Tujuh Pemberani 4
D mengencangkan ikatan sabuk pengaman badan si Pemberani 1 yang duduk di kursi bertali-tali dan berpaut pada sebuah drone. “Jangan takut anak muda! Daya angkatnya sepuluh kali berat badanmu."
“Paman D, aku pemberaninya para Petempur!” jawab si Pemberani 1 tegas.
“Dia benar-benar aku empat puluh tahun lalu.”
"Aku bukan anakmu, Paman," kata si Pemberani 1 penuh takzim sambil menundukkan kepala dan sedikit membungkukkan tubuhnya. “Hanya si Pemberani Empat yang sepertimu.”
“Kali ini tanpa kain hitam,” kata Bhan.
“Baik, Guru. Aku tidak akan memejamkan mataku.”
D memperhatikan senapan di pangkuan si Pemberani 1. “Barang bagus. Drone-ku masih bisa kalian andalkan, mampu mendaratkannya ke puncak gunung lagi, juga di mana pun, berapa pun jumlahnya. Boleh kubuka penawaran tinggi? Aku bayar berkali lipat kalau kalian berani bawa si penjualnya ke sini. Atau jika kalian punya banyak—”
“Kami masih banyak urusan!” tandas Bhan.
“Baiklah. Mari Tuan Bhan. Kita pantau petualangan si Pemberani ini dari dalam.”
“Aku suka topeng ini,” gumam si Pemberani 1.
“Duduk santailah, Tuan Bhan,” kata D. Ia lalu memasang topeng realitas virtual dan alat pendengar beserta mikrofonnya pada wajah Bhan seperti yang ia lakukan pada si Pemberani 1 di luar tadi, lalu memasang seperangkat yang lainnya di wajah sendiri, lalu menghubungkan bermacam-macam konsol dengan sebuah laptop hingga kabel-kabelnya terjuntai di bawah meja, lalu menghidupkan semua perangkat tersebut dan mengenakan sarung tangan haptik.
Kedua tangan D bergerak-gerak untuk mengendalikan drone, menerbangkannya perlahan dan menghentikan tepat di atas kepala si pemberani 1. “Kau siap?!” tanyanya.