Tujuh Pemberani 6
Kematian Alan jadi bahan pembicaraan di kedai kopi. Ia ditembak dari belakang oleh seorang remaja tak dikenal. Bukan rahasia lagi di kalangan veteran bahwa pada usia sehijau itu Alan pun pernah melakukan perbuatan yang sama, menembak mati seorang lelaki tua dari belakang. Kendati bukan peristiwa lama itu biang masalah penyebab Alan berseteru dengan putra satu-satunya si lelaki tua tersebut, desas-desus dalam barak militer kala itu meramalkan bahwa kelak Alan pasti ditembak juga dari belakang. Para serdadu tidak mungkin lupa, baku hantam antara Pak Limalima dan Alan pertama kalinya terjadi pada hari para serdadu saling bertatap muka untuk berkenalan, dan keduanya ditempatkan dalam satu peleton. Detik itu juga dikenang sebagai tanggalnya hari ‘kasih sayang’ di kalangan serdadu. Namun, luka di hati belumlah terpulihkan oleh waktu, duel yang tidak terselesaikan karena selalu dilerai itu masih dilanjutkan di mana pun setiap kali keduanya bertemu. Bahkan hingga puluhan tahun kemudian, tepatnya dua hari lalu di kedai kopi ‘Aku Cinta Kopi’, keduanya nyaris berkelahi lagi untuk kesekian kalinya. Dan, setelah sekian lama terlupakan, apa yang diprediksikan dahulu terbuktilah pagi kemarin, tapi para pelanggan kedai kopi tampak terheran-heran begitu mengetahui bahwa si pelakunya tidak sesuai seperti perkiraan mereka.
“Kau bayar berapa ramaja gila itu?” canda seorang veteran yang duduk di belakang Pak Limalima.
“Bukan aku,” kata Pak Limalima dan ia segera menandaskan sisa kopi di gelasnya, lalu melanjutkan, “kami memang sering berkelahi, tapi membunuhnya hanya karena sebuah persaingan pada masa remaja dulu tidak pernah terpikirkan sedikit pun di kepalaku. Aku juga tidak menyimpan dendam atas kematian ayahku. Pengkhianat pantas mati."
“Apa karena dia menyelamatkanmu ketika kita menyerbu pulau wanita itu?” ujar seseorang dari meja lainnya.
Pak Limalima terkekeh, lalu berkata dengan suara kecil, nyaris berbisik, “Perang ...” Ia lalu membesarkan lagi suaranya, ”yang memalukan dan tidak mendatangkan kehormatan.”
“Bahkan kita tidak meraup untung apa pun. Seperti kalian berdua yang tidak pernah bisa memenangkan hati Nidivi,” kata si barista sembari meraih kartu uang di tangan Pak Limalima di tengah ledakan tawa yang mendadak membisingkan kedai kopi itu.
“Tapi, bagi anaknya kau adalah lelaki tua yang menyenangkan!” Suara seseorang meyeruak dalam tawa.
“Bukankah perang ...” Si barista cepat menutup mulutnya dengan tangan kirinya, lalu mengembalikan kartu uang Pak Limalima dan melanjutkan perkataannya, “sudah dilarang. Kenapa Alan ditembak?”