Kisah Para Penyamun dan Tujuh Pemberani

Dirman Rohani
Chapter #23

Tuan Raksasa 10

Begitu keluar dari keramaian kota, bus bergerak cepat di jalanan yang baru saja usai diguyur hujan dan berhadapan dengan matahari petang yang sedang tidak terhalang awan. Rintik hujan di luar jendela berkilau-kilauan. Di sana, cahaya dan air sedang berkombinasi melukiskan pelangi, yang terus melengkung, yang bagian ujung satunya turun jauh dan berakhir jatuh di pematang sawah di kaki bukit. Aku pun mulai mengkhayal warna-warni kehidupanku kelak. Sudah berulang kali aku mengingatkan diriku sendiri, jika aku menemukan sebuah daratan baru dan memiliki kekuasaan, aku tidak mau peradabannya dan kemodernannya seperti di daratan ini.

Sebagian penumpang bus sudah terlelap dengan mimpinya masing-masing. Perjalanan panjang dua belas jam, baru ditempuh setengah perjalanan. Pada saat bus melewati sebuah kota kecil tempat persinggahan kapal-kapal tanker pengangkut gas, lidah api besar terlihat berkobar-kobar di puncak cerobong-cerobong tinggi, pertanda gas bumi di tempat itu sedang mengalir ke penampungannya yang tersembunyi di dalam kapal-kapal besar. Suatu hari nanti kami harus menaklukkan salah satu kapal itu. Ide tersebut datang dari seorang lanun muda yang kampung halamannya juga bersebelahan pagar dengan ladang gas. Dan, bau gas-lah yang menciptakan aroma perang di kota ini, walaupun bukan hanya itu penyebabnya.

Tiba-tiba terdengar beberapa kali letusan senapan kuno dan terlihat kilatan-kilatan tembakan laser di langit. Wajah-wajah penduduk kota dingin tanpa ekspresi apa pun. Pastilah mereka telah terbiasa atau setidaknya terpaksa membiasakan diri dengan keadaan seperti ini. Iring-iringan truk serdadu memasuki kota, membuat aku ingin cepat-cepat pergi dari kota ini. Para penumpang bernapas lega, bus tidak terlalu lama berhenti. Rodanya menggelinding lagi. Kemudian aku tertidur. Ketika aku terjaga, bus entah sudah tiba di mana, lalu aku tertidur lagi. Ketika aku terjaga lagi, bus sudah tiba di kota utara yang ramai. Hampir pukul dua belas malam, tapi kota utara sepertinya memang tidak pernah tidur. Aku segera pergi mencari penginapan.

***

Karena dianggap bisa disalahgunakan oleh Orang Atas, telepon umum kuno terlarang di kotaku. Namun, tidak di sini. Kota utara memang unik, walaupun masuk kategori kota modern di daratan ini serta sudah memiliki jaringan ponsel dan internet, kota ini tetap mempertahankan penggunaan telepon kuno. Benar perkataan Adin dulu, aku bisa menemukannya di depan kafe Irma. Dari alat pendengar yang terpasang di gagang telepon umum koin yang kutempelkan di telingaku terdengar bunyi tut, tut, tut sebagai isyarat nada tunggu dan sesekali ditimpa suara mobil yang berlalu lalang di jalanan, terkadang diselingi suara raungan sepeda motor. Semua orang sedang sibuk dengan kegiatan paginya masing-masing. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya terdengar juga suara seseorang yang menyapa.

“Adin, ini aku Raksa!”

“Woi kawan lama. Tunggu aku di kafe Irma.”

“Aku memang sudah di depan kafenya.”

Bunyi 'tut' terdengar panjang pertanda Adin telah menutup teleponnya. Tidak sia-sia aku menyimpan baik-baik nomor telepon rumahnya di dompetku. Terakhir kali aku berjumpa Adin di kotaku, pada saat itu dia berkata seraya menulis nomor telepon rumahnya di selembar kertas: “Kalau main-main ke utara, singgah dulu di kafe Irma. Ini nama jalannya. Di depannya ada telepon umum. Telepon aku, nanti kujemput.”

Sudah hampir setengah jam aku duduk di pojokan ditemani secangkir kopi dan lima potong kue donat di dalam piring kristal berwarna-warni. Wanita yang duduk di meja kasir sesekali melihat ke arahku. Dia pasti sedang menduga-duga, ataupun mungkin merasa seakan-akan mengenalku. Atau ragu-ragu karena penampilanku. Sudah lebih tujuh tahun kami tidak bertemu. Rambutku kini gondrong sebahu, memakai topi pula, pastilah dia sulit mengingat wajahku yang sedikit ganteng ini.

Tidak lama kemudian, sebuah mobil berhenti di taman parkir di ujung jalan sana. Lelaki yang turun dari mobil itu berjalan menuju kemari. Dia Adin. Tidak ada yang berubah dari penampilannya, kecuali perutnya yang sedikit berisi tetapi belum cocok disebut gemuk. Aku melepas topiku, berharap dia masih mengenaliku.

“Irma! Mana teman lama kita itu?” tanya Adin begitu tiba di depan kafe dan begitu melihatku, dia tertawa dan segera melangkah menuju ke arahku. Ternyata dia masih ingat denganku, aku memakai lagi topiku.

Irma terlihat bingung dan kemudian ikut tertawa. Dia melangkah keluar dari pintu kecil di samping meja kasir dan menyapaku, “Raksa?! Dari tadi aku sudah mau menyapa, tapi takut salah orang.”

Tiga teman masa SMA kini duduk semeja. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari depan kafe, “Sedang apa kalian, Din?”

“Tina! Masuklah, ada teman lama kita. Masih kenal, kan?” Irma memanggil Tina seraya mengambil topi di kepalaku.

“Hei, Rak! kemana saja kau? Tak ada kabar beritanya kau ini,” nada suara Tina menggelegar khas orang utara daratan ini.

“Ya! Beginilah hidupku. Mereka-mereka itu, masih saja mencari-cari aku!” kataku meniru logat bicaranya.

Lihat selengkapnya