumah, aku dan Bayu segera kembali ke belokan tangga, berdiri di depan sebuah jendela mozaik raksasa. Jendela itu tersusun dari onyx yang rumit sehingga anak kecil agak susah menebak gambarnya. Padahal kami sering duduk di depan jendela, tapi selama ini tak memperhatikan gambar mozaik itu. Aku kemudian menengadah dan menyusuri potongan-potongan kaca warna-warni itu sehingga akhirnya tahu gambar apa yang tersusun di kaca. Ternyata gambar pesawat.
“Leiden,” aku bergumam membaca sebuah label kaca yang terpatri di kosen jendela. Ada kata Leiden bertinta emas di sana.
“Jadi, namanya Jendela Leiden, ya?”
Kami berdua sepakat dengan nama itu.
Panggung sederhana itu cuma dihiasi cahaya lilin. Tapi, jumlahnya ada ratusan. Lilin-lilin putih itu diletakkan berjejer di tepi panggung hingga tangga bagian depan. Cahaya di atas panggung menjadi keemasan. Dan gadis yang duduk di bagian tengah panggung pun tersiram cahaya lilin sehingga para penonton bisa melihatnya dengan jelas. Dia dengan gaun putihnya yang cantik, ram-but indah dan senyum manisnya.
Gadis itu mengusap pelitur gelap sebuah alat musik yang berdiri di hadapannya. Dia kemudian mulai memetik dawai-dawainya dengan lembut. Gerakan tangannya lentur. Denting-denting nada mulai mengalun. Kukenal nada yang dimainkannya. Swan song gubahan Schubert. Instrumental klasik mengalun mengisi jarak-jarak kosong dalam ruangan. Itu mungkin akan menjadi denting terakhir yang kudengar saat masih kanak-kanak.