Tuan Raksasa 5 konsep
Para pedagang kaki lima di sekitar sedang berkemas-kemas hendak pulang. Sudah satu jam lebih aku menanti Pak Tua. Para pelanggan kedai kopi silih berganti keluar masuk. “Pak Tua sering ngopi di sini,” kata si pemilik kedai kopi saat aku minta dibuatkan segelas kopi lagi, “kalau belum ngopi, tidak jalan daya pikirnya, begitu selalu katanya.”
Setengah jam kemudian dia belum juga terlihat. Hari hampir gelap, matahari mendekati garis laut. Dua, tiga, empat orang beranjak pergi meninggalkan asap beraroma cengkeh dari puntung rokok yang mereka buang dalam asbak di atas meja. Ketika setengah bagian matahari telah masuk ke laut, yang kunanti akhirnya kelihatan juga. “Ayo!” teriaknya dengan langkah terburu-buru. Dia berjalan menuju ke sebuah jembatan.
Aku cepat-cepat keluar dari kedai kopi dan berusaha mengejarnya, tapi Pak Tua semakin menjauh. Posturnya yang tinggi besar menghalangi pancaran semburat jingga. Keadaan di sekitar lengang. Hanya ada segerombolan kambing yang sedang menikmati setandan kulit pisang yang ditinggal penjual gorengan. Di persimpangan sana masih terlihat gerobaknya didorong pulang oleh pemiliknya. Tiba-tiba, Pak Tua melompat, terjun ke bawah jembatan.
“Pak Tua!” teriakku seraya berlari.
Pak Tua betul-betul menghilang. Jauh di depanku yang tampak hanyalah hamparan lautan yang gelap sempurna dengan kedipan titik-titik lampu perahu nelayan. Dan, lampu-lampu jalan di tiang pagar jembatan di dekatku baru saja menyala. Ke mana perginya Pak Tua itu? Eh! Ternyata dia sudah duduk di sebuah perahu cepat, di bawah kakiku. “Turunlah! Ini pelajaran pertama!” Perkataanya itu terkesan seperti perintah yang tidak boleh tidak kuturuti.
“Aku mau bekerja! Bukan belajar,” kataku, aku masih berdiri di pagar besi jembatan.
“Belajar dulu baru bisa bekerja!” teriaknya lagi, “Cepatlah!”
Aku melompat dan mendarat di atas perahu.
“Kerja apa malam-malam begini, Pak Tua?”
“Tergantung situasi!”
“Aku tak mau kalau hanya memancing!”
“Kerjanya malam ini. Amati betul-betul dan catat di kepalamu,” ucap Pak Tua seraya meletakkan jari telunjuk di kepalanya seperti menodongkan pistol ke diri sendiri, lalu dia bergumam, “Jangan terlalu banyak bertanya.”
Perahu dikendalikan Pak Tua mengarah ke sebuah kapal. Kapal yang dulu membawa aku dan Meri ke Pulau Sebeng ini. Kapal yang semua penghuninya lelaki tua. Kapal yang beraroma aneh. Lalu kami merangkak menaiki tangga yang diturunkan oleh seseorang dari atas kapal itu. Kemudian Pak Tua mengajakku berkeliling seraya memperkenalkanku kepada para lelaki tua itu, tapi mereka sama sekali tidak peduli dengan kehadiranku. Mereka disibukkan oleh pekerjaannya masing-masing. Tidak seorang pun menoleh ke arahku, tapi aku mulai mempelajari karakter mereka. Memperhatikan wajah lelah mereka satu demi satu.
“Tidurlah, pukul tiga malam nanti kita bekerja,” kata Pak Tua, dia lalu menuju ruang nahkoda, meninggalkanku sendirian terhuyung-huyung di dalam sebuah kabin.
Kapal sedang dihantam ombak tinggi yang datang dari samping. Aku pusing dan mabuk laut. Pikiranku mengalun-alun, mereka-reka pekerjaan apa yang akan kulakukan beberapa jam ke depan. Lalu gelap menyelimuti pandanganku, aku pun tertidur.
***
Aku tersentak! Seperti baru terbangun dari mimpi buruk. Suara letusan senapan kuno terdengar dekat sekali di telinga, mengingatkanku pada kejadian masa kecil di Lembah Kuning kala Orang Atas menyerang truk serdadu.
“Arus kencang dan bergelombang di selat yang sempit memang berbahaya, tapi sangat menguntungkan bagi kita. Di alur pelayaran ini, kapal-kapal besar yang melintas terpaksa mengurangi kecepatannya. Catat itu di kepalamu!” kata Pak Tua seraya menarik lenganku, memaksaku keluar dari kabin.
Suara tembakan senapan kuno terdengar lagi, beruntun tiga kali, seperti sebuah isyarat untuk memberi tahu sesuatu. Tembakan itu dilepaskan dari senapan di tangan seorang lelaki tua yang berada di atas kapal besar yang bersebelahan dengan kapal kami.