Kisah Para Penyamun dan Tujuh Pemberani

Dirman Rohani
Chapter #17

Tuan Bhan 4

Tuan Bhan 4 konsep

Karena hujan lebat disertai angin kencang, arus sungai berubah kuning kecoklat-coklatan. Air bercampur lumpur itu bergelegak deras dan menyeret gelondong-gelondong kayu, yang kemudian terdampar di mana-mana. Daun pohon sukun di belakang rumahku berserakan ke mana-mana hingga menutupi atap rumah. Bahkan beberapa atap seng rumah tetangga ikut diterbangkan oleh sang bayu itu. Yang bikin kesal, antena parabola di halaman depan rumahku sudah tak karuan bentuknya, tiang penyangganya nyaris roboh dan hilanglah siaran televisi, yang tampak hanyalah tulisan tidak ada sinyal. Walaupun kesal, jangan pernah menyalahkan angin. Paginya setelah membersihkan atap dan halaman rumah, aku dan adikku memperbaiki bentuk antena parabola itu dan menegakkan kembali tiangnya. Payung parabolanya kugerakkan perlahan, naik turun menghadap ke arah timur.

“Naik dikit, Bang! Lagi, lagi. Baru empat puluh persen kekuatan sinyalnya. Nah dikit lagi, sudah enam puluh, berhenti, sudah, turun itu tiga puluh. Berhenti, pas di situ, delapan puluh persen!” teriak adikku yang berdiri depan televisi di dalam rumah.

Tidak lama kemudian para tetangga berdatangan, memberi tahu kami bahwa televisi di rumah mereka juga tidak muncul siarannya. “Ayo!" ajakku sambil memukul pundak adikku.

Satu dua rumah, rumah sebelahnya lalu sebelahnya lagi, nyaris semua rumah tetangga kami dan akhirnya kami menuju ke rumah di ujung jalan. Beres! selesai sudah. Tangan mereka memasukkan uang ke kantung baju adikku. Diintip surya yang tengah tenggelam, di jalan pulang kami tertawa-tawa sambil bercanda riang. Adikku memperlihatkan isi kantung depan bajunya. “Ini kebaikan angin yang datang samalam, Bang.” Kami pun tertawa lagi dan sepanjang jalan pukulan-pukulan lurus jab tanganku mendarat di bahunya. Aku akan menikmati akhir pekan yang menyenangkan, menyaksikan siarang ulang kompetisi tarung bebas di televisi.

Malamnya, tiba-tiba hujan dan angin kencang datang lagi dan dalam sekejap mata dengan sekali embusannya menyebabkan gambar di telivisi terdiam, dan tulisan tidak ada sinyal muncul lagi, dan listrik pun ikut padam. Kami masih mengharapkan kebaikan angin yang datang. Selanjutnya nikmat yang paling besar di depan televisi bagi para bujangan adalah tidur!

Esoknya, hari menjadi sangat cerah, tampaknya cuaca akan bagus sampai sore. Sebelum matahari terbit, hujan memang sudah berhenti. Walau tadi pagi sempat sedikit mendung, siang ini mentari sudah leluasa lagi menyinari bumi. Seperti biasanya, aku dan adikku berjalan kaki ke kebun kami yang terletak di kaki gunung. Kami menelusuri jalan setapak. Kebun kami memang sedikit jauh. Setelah melewati dua sungai kecil berbatu-batu, kami harus mendaki lagi melewati bukit-bukit kecil. Mendengar bunyi cipratan air dari sendal gunung kami, anak-anak ikan dan udang-udang kecil berlarian bersembunyi ke balik batu-batu berlumut dan licin. Batu-batu berlumut itu sering juga kuperhatikan satu demi satu dari segala sisinya. Air yang terus mengalir telah mengikis batu-batu itu sehingga terbentuklah lekuk-lekuk indah di segala sisi permukaannya. Air bagai memahatnya atau menjadikannya mirip dengan sesuatu: mirip binatang, atau seperti batu di depan rumah kami yang mirip tempurung kura-kura itu, yang sering diduduki adikku, atau mirip gunung, atau bisa mirip apa saja. Di daratan sana batu dengan keindahan pahatan alam ini dinamai 'sueseki', sedangkan di daratan di dekatnya menyebutnya Shang-Shek atau Yah-Tek yaitu batu yang dapat dinikmati keindahannya, begitu kata Cempaka. Selain suiseki, Cempaka juga hobi bonsai. Batu-batu yang berukuran kecil ditatanya bersama tanaman bonsai. Di gunung, aku juga sering mencari bakalan bonsai. Aku paham sedikit seni mengerdilkan tanaman ini setelah diajari Talang, teman akrabku yang kukenal di kota.

Lihat selengkapnya