Tuan Raksasa 4 konsep
Seorang petugas kantor pos menyerahkan selembar surat kepadaku. Dari Meri. Dia salah seorang siswa dari daratan lain yang pernah mengikuti program pertukaran siswa selama tiga bulan dengan sekolahku. Dalam suratnya dia memberitahuku suatu kisah yang diceritakan oleh kakeknya.
***
Kapal perang itu bermaksud menyerang daratan kalian, kata kakekku, Rak. Pandanganku langsung tertuju ke sebuah miniatur kapal di dalam lemari kaca, dan kakekku duduk di kursi kayu di dekatnya. Dia melanjutkan, pada suatu hari seorang penulis lepas ikut berdesak-desakan dalam kerumunan ratusan orang di pelabuhan. Mereka ingin menyaksikan sebuah kapal perang yang sedang mengangkut ribuan serdadu dan akan berlayar menuju ke sebuah daratan di timur yang hijau nan makmur.
Setelah diam sebentar, dia menegaskan, “Kita akan berperang. Mereka telah membajak kapal dagang kita!”
Lalu entah bagaimana caranya, si penulis lepas itu pun ikut berlabuh ke sana. Si penulis itu leluhurku, Rak. Di surat terakhirnya dia menulis: ‘Ini bukan misi pembebasan. Bukan semata-mata balas dendam, bukan pula sekadar urusan dagang. Ini adalah tanah harapan. Datanglah segera’.
Raksa, sahabatku. Di sini angin utara sudah tiba, dan dengan cepatnya menimpuk segala yang ada. Salju bakal membanjiri daratan kami, aku tidak senang berjaket tebal dan berteman kebekuan. Aku ingin segera ke daratanmu yang hangat. Awal purnama, jemput lah aku di pelabuhan. Temani aku mencari pusara leluhurku sebelum kita menikmati keindahan matahari di Sebeng.
***
Aku menantinya dan dia tiba pada hari yang telah dia tetapkan.
“Selamat datang.” Aku menyambut Meri dan segera menaikkan ransel besarnya ke Jip. “Semoga menyenangkan selama berada di kapal.”
“Sangat menyenangkan. Laut sedang sangat bersahabat,” kata Meri.
Jip kukendalikan perlahan, bergerak keluar dari kompleks pelabuhan.
”Dari dulu pelabuhan ini ramai disinggahi kapal dagang," katanya kemudian. "Kenapa kapal dagang itu dibajak dan awaknya dibunuh?”
“Para pedagang lada di sini marah, mereka merasa ditipu. Setiap tahun ribuan ton lada dari daratan ini dijual ke daratan kalian dan daratan-daratan lain. Pedagang dari sana berbuat curang, memalsukan takaran timbangan. Begitulah yang kubaca dalam buku sejarah daratan ini.”
Meri terdiam dan menatapku sebentar.
“Apakah salah seorang serdadu di kapal itu leluhurmu?” tanyaku kemudian.
“Bukan. Sudah kuceritakan, dia penulis lepas.”
“Oh, iya.”
“Tidak ada yang tahu kapan dan bagaimana cara dia tiba di daratan ini. Mungkin dengan menumpang salah satu kapal dagang. Dia tidak pernah pulang, hanya surat-suratnya yang sampai ke daratan kami. Masih jauhkah perkampungan yang akan kita datangi itu?”
“Dua jam dari sini. Besok pagi kita ke sana. Sekarang aku akan membawamu ke penginapan.”
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Meri tersenyum menatap keindahan senja.
***
Dari dalam kedai makan kami leluasa menatap hamparan sawah di seberang jalan. Embun masih membulir di rerumputan pematang. Cahaya matahari pagi jatuh di butiran padi yang mulai menguning yang dikerubuti burung pipit. Setelah meletakkan dua piring nasi putih di atas meja bambu, pemilik kedai makan menarik gulungan tirai jendela belakang. Udara pegunungan merambat masuk dan membaui aroma rempah-rempah dari dua piring kari bebek yang baru saja diambil dari kualinya.
Setelah sarapan kami melanjutkan perjalanan. Tidak lama kemudian di sisi kanan jalan terbentang pantai berpasir putih. Angin laut seperti membisikkan sesuatu dan kami seakan-akan sedang berada di atas sebuah kapal di tengah hamparan lautan biru. Setelah melewati beberapa jembatan, Jip kubelokkan ke arah kiri ke jalan kecil yang membelah hutan bakau. Di tepinya terdapat marka bertuliskan Jalan Bandara Drone. Satu dua perahu nelayan bersandar di tempatnya di sepanjang tepi jalan. Lima belas menit kemudian Jip melintasi sebuah jembatan lagi. Inilah akhir dari jalan beraspal. Selanjutnya Jip menelusuri jalan tanah dan melewati rumah-rumah di kiri kanannya. Di teras rumah-rumah kecil sederhana yang kami lewati itu duduk beberapa perempuan paruh baya yang sedang menampi beras, dan anak-anak kecil berlarian bermain di pekarangannya. Melewati kios kecil yang menjual kerang lokan terdapat sebuah Sekolah Dasar dan di ujung jalan yang buntu tegak menjulang pohon-pohon cemara, berjejer rapi sepanjang pantai. “Di sinilah peristiwa dulu itu terjadi,” kataku.
Awan hitam melayang mendekati pucuk cemara. Matahari seolah-olah telah pergi, lautan yang sebiru langit menjadi gelap dan baunya tidak tercium lagi. Ditemani gerimis, Meri mendekati muara dan memandang rawa-rawa yang jauh di seberang. “Apakah di sana peristirahatan terakhir leluhurku?!” teriakannya menggema ke langit yang tampak mulai hitam.
Tiba-tiba saja dari balik satu pohon cemara, sesosok lelaki tua datang menghampiri Meri, “Tidak akan kau temukan pusara leluhurmu! Mungkin sudah hilang ditelan laut, atau mungkin sudah menjadi seperti bangunan-bangunan kota tua di rawa-rawa sana. Pasang surut gelombang mengikisnya perlahan dan angin ikut pula meluruhkannya menjadi debu, menerbangkannya dan jatuh menghilang ke dasar samudera ini."
Sepertinya aku tahu dengan si pemilik suara berat dan parau itu. Dia Pak Tua.
“Pak Tua, hujan pasti lebat sebentar lagi. Ikutlah bersama kami, kita duduk-duduk barang sebentar di kedai kopi,” ajakku seraya berlari ke arah Jip karena hujan mulai turun.
Pak Tua mengikutiku, dan Meri pun ikut pula berlari di belakangnya. Tepat ketika hujan menderas, aku sudah selesai memasang terpal Jip.