Tuan Raksasa 3 konsep
Kota kami salah satu kota kecil di ujung bagian barat daratan ini dan kemodernannya tertinggal jauh dari kota-kota lain. Meskipun demikian, dibandingkan dengan kota-kota di bagian timur sana, kota kami sedikit lebih maju biarpun di pelosok-pelosoknya kerap terjadi keributan bersenjata.
***
Pohon asam jawa di sepanjang sisi kiri kanan jalan setiap hari melemparkan udara segarnya ke dalam bus, menerpa wajah kami yang sedang bersenda gurau. Dan kerbau-kerbau yang sedang menginjak-injak tanah liat di dekat gundukan dapur-dapur pembakaran batu bata di sepanjang jalan kecil yang berakhir buntu di gerbang sekolah kami, lenguhan semangatnya setiap pagi menyertai lincahnya langkah kaki kami.
Kota kami menjadi pemasok batu bata terbanyak ke kota-kota lain yang sedang giat-giatnya membangun, seperti teman-teman kelasku yang teramat giat belajar serta saling bersaing meraih nilai terbaik. Dan sialnya, aku seperti kota ini, nilaikulah yang selalu saja berada di urutan akhir. Mungkin karena aku malas belajar, asyik bermain ke mana-mana. Biarpun demikian, mereka tetap menyemangatiku. Nilai-nilai bagus yang mereka raih jadi pemasok semangat untukku.
Matahari pagi baru dua jengkal tingginya, tapi tanpa ragu aku meminta izin pada bu guru. Alasanku mau ke toilet. Begitu bu guru mengangguk, sambil tersenyum aku bergegas meninggalkan ruang kelas. Setiba di persimpangan koridor, aku berganti arah, menuju ke kantin. Di kantin, belasan temanku dari kelas lain sudah duluan kongko-kongko di pojokan, menungguku. Sering kami kena setrap membersihkan halaman sekolah karena perbuatan iseng kami tersebut.
Waktu berlalu. Musim pun berganti. Para petani bekerja dengan gembira memanen padi di area persawahan di belakang sekolah kami. Royan baru saja selesai menyemprotkan cat ke baju seragam yang kami kenakan. Dia pamitan, lalu pergi untuk mengikuti seleksi penerimaan calon bintara angkatan laut. “Di laut kita kuat!” teriaknya pada saat berlari meninggalkan kami.
Teman-temanku yang lain juga sudah punya rencananya masing-masing. Karena hobiku iseng-iseng dan diam-diam suka baca buku sejarah di perpustakaan, aku bercita-cita menjadi pakar sejarah dan peradaban, dan suatu hari nanti akan membangun peradaban seperti keinginanku, mungkin di daratanku sendiri. Daratan yang damai, yang jauh dari riuh kejamnya peperangan.
Aku ingin cepat tiba di rumah, ingin segera memberi tahu Ayah dan Ibu. Sepanjang jalan pulang aku memikirkan, akan kah kelak cita-citaku tercapai?
Nyatanya pada hari penentuan bagi terbukanya jalan menuju cita-citaku, aku kalah bersaing. Aku tercampak keluar dari jalan tersebut. Kursi impian tidak kudapatkan. Aku tidak lulus seleksi masuk Akademi Sejarah dan Peradaban.
Aku berduka. Cita-citaku kandas. Aku berjalan dengan kepala tertunduk. Masa depan suram menghantui pikiranku. Namun kata ayahku, jangan mudah putus asa. Ibuku bilang tidak lulus sekolah pun tidak mengapa. Masih ada hari esok. Masih ada tahun depan untuk berjuang lagi. Yang penting harus jujur, jangan menyontek, apalagi suka ‘membatik’ atau membuat kopekan di atas meja kelas. Padahal perbuatan seperti itu sudah menjadi kebiasaanku yang tidak bisa kuhilangkan. Terkadang di meja kelas kutulis puisi dan cerita-cerita khayalan, dan teman-temanku pun senang membacanya.
***
Sudah dua hari aku duduk di suatu dermaga yang tidak jauh dari rumah kakekku. Menyaksikan laut dan mengamati perahu-perahu kecil nelayan membuatku bahagia, lupa pada kegagalan cita-citaku.