Tuan Raksasa 7 konsep
Ketika malam kabut menyelimuti pulau kecil berbukit-bukit ini. Karang cadas dan tebing menjadi dindingnya dan gua-gua di ketinggian yang curam dengan lorong-lorongnya yang tembus ke laut menganga di sekelilingnya. Walet dan kelelawar sebagai penghuni abadi, yang lainnya seperti burung-burung migran hanya menetap sebentar. Dari jendela bangunan kayu ini kami leluasa menatap ke bawah. Jurang yang bertaring menjadi bibir pantai. Tidak ada pohon di sekitarnya. Jika mau bunuh diri karena merasa gagal meraih cita-cita, seperti aku dulu, ini tempat yang bagus. Tapi bunuh diri bukanlah cara terelegan untuk menyelesaikan masalah. Jangan berjalan dengan kepala tertunduk. Bergabunglah bersama kami untuk melambungkan adrenalin demi meneruskan hidup. Bergabunglah bersama kami karena kami adalah orang-orang yang paling dicari, di mana pun dan sampai kapan pun. Kami senantiasa mendaki tepian tebing kebinasaan dan mengarungi badai kematian. Kami adalah lelaki bersebo yang selalu datang tanpa terduga, lalu menghilang cepat tanpa jejak layaknya hiu buas. Begitulah orang-orang di laut mengenal kami. Di balik sebo sudah hilang rasa takut, tidak ada perasaan bersalah dan bersedih, penyesalan pun enggan hadir, karena setiap jengkal lautan tidak ada yang aman bagi kami dan buat mereka, kapal-kapal dagang dan kapal-kapal besar asing pencuri ikan. Di daratan, kami masih memiliki sedikit kehormatan. Tidak ada yang tahu pekerjaan kami yang mengerikan ini. Bahkan keluarga pun tidak. Para lanun tua pengarung samudera itu tentu saja tidak ingin anak-anaknya mengikuti jejak ini.
“Tahukah kau berapa umur Keumalahayati ketika membunuh Cornelis de Houtman dalam duel satu lawan satu di atas geladak kapal ?!” tanya Pak Tua seraya menatap tajam mata hitamku.
Semua mata tertuju ke arahku.
Aku diam, tidak ada gunanya menjawab pertanyaan seperti itu, dan aku rasa dia juga tidak butuh jawaban pelajaran sejarah masa lampau itu. Alasan keberadaan para lanun tua di sini bukan untuk berperang, mereka hanya berjuang untuk anak istri supaya dapur di rumah selalu bisa berasap. Sedangkan aku? Akulah yang termuda dari mereka, dan jangan pernah terlalu lama menatap mata lelaki berusia 25 tahun ini. Itu bisa kuanggap sebagai isyarat menantang berkelahi. Mengumpulkan uang sebanyak mungkin adalah alasan yang paling masuk akal bagi pria yang belum menikah sepertiku. Jadi jangan remehkan penghasilan kami! Itulah yang membuat aku masih bertahan bersama mereka di Pulau Kabut ini, markas rahasia persembunyian kami yang tidak terlalu jauh dari Pulau Sebeng. Dan malam ini, Pak Tua yang giginya ompong tanpa perak, emas atau berlian, yang matanya mulai berkatarak, mata yang selalu disilet sengatan matahari, mata yang menjadi teropong puluhan lelaki yang juga mulai menua itu, tentu saja tidak ingin mengajakku berkelahi. Sebuah pistol laser, sebuah pistol kuno Magnum kaliber 44 dan empat pucuk senapan kuno AK-47 tersusun di atas meja kayu bersama sekarung amunisinya.
Malam ini aku dinobatkan menjadi pimpinan bajak laut perairan daratan ini. Aku diberi gelar: Raksasa si perampas. Sebenarnya aku lebih senang para perompak ini memanggilku Raksa atau Rak saja, seperti teman-teman sekolah memanggilku.
***
Seperti biasanya, di anjungan berdiri empat lanun tua yang memanggul senapan kuno—diselempangkan di dada. Seorang lainnya yang bertubuh tambun dan pendek, sesekali meneropong ke garis cakrawala.
“Ada kapal di depan!” Si tambun pendek berteriak dengan cara yang tidak biasa dan keringat membasahi alis matanya yang memutih.