Kisah Para Penyamun dan Tujuh Pemberani

Dirman Rohani
Chapter #22

Tuan Raksasa 9

Tuan Raksasa 9 konsep

Tiba-tiba aku menggigil, lalu terjatuh di lantai. Talang segera memompongku ke dalam kabin dan menyelimutiku. Pastilah luka-luka itu ... luka di sekujur tubuhku sudah terinfeksi. “Kita harus membawanya ke rumah sakit.” Terdengar sayup-sayup suara D, lalu aku tak sadarkan diri.

Bukan hanya tergores karang, hewan laut juga telah melukaiku malam itu. Sengatan ubur-ubur, tusukan bulu babi, dan gigitan ular laut. Besoknya, pagi-pagi sekali D membawaku turun ke daratan. Dengan mobil sewaan kami menuju rumah sakit. Setelah pemeriksaan awal dan mendapatkan sebotol infus, aku duduk di ruang tunggu dengan tenang, sabar menunggu petugas kesehatan mempersiapkan kamar rawat inap untukku.

Wanita berseragam putih-putih yang baru saja berlalu dari hadapanku berhenti melangkah. Dia menoleh, lalu berbalik. Wajahnya tidak asing di mataku. “Rak ... Raksa, kan?” Jari telunjuknya yang lentik menunjukku seraya berjalan mendekatiku.

Tentu aku mengenalinya, dia temanku sewaktu SMA. “Mona. Monalisa, ya?! Kerja di sini?”

“Kenapa tanganmu, Rak? Bisa begini sampai ke muka.”

“Terjatuh waktu memetik cengkeh, tergores ranting-ranting,” jawabku seenaknya.

“Kenapa bisa parah begini? Di mana kebun cengkehmu, Rak? Berita di koran banyak batang cengkeh yang mati, kan?”

Terkenang sepintas lalu pohon-pohon cengkeh di Lembah Kuning, yang berada di perkarangan rumah masa kecilku, juga di rumah kakekku. Aku tersenyum untuk menutupi kebohonganku. “Tinggal beberapa batang saja, Mon. Hasilnya, lumayanlah.”

“Yulia dan Devi bertugas di sini juga, Rak. Aku harus buru-buru. Kapan-kapan kita adakan reunilah, Rak!”

Beres itu, Mon. Petualanganku adalah sebuah reuni! Bisikku pada udara yang beraroma obat-obatan ketika dia sudah pergi dan menghilang di kelokan koridor.

D yang menemaniku, bukan anak petani cengkeh. Bapaknya yang lanun tua itu dulunya petani pala di daratan bagian selatan. Nasibnya pun serupa, pohon-pohon pala banyak yang mati. Kabarnya mati akibat diserang hama penggerek batang dan jamur akar putih. Banyak juga yang berpendapat itu terjadi karena burung-burung bersuara merdu yang menjadi pemangsa hama pohon pala sudah langka. Nyaris punah karena diburu oleh para penggemar suara burung. Anehnya mereka yang hobi mendengarkan merdunya suara burung itu menyebut diri mereka sebagai komunitas yang melindungi si burung supaya tidak punah. Si burung disangkarkan, dirawat, dilatih, dikembangbiakkan dan dijual mahal. Kini era keemasan pala dan cengkeh tinggal kenangan. Aku sangat menikmati ketika D berpuisi di anjungan kapal:

Pohon-pohon pala belum berbunga

Burung-burung sudah enggan datang

Lihat selengkapnya