Tuan Raksasa 1
Aku tak menyangka di jalan keluar kampung berpapasan dengan teman-teman. Teman sepermainan serta teman sekolahku itu sepertinya memang sengaja berdiri di pinggir jalan untuk menanti sekaligus melepas kepergianku. Tentang kami yang akan pindah, mereka mungkin mengetahuinya dari pembicaraan orang-orang dewasa di sekitar. Mereka menatapku. Tatapan mereka gembira seraya melambaikan tangan dan memanggil-manggil namaku. Raksa, Raksa, Raksa .... Aku pun tersenyum dan membalas lambaian tangan mereka.
Beberapa tahun kemudian, aku berharap mereka berada dalam keadaan baik. Perang berkecamuk di pelosok-pelosok. Tembakan laser dan peluru nyasar melukai penghuni kampung. Aku mengetahuinya, menguping obrolan Ayah yang sesekali berjumpa dengan orang-orang Lembah Kuning di pasar kota. Dan dari buku-buku sejarah yang kubaca di perpustakaan kota pada saat aku bolos sekolah, aku semakin mengerti bahwa perang saudara sudah berlangsung lama sejauh peradaban daratan ini. Sewaktu-waktu di satu dua tempat perang bisa berhenti sebentar karena kesepakatan gencatan senjata, tapi permusuhan tidak pernah benar-benar berakhir.
***
Sebuah granat meninggalkan pelontarnya, melambung, lalu jatuh di depan iring-iringan truk serdadu. Gelegar ledakannya menggetarkan dinding perbukitan, diikuti serta letusan rentetan tembakan senapan kuno yang bergema di udara. Puluhan serdadu bersenjata laser melompat keluar dari truk dan berlindung ke balik batu-batu besar di kaki bukit. Ada yang menyusup tiarap di kolong truk. Ada juga yang berlindung di sisi kanan bak belakang truk, lalu mencoba membidik para penyerang mereka dari balik dinding baja yang tebal itu.
Jantungku berdetak kencang. Seperti siraman hujan di atap rumah, begitulah dentingan peluru panas senapan kuno pada saat mengenai truk dan batu-batu di sekitar para serdadu. Ternyata benar cerita komandan serdadu yang dulu singgah di rumahku.
Ayah menekan lebih dalam pijakan pedal gas. Motor penggerak roda Jip mendengung seakan-akan ingin membakar habis semua energi yang tersimpan di baterainya. Aku berpaling sekali lagi ke belakang untuk melihat truk-truk serdadu yang berhenti mendadak di jalan menanjak tadi.
“Orang Atas menyerang!” kata Ayah.
Aku mengarahkan pandanganku ke atas bukit, tapi Orang Atas telah menghilang ke dalam belantara.
Walaupun sudah jauh meninggalkan arena pertempuran tadi, Jip masih bergerak kencang, lincah meliuk-liuk di lekuk bukit dan ngarai. Sepanjang jalan menjadi sunyi. Para pekebun telah pergi karena ketakutan. Burung-burung dan binatang-binatang kecil yang biasanya banyak terlihat di semak belukar pinggir jalan ikut pula menghilang.
“Beruntung sekali kita, Nak! Bisa mendahului truk-truk serdadu saat menanjak tadi.”
“Kalau masih di belakang mereka, bisa terlambat kita tiba di kampung, Yah?”
Ayah tertawa kecil. “Dan tinggal nama.”
“Tinggal nama? Oh meninggal ya Yah. Kenapa Serdadu dan Orang Atas berperang, Yah?”
“Karena mereka belum mau berdamai, Nak,” kata Ayah dan segera disambung dengan tawanya lagi.
Jip terus bergerak di tanah kuning yang mulai membatu karena musim hujan masih lama tiba. Sesekali terdengar embik ternak yang sedang mencari makan di balik semak dan perdu. Tidak lama kemudian di kiri kanan jalan tampak satu dua rumah berdinding papan dan beratap rumbia seperti rumahku, dan pohon-pohon pinang yang tegak menjulang di halamannya; yang sekaligus menjadi pagarnya itu turut serta menyembunyikan kami dari terik yang menyengat. Inilah kampungku, kampung Lembah Kuning, terletak di antara dua gunung besar dan dilintasi sungai-sungai. Tanahnya subur, hampir semua penduduknya bertani.
“Yah, kalau di dunia tidak ada Serdadu dan Orang Atas pasti tidak akan ada peperangan.”
“Semoga suatu hari mereka berdamai, Nak.”
Akhirnya Jip tiba di pasar kampung. Pasar dengan puluhan kedai kayu yang berjejer di pinggir jalan. Aku dan ayahku segera menurunkan barang-barang milik para pedagang.
Di kedai kopi, orang ramai sedang membicarakan peristiwa tadi. Beritanya tersiar cepat dibawa oleh para pekebun.
“Kopi dan teh dingin, Pak.” Terdengar suara ayahku pada saat aku kencing.