Tuan Bhan 3 konsep
Demam berhari-hari sembuh seketika karena Ayah membelikanku sepeda berwarna biru. Aku tidak ingin berhenti menaikinya. Sungguh senang rasanya menggunakannya pada saat ke sekolah. Seorang anak perempuan berambut panjang sepinggang adalah murid pertama yang kulihat pagi itu. Aku dan dia mematung di koridor depan kelas. Kami hanya saling tersenyum pada saat bertemu pandang, tanpa sapa dan bicara. Kami menanti tanda masuk terdengar, tapi malah degup jantungku yang duluan kudengar. Aku sangat suka memperhatikan rambut panjangnya yang dikepang itu. Ah, kian keras jantungku berdegup sehingga aku jadi salah tingkah. Mungkin memang benar seperti apa yang dikatakan ibuku sewaktu kakakku baru kelas satu SMA: itu namanya Cinta Monyet: rasa cinta-cintaan kala pandangan pertama pada masa remaja. Namun, aku kan belum remaja!
Tidak lama kemudian murid-murid lain berdatangan. Sama seperti usia kami yang baru delapan tahun, tepat pukul delapan pas pelek besi yang tergantung di pohon akasia di depan kelas kami berdentang tiga kali dipukul dengan batangan besi kecil oleh seorang guru. Seorang anak laki-laki berpostur gempal berteriak memberi aba-aba. Aku segera ikut berbaris bersama mereka lalu berjalan tertib masuk ke ruang kelas. Ternyata dia ketua kelas kami. Aku mendapatkan bangku yang semeja dengan dia yang merapat di dinding dan paling belakang, di pojokan sebelah kanan jika dilihat dari sudut pandang meja bu guru. Dan kata bu guru, walaupun kegiatan belajar sudah berjalan selama satu minggu, aku tetap harus memperkenalkan diri di depan kelas.
Aku maju tanpa ragu.
“Nama saya, Bhanta Perkasa.” Aku lalu mengamati isi kelas sebentar. Dia duduk paling depan, mejanya hampir menyatu dengan meja bu guru. Jantungku bergemuruh seketika, aku berusaha bersikap tenang. “Saya tidak hadir sejak hari pertama sekolah karena sakit,” kataku lagi, lalu menarik napas dalam-dalam berusaha sekali lagi menghalau grogi. “Rumah saya tidak jauh dari sekolah. Di sana dekat jembatan. Ada sebatang pohon mangga dan jambu di halamannya. Kalau kalian mau, kalian boleh main-main ke rumah saya, mengambil buahnya sesuka hati.”
Aku menoleh ke arah bu guru.
“Baik. Terima kasih, Bhan. Sekarang boleh duduk,” kata bu guru dengan ramah, membuatku nyaman kembali.
Pelajaran pertama dimulai, pelajaran menulis dan membaca. Kami ulangi lantang-lantang kalimat-kalimat yang dibaca bu guru.
***
Pada jam keluar main-main, aku mulai berinteraksi dengan semua teman kelasku. Yang pertama tentu saja si ketua kelas, dan tentulah aku sudah tahu nama anak perempuan yang rambutnya dikepang itu ketika nama kami diabsen bu guru satu per satu.
Cempaka namanya. Pada suatu hari sepulang menangkap burung pipit bersama temanku, kami singgah ke rumah Cempaka. Dia tengah berada di halaman rumahnya, membantu ibunya menyiram aneka tanaman hias yang berwarna-warni bunganya. Ibunya kemudian menyuguhkan sepiring gorengan pisang buat kami. Ayah Cempaka pendatang dari daratan lain, sedangkan ibunya memang orang kampungku. Cempaka memang sangat mirip ayahnya. Beberapa temanku, terutama si ketua kelas suka mengolok-oloknya: Cempa, Cempa, gara-gara makan burung pipit matanya sipit! Atau banyaklah yang lain lagi. Namun, Cempaka tersenyum saja bila dikatain begitu. Malah aku yang marah pada mereka. Gara-gara itu pula ketika sudah kelas dua, aku bertinju sewaktu kami bermain kasti.
“Woi sipit! Lambat sekali larimu, kayak siput,” bentak si ketua kelas, “kamu kamu saja yang kena gebuk. Makanya kelas kita selalu kalah!”