Tuan Bhan 1
Sekarang lemak mulai menggelambir di pinggang, padahal pada masa remaja aku lumayan kekar. Di kampungku di daratan sana, setelah lulus SMA, aku dan adikku ketagihan memahat otot: Mengangkat barbel dari coran semen dalam kaleng cat di halaman belakang rumah kami yang berbatasan langsung dengan sungai besar. Sering juga sambil mandi di tepinya kami latihan berkelahi. Dan terkadang setelah berlari di pematang sawah kami bergulat di dalam lumpurnya. Sebenarnya adikku tidak terlalu menyukai semua itu. Itu hobiku. Aku tahu dia hanya ingin menyenangkanku. Kerap waktu luangnya dia pergunakan untuk membaca buku. Dia ingin jadi ilmuwan, dan tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi masuk Akademi Sains dan Teknologi. Itu sebabnya aku bertekad memiliki uang sebanyak-banyaknya demi membiayai kuliahnya.
***
“Bhan, saat ini sedang butuh banyak kuli di tempat kerja saya,” kata seorang kawan pamanku pada suatu hari, “ikut saya ke kota, kita bekerja dari pagi sampai petang, malamnya tidur nyenyak dan bahagia.”
Karena belum ada pilihan lain, aku mengangguk demi mendapatkan pengalaman hidup dan tentu saja uang, tapi sebenarnya berat juga meninggalkan adikku dan kampung kalau cuma bekerja sebagai kuli di kota. Dan di sanalah Talang kukenal. Kemudian kami berteman dengan Pak Mung—aku dan Pak Mung sama-sama kuli di proyek pembangunan kompleks perumahan di sebuah kawasan pinggiran kota, di tempat kawan pamanku itu bekerja.
Pada suatu sore tidak jauh dari area proyek terjadi tawuran siswa SMA. Pak Mung bermaksud melerai pertikaian mereka. Namun, sebagian siswa-siswa itu malah berbalik menyerang kami. Merasa kalah jumlah, aku beserta para pekerja lain memilih kabur ke lantai dua sebuah bangunan yang baru setengah jadi kami kerjakan, tetapi Pak Mung tetap tenang bertahan di bawah, mengadang mereka. Pak Mung melumpuhkan mereka satu demi satu dan kami pun segera turun membantunya. Tidak lama kemudian polisi tiba untuk mengamankan siswa-siswa itu. Sejak kejadian itulah aku mulai akrab dengan Pak Mung dan ketika belajar teknik bela diri yang dia kuasai, aku mengajak serta Talang.
***
Pak Mung menjentikkan jarinya sambil menekuk lututnya, dia tengah bersigap dan siap bertarung lagi. Kulit gelap dan tubuh kurus kekarnya yang bersimbah keringat tampak berkilap tersorot cahaya purnama, dan tatapan matanya menentang tajam ke arahku. Di tempat-tempat tertentu, di sekujur tubuhku, ototku menjadi merah kebiruan akibat pukulan kepalan tangannya. Bukan hanya itu. Kini kelopak mata kiriku memar, bibir pecah, dan pelipis berdarah. Namun, aku belum angkat tangan atau melempar handuk. Jelang ronde kedua berakhir, aku masih bisa menjegalnya dan berhasil membuatnya jatuh. Meskipun dia cepat berguling untuk menjauhiku lalu berdiri lagi, aku tahu kuda-kudanya tidak lagi kokoh sebagaimana pada pertarungan di ronde pertama tadi. Usia enam puluhan tidak bisa tertutupi. Lututnya mulai bergetar seirama napasnya yang memburu; kembang kempis mengisi otot dadanya yang datar juga bertonjolan tulang.
”Hah!” Akhirnya Pak Mung berteriak kuat-kuat guna mengeluarkan napas dari mulutnya demi mendapatkan udara yang lebih banyak lagi. Tiba pada ronde ketiga dia mengangkat kedua tangannya di atas kepala. “Cukup! Saya tidak sanggup lagi.”
Pak Mung berjalan terseok-seok, lalu menduduki sepotong gelondong kayu. “Kamu masih lamban saat bertahan. Gerakan menghindar masih belum cepat.” Suaranya terdengar parau, dia lalu meneguk air putih dalam baskom plastik yang biasanya akan diembunkan di atas atap hingga pagi.
“Jurus harimau ini hanyalah salah satu jurus bela diri tempo dulu untuk memukul, membanting, dan membunuh lawan di medan perang,” ujarnya sambil menatap bulan, “jangan pernah berhenti berlatih, jangan takut pada siapapun, jangan pernah berhenti berjuang meraih cita-cita!”
Aku dan Talang mengangguk penuh takzim. Selepas mengkhatamkan jurus silat harimau dari Pak Mung, seiring waktu berlalu, proyek pembangunan perumahan itu pun berakhir dan aku kembali menjadi pengganguran.