Kisah Para Penyamun dan Tujuh Pemberani

Dirman Rohani
Chapter #2

Tujuh Pemberani 2

Tujuh Pemberani 2

Ori. Pada suatu pagi Oktober, ribuan serdadu Rambideun menuju Kedidi bermaksud mengeluarkan paksa para penghuninya yang menolak meninggalkan rumah mereka. Betapa gigihnya perlawanan Petempur kita saat mengadang iring-iringan kendaraan militer musuh. Bentrokan senjata berlangsung sengit. Tangan kanan ini, tangan yang telah menjungkalkan puluhan truk militer itu, dipenuhi tusukan laser dan terbakar. Akhirnya karena kalah teknologi dan persenjataan, kita terpaksa mundur, bersembunyi dan mengobati luka-luka dalam kegelapan Gunung Manyang, lalu terbaring lemah dan menyedihkan di sana, pasrah mendapati kenyataan bahwa di bawah langit malam yang sedang diterangi hujan meteor orionid seperti namamu, Kedidi yang telah ditinggalkan sedang dihancurkan.

Besoknya tepat pada hari ulang tahunmu ke-11 laju serdadu Rambideun tak terbendung lagi. Tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menghalangi penggalian mereka. Monster-monster bermesin besar yang sudah berbulan-bulan siang malam membuldoser bukit-bukit batu dan hutan belantara pada akhirnya tiba juga di rumahmu, kemudian menyulap sungai di belakangnya menjadi kanal raksasa yang semakin hari terus merambat sampai Kuala Sagee.

Orionid. Mendaftarlah ke Akademi Militer, jadilah Kesatria Lamperom seperti keinginan ayahmu, tapi jangan lupakan asalmu, jangan lupakan Kedidi.

Mengiang lagi dalam ingatannya suara pamannya itu pada saat ia menatap puncak gunung yang masih terselubung kabut. Ia kemudian memperhatikan garis lengkung hitam di lembah: itulah Kanal Kedidi: pemisah bukit-bukit perkebunan di kaki Gunung Manyang dengan bentangan sawah di balik pagar bertembok karet sepanjang jalan raya lintas barat daya Lamperom.

Sejumlah bus mulai berdatangan dan berhenti di deretan halte yang menempel di dinding pagar karet itu, tepat di depan Gedung Suplir. Ori bangkit dari sofa meninggalkan jendela kaca, lalu mengambil dua botol minuman di lemari dapur, lalu memasukkannya ke ransel yang tersampir di pundak sebelum membuka pintu dan keluar. Setelah menutup pintu apartemennya itu ia bergegas menuju lift.

***

“Hai, Cak.”

“Or! Sudah punya pilihan?”

“Militer!”

Cakra tampak kaget. “Wah! Tak kusangka.”

Ori tersenyum. “Setelah kupikir-pikir ... bangunan-bangunan ... biologi dan kedokteran, elektro dan mesin-mesin ... kimia ... pertanian dan peternakan ... semuanya bukanlah bakatku.”

“Posturmu cocok juga sebagai Kesatria!” Cakra, yang wajahnya beda dengan adik-adiknya dan tidak mirip ayah dan ibunya kemudian meniru gaya petinju yang akan melepaskan pukulan jab. Cakra berperawakan kecil, tingginya hanya sebahu Ori, selalu mengenakan topi pet dan memiliki parut di atas mata kirinya. Banyak orang mengira parut itu disebabkan oleh kegemarannya berlatih tinju sejak kecil. Dugaan semacam itu memberinya keberuntungan. Ia terlindung dari rundungan anak-anak yang berbadan lebih besar, dan mereka masih amat menyeganinya hingga kini.

Sebelum tinjuan itu mendarat di bahunya, Ori secepatnya menghidar, bergeser ke samping satu langkah dan berkata, “Pasti banyak pendaftar lain yang lebih tinggi ... tegap ... tahan pukul.” 

Cakra tertawa kecil. “Tentu saja bukan aku.”

“Yang paling tinggi di Dewan Sains?”

“Aku akan berusaha!”

“Habis-habisan.”

“Dan perwira tertinggi—“

“Mana mungkin—”

“Kita lihat saja nanti.”

Sepagi ini kerap keduanya bertemu di depan lift yang masih kosong dan sebelum naik bus biasanya nongkrong sebentar di kedai kopi ‘Aku Cinta Kopi’ yang menempati sisi kanan lobi. Keduanya memang berteman akrab sejak kecil, bersekolah di sekolah yang sama dan selalu sekelas, baik kala di Kedidi maupun semenjak tinggal di Rambideun. Namun tidak seperti Ori, Cakra beserta dua adiknya masih tinggal dengan kedua orangtua, setidaknya dalam jangka waktu setahun lagi sebelum hari kewajiban mengabdi tiba.

'Kewajiban mengabdi pada Lamperom hingga akhir hayat adalah panti jompo sekaligus taman pemakaman'. Dengan suara kecil bernada olok-olokan pernyataan demikian keluar dari mulut Pak Limalima setahun lalu sewaktu ia merayakan ulang tahunnya yang ke-60 bersama Ori dan Cakra di kedai kopi itu.

“Dan entah sampai kapan masa tua benar-benar berakhir, selama pabrik organ tempat ayahku mengabdi masih berproduksi, pastilah selalu tersedia organ-organ baru buat kita,” perkataan Ori terdengar lebih kecil lagi ketika ia bangkit dari tempat duduk untuk mengakhiri senda gurau mereka di hari ulang tahun Pak Limalima sebab sudah waktunya bagi bus untuk meninggalkan halte.

Lihat selengkapnya