Tuan Bhan 5 konsep
Adikku teman latihan berkelahi dan berlari yang menyenangkan. Terkadang kami lari di pematang sawah dengan kaki telanjang. Di setiap tanah berumput yang kami lalui belalang-belalang kecil melompat-lompat karena terkejut dan semak putri malu menguncupkan daunnya karena tersentuh telapak kaki kami. “Selain melatih refleks untuk melompat ketika menghindari duri, berlari di bagian pematang yang kecil juga bisa melatih keseimbangan tubuh!” kelakar adikku.
Sesekali kami berhenti untuk melatih otot lengan dengan cara push-up, diikuti sit-up untuk menguatkan otot perut, membuatku teringat pada Talang yang suka latihan bela diri, tapi malah bercita-cita jadi atlit binaraga.
Akan tetapi, aku tidak bersama adikku. Dua hari lalu dia ke kota untuk mengikuti ujian masuk Akademi Sains dan Teknologi. Biasanya kami memang selalu bersama, ke kebun kami di gunung, memancing di pinggir laut, berlari di tepi pantai. Ke mana saja aku sering mengajaknya serta. Namun, gerombolan burung kuntul putih sahabat para petani tentu saja mendapati pemandangan pagi yang tidak seperti biasanya, aku berlari mengitari sepetak sawah sendirian. Keringatku semakin mengucur deras. Pada putaran ketiga aku melihat pamanku berdiri di dekat saluran irigasi dan memanggilku dengan tangannya. Pastilah ada hal penting yang ingin disampaikannya. Sambil mengatur napas yang masih satu dua, aku duduk di sampingnya. “Ada apa, Paman?”
Pamanku melepaskan tanah liat yang menempel di tapak sandal jepitnya dengan ranting kayu.
”Makcik sehat-sehat saja, Paman?” tanyaku lagi.
“Apa benar kamu juga mau ke kota?” tanyanya sambil mencuci sandalnya. ”Nanti kebun bagaimana, siapa yang urus?” Ia menatapku. “Paman sudah tua, mana kuat ke gunung, pohon durian mulai berbunga."
“Seminggu sekali Bhan akan pulang, Paman.”
Paman berdiri lalu pergi. Aku tahu, berat hatinya mengizinkanku kembali ke kota, tapi aku harus ke sana, aku butuh uang banyak demi cita-cita adikku, dan bertarung di kompetisi itu adalah cara termudah menghasilkan uang buatku. Hah … kuembuskan udara kuat-kuat setengah berteriak.
Paman dan makcikku sekarang tinggal berdua saja. Anaknya yang tertua: Abang sepupuku itu sekarang tinggal di kota lain, sudah berkeluarga di sana. Yang bungsu, yang perempuan: Adik sepupuku itu teman akrab Cempaka, sekarang di kota, kuliah di fakultas kedokteran.
Aku ingin ngopi. Segera kukayuh sepedaku menuju kedai kopi.
“Buatkan aku kopi, Kawan. Jangan terlalu banyak gula.”
“Gulanya satu sendok teh saja, kan? Tapi tunggu sebentar, ya. Airnya belum panas,” kata si barista. Dia sebaya denganku. Belum setahun dia di sini, kedai kopinya sudah terkenal dan ramai. Kedai kopinya tidak jauh dari jembatan yang berada di belakang rumahku. Tanpa kuminta, pada suatu hari dia menceritakan kisah masa lalunya kepada kami dan menyemangatiku agar jangan pernah menyerah dalam urusan asmara. “Nanti kau menyesal jika cinta itu telah mati, kau akan jomblo seumur hidupmu seperti saya.”
***
Orang-orang bilang, saya penyeduh kopi terbaik di kampung saya. Hingga pada suatu hari ketika larut sudah sepi, pada kaktus besar dan berduri di samping kedai kopi, saya sering bercerita.
Begini awal kisahnya:
Jadi, pada suatu hari, saya benar-benar berang sama pemilik kerbau, sapi, dan kambing-kambing itu. Bagaimana tidak! Coba bayangkan, setelah merusak pagar batang kuda-kuda yang baru saja saya perbaiki, dengan jumawanya gerombolan kambing itu meluluhlantakkan daun-daun ubi di kebun saya itu. Rusak segalanya, sia-sia saja usaha saya. Dan itu bukan hanya terjadi di kebun saya. Berlanjut ke kebun milik tetangga. Malamnya saya tidak bisa tidur. Hati dan pikiran saya bertukar pendapat tentang masalah ini. Kenapa ternak-ternak itu masih bebas berkeliaran? Lalu nalar saya memberi jawabannya: pemiliknya tak acuh pada peraturan!
Tidak boleh melepas ternak sembarangan, bukankah semua orang sudah tahu pada aturan itu! Kepala kampung sampai berbuih mulutnya dan parau suaranya. Tapi, seruannya dianggap angin lalu saja. Apa harus berulang kali memberitahukan hal yang itu-itu saja! Dan kau tahu, Bhan! Pada waktu itu, semua pembuat camilan keripik di kampungku harus mendatangkan ubi dari kota tetangga. Kota di utara sana. Karena apa? Karena ubi tidak punya kesempatan hidup wajar di kampung saya.