Kisah Para Penyamun dan Tujuh Pemberani

Dirman Rohani
Chapter #12

Tuan Bhan 2

Tuan Bhan 2 konsep

Kendaraan yang berlalu-lalang di jembatan jalan raya di atas sungai bisa terlihat jelas dari belakang rumahku. Ayah dan pamanku ikut bekerja ketika jembatan itu dibangun. Pada masa muda mereka, keduanya memang sering dibawa kakekku bekerja di banyak proyek pembangunan jembatan.

Setelah jembatan, jauh di seberangnya merupakan dataran rendah dan perkampungan-perkampungan yang dikelilingi hamparan persawahan. Ada sepetak sawah peninggalan ayahku di sana yang digarap pamanku dan ditanami padi. Beliaulah yang membesarkan kami. Jauh lagi setelahnya adalah tanah pesisir yang langsung berhadapan dengan lautan lepas. Ke sanalah sungai ini bermuara dan batu-batu kerikil yang terbawa oleh arus derasnya diangkat ombak ke sepanjang bibir pantai. Petani dan nelayan menjadi pekerjaan utama sebagian penduduk kawasan ini.

Begitu aku masuk SMP, aku mulai dilatih beladiri oleh pamanku. Cukup banyak teknik berkelahi yang dikuasai pamanku, yang dipelajarinya dari seorang kontraktor jembatan, teman akrab kakekku, dipanggil Pak Ka. Ketika masa mudanya Pak Ka adalah jawara sejati di arena tarung bebas. Pada setiap kompetisi pertarungan resmi ataupun sayembara pertarungan jalanan dia belum pernah terkalahkan. Hingga usia paruh bayanya di hari dia mengundurkan diri dari arena, belum ada seorang petarung pun yang mampu merobohkannya. Dia kokoh seperti salah satu jembatan yang dulu dibangunnya di kampung ini. Hanya karena usia tua dan banjir bandanglah jembatan tua itu roboh di kemudian hari. Tiang-tiangnya hancur tanpa tersisa dihantam gelondong kayu besar yang dibawa oleh derasnya air.

Ada sebuah buku bergambar berbagai gerakan bela diri yang tersimpan dalam lemari kamar ayahku. Di sampulnya yang polos berwarna kekuning-kuningan tertera simbol berbentuk lingkaran yang di tengah-tengahnya bertuliskan: CV. Ka. Kata pamanku buku itu pemberian Pak Ka, dan gambar lingkaran itu merupakan simbol perusahaannya. Teknik-teknik bertarung di buku itu tentu saja sudah mendarah daging bersamaku.

Masih dari halaman belakang rumahku. Kalau aku menatap ke selatan, pemandangan gunung-gunung yang merupakan kawasan hutan lindung terlihat berbaris dan tidak terputus-putus, hijau hingga membiru sejauh pandangan mata. Menurut kabar berita di surat kabar selama lima tahun terakhir lahan hutan lindung di sana semakin menyusut karena pembalakan liar. Pernah sekali waktu, aku ikut pamanku memandu jalan bagi beberapa orang yang datang dari kota. Mereka bermaksud meneliti sungai-sungai yang membelah gunung dan belantara di sana. Air yang melimpah di alam sangat berguna untuk menghasilkan energi listrik, kata mereka. Kami pun masuk hutan. Menapaki jalan tikus, turun naik, tapi lebih sering mendaki. Langkah kaki kami semakin jauh meninggalkan barisan pohon pinang dan jamblang yang memagari kebun-kebun penduduk kampung. Jejak-jejak kaki gajah, harimau, dan binatang liar lainnya bukanlah hal aneh di sana. “Tidak apa-apa, ini jejak tiga hari lalu,” kata pamanku untuk menenangkan mereka yang tampak waswas begitu mendapati tapak kaki harimau mengecap di tanah basah di tepian sungai sewaktu kami tiba di suatu tempat.

Setelah melepas lelah dan menghilangkan letih otot kaki, kami berjalan lagi. Sekarang bukan berjalan di jalan kecil setapak yang terbentuk karena sering dilalui manusia. Tidak terdapat sesuatu di tanah yang bisa dijadikan pedoman bahwa itu berupa jalan. Kami hanya mengikuti ke mana kaki pamanku melangkah. Setelah melewati beberapa bukit, turun lagi ke lembah, pamanku berhenti. Kami pun ikut diam di belakangnya.

Lihat selengkapnya