Kisah Langit

Mizan Publishing
Chapter #3

Jendela Leiden

Langit Januari masih tampak kelabu. Musim hujan dalam klimaksnya. Sore itu hujan lebat mengguyur disertai angin kencang. Awan nimbus yang abu-abu tampak begitu tebal menggantung. Pohon-pohon di kompleks perumahan seperti hendak terbang, lepas dari akarnya. Udara di kota Bandung mendadak dingin menggigit sampai lapisan epidermis.

Aku baru pulang dari kampus. Rambutku basah sehabis berlarian karena hujan lebih dulu turun sebelum aku sempat berlindung di rumah. Kardigan rajutku pun sudah menempel di kulit karena basah kuyup. Untungnya, drafting tube tempat menyimpan kertas-kertas gambar masih aman dari serangan air hujan.

Seperti hari-hari sebelumnya, kutemukan Bunda terbaring di ranjang sendiri. Bunda makin kurus dan lemah. Bunda jarang mau makan. Beliau hanya menelan beberapa sendok bubur yang biasa kusuapkan di pagi hari. Sekarang mulai ada uban yang tumbuh di kepala Bunda. Beliau tak pernah berkata apa-apa. Sudah lama beliau tak tersenyum apalagi tertawa. Aku tahu, sebenarnya Bunda tak sakit secara fisik. Pikiran Bunda sakit sehingga berimbas pada tubuhnya.

Sudah sekitar tujuh tahun berlalu sejak kepergian Ayah dan Kakak. Dan artinya, sudah tujuh tahun pula Bunda bertahan dalam kondisi seperti ini. Bukan waktu yang singkat. Dan sejalan dengan bergantinya tahun, keadaan Bunda bukan semakin baik, tapi malah memburuk.

Bunda tak akan melamun dan berpikiran kosong ketika ada yang memainkan serangkaian nada harpa. Ya, begitulah yang kuamati. Aura Bunda akan terpancar cerah saat beliau mendengar nada harpa. Aku pernah mencoba cara itu. Hanya saja, akhir-akhir ini aku sering tertatih-tatih memetik harpa. Aku sudah lama tak latihan. Not-not nada pun sudah memudar dari ingatanku. Dan Bunda tak suka mendengar nada yang berantakan. Kalau aku memainkan nada dengan tersendat-sendat, Bunda akan jadi semakin murka dan berteriak marah. Karena itu, aku selalu latihan di luar rumah, sebisa mungkin menjauh dari Bunda.

Aku menyiapkan payung. Aku keluar rumah membawa harpa dan buku partitur. Langkahku menuju rumah kosong di depan. Ya, rumah itu masih ada, berdiri kokoh di sana. Aku masih se-ring main ke sana. Berlatih memainkan harpa di tempat favoritku, Jendela Leiden.

Kuletakkan payung di depan dan segera melangkah masuk. Mungkin rumah tua itu tampak berbeda, tapi aku tak menyadarinya. Aku tak akan tahu kalau banyak keganjilan siang itu. Aku tak akan sadar kalau sejak tadi pagar sudah terbuka lebar. Aku tak akan menyadari tumpukan peralatan bersih-bersih yang tergeletak di pojok ruangan lantai bawah. Sapu, gagang pel, dan ember kosong tiba-tiba sudah ada di sana. Aku tak akan menyadari kalau ada seseorang yang lebih dulu masuk.

Aku tak menyadari semua keganjilan itu. Seperti biasa, aku langsung bergegas naik melewati tangga lebar. Aku duduk di belokan tangga, menghadap tepat ke jendela mozaik. Kepingan-kepingan onyx dan akrilik tersusun harmonis di permukaan jendela raksasa. Pecahan bebatuan itu saling berkombinasi dengan sempurna, menghasilkan sebuah bentuk gigantis. Serangkaian pesawat. Ya, mozaik pesawat dengan warna-warna klasik. Komposisi bergaya konvensional, yang mungkin sudah jarang ditemui di zaman modern seperti saat ini. Tapi, justru mozaik tua itulah yang menjadikan tempat ini makin personal. Mahakarya sebuah arsitektur klasik. Meskipun aku kini se-orang mahasiswa teknik arsitektur, aku tak yakin diriku bisa membuat rumah dengan interior seindah ini.

Kucari lagu sederhana yang bisa dimainkan. Ada Swan song karya komponis klasik, Schubert. Aku mencoba memahaminya. Kucoba berkonsentrasi dan melatih ingatanku.

Tapi, mendadak hal itu terjadi.

Dalam benakku, mendadak suara hujan berhenti. Padahal tampak jelas-jelas dari jendela kalau hujan masih terguyur deras di luar. Butiranbutirannya masih tampak menabrak bumi dengan keras. Tapi, tak ada suara yang terdengar. Mendadak aku juga tak bisa mendengar detak jarum jam tanganku. Dan bahkan suara napasku pun kini tak tertangkap telingaku.

Aku menyadarinya sekarang. Baterai hearing aid-ku habis. Baterai alat bantu dengarku itu memang cepat habis. Hanya bertahan seminggu. Baterainya berbentuk bulat kecil dan merupakan zinc battery, tak bisa di-charge.

Lihat selengkapnya