Tujuh Pemberani 5
Musim kemarau sedang memasuki siklus puncaknya. Karena banyak pekerjaan dan ingin menuntaskan semua dengan tepat waktu, seorang petugas kebersihan taman datang lebih cepat dan lebih bersemangat. Ia segera mengeluarkan tong penyedot dedaunan rontok dari gudang kecil di dekat pintu terowongan dan segera pula menghidupkannya, tapi kemudian tidak jadi digunakan. Tanpa melihat ke tombol kendali ia mematikannya kembali. Matanya sedang tertuju ke pasak pintu terowongan yang tidak lagi berada di dalam lubang pengunci. Ia tertegun beberapa saat. Karena ia juga diberi tanggung jawab penuh pada kebersihan sepanjang terowongan dalam area taman, ia pun turun ke dalamnya, bermaksud memeriksa.
Meskipun keributan suara burung turut serta menyusup, saraf pendengaran si petugas kebersihan masih cukup baik, masih mampu menangkap jeritan kepanikan seekor tikus sejauh 10 meter di depan sana, dan begitu mengetahui sakelar lampu penerangan tidak berfungsi lagi, ia meraih kacamata penglihatan malam yang tergantung di dinding dengan tetap waspada, dengan tetap memusatkan perhatian ke kegelapan di depan.
Anak tikus yang terpisah dari kawanannya itu menjerit karena ekornya terjepit kaki si Pemberani 1 yang refleks merapatkan badan ke dinding ketika pintu terowongan dibuka oleh si petugas kebersihan. Penyergapan dari dekat tidak mungkin si Pemberani 1 lakukan, percabangan terowongan masih terlalu jauh, tidak ada tempat bersembunyi untuk menunggu musuh mendekat. Ia sudah mengambil keputusan, melumpuhkan musuh sekarang juga sebelum si musuh yang berdiri di depan tangga di bawah pintu terowongan dapat melihat dalam kegelapan dengan kacamata di tangannya.
Si Pemberani 1 menghunus pisau tempur, lalu dengan gerakan terlatih melemparkannya ke arah leher si petugas kebersihan.
Insting militer si petugas kebersihan menggerakkan otot kakinya segera setelah mendengar suara desisan: Sebelum lesatan sebilah pisau dari arah depan menancap di dinding karet di sela anak tangga di balik badannya, refleks ia bertiarap, dan dengan sedikit cahaya matahari yang baru jatuh di tempat itu, meskipun samar ia dapat mengenali pisau itu dari bentuk gagangnya. Pisau itu adalah sangkur tempur Kesatria Lamperom. "Limalima! Kau pengecut, menyerangku dalam gelap."
Selama ini, ia memang hanya bermusuhan dengan Pak Limalima. Para veteran tahu betul bahwa Pak Limalima tidak akan pernah punya niat untuk berdamai. Ia lekas bangkit dan berbalik ke tangga, dan dengan sekali lompatan cepat sepenuh tenaga langsung dari anak tangga pertama, ia berhasil menancapkan jari-jari tangan ke tanah berumput di tepi mulut terowongan, lalu secepat mungkin keluar dari situ seperti tikus tanah meninggalkan sarangnya ketika dimasuki ular.
Bagi si Pemberani 1 akan sangat membahayakan dirinya sendiri bila melepaskan begitu saja musuhnya itu, ia tidak boleh tinggal diam. Ia segera mengejar musuhnya dan tidak ada lagi cara lain; meski setengah badan masih berada di dalam terowongan dan dengan kedua kaki yang masih bertumpu di anak tangga, dari mulut terowongan ia langsung membidik. Namun sedikit terlambat, sasarannya itu sedang berteriak, meminta pertolongan.
Begitu mendengar suara teriakan seseorang dari arah taman di seberang jalan, dua dari tiga serdadu penjaga gerbang akademi militer keluar dari pos jaga. Kedua serdadu itu memergoki seorang bertopeng sedang membidikkan senapan di tangannya ke arah si petugas kebersihan yang sudah tertelungkup di tengah jalan.
Dengan gerakan lembut, tapi cepat, si Pemberani 1 menaikkan laras senapan dan melepaskan tembakan beruntun. Kedua serdadu itu tewas di tempat. Dan, seorang serdadu lain yang masih di dalam pos jaga, setelah menekan tombol alarm, sambil bertiarap melepaskan tembakan balasan. Namun, si Pemberani 1 sudah berlindung di balik sebatang pohon.
“Tidak ada pilihan lain,” kata si Pemberani 1 penuh penyesalan. “Aku melakukan kesalahan. Tidak menembaknya ketika dia masih di dalam terowongan.”
“Jangan balik ke sana!” perintah Bhan. “Pintu-pintu pengaman terowongan itu pasti telah diaktifkan.”