Kisah Para Penyamun dan Tujuh Pemberani

Dirman Rohani
Chapter #27

Tuan Bhan 9

Tuan Bhan 9 konsep

Musik yang mengentak-entak di gendang telinga mendatangkan semangat sekaligus kekuatan buat mereka yang sedang berada di dalam ruangan ini. Bagiku bagai bunyi kayu bakar yang dihantam kampak berulang-ulang. Di kampung, suara kayu terbelah juga mendatangkan semangat untukku.

Sinar matahari pagi jatuh di satu sisi sudut ruang begitu aku menyibak tirai jendela kaca. Bayangan postur kekar Talang yang tengah membebankan dumbel pada otot bisepnya terlihat mencolok di dinding kosong di antara dua cermin besar. Beberapa saat kemudian puluhan anggota klub mulai berdatangan. Mereka melakukan gerakan pemanasan sebelum bergelut dengan beban-beban berat dan peralatan kebugaran lainnya. Ruangan di lantai dua bangunan ini memang khusus dijadikan gym oleh Talang, dan di lantai satunya, dia menjual berbagai perlengkapan beserta segala pernak-pernik olahraga lainnya. Talang berbaik hati meminjamkan salah satu kamar tidur yang berada di lantai tiga kepadaku. Dia instruktur sekaligus pemilik klub kebugaran ini dan memintaku agar melatih kekuatan otot-ototku terlebih dahulu sebelum mengikuti audisi pertarungan itu. Sambilan itu aku menawarkan diri bekerja di gym-nya ini. Aku cepat menyesuaikan diri, kini menjadi lebih tahu cara-cara latihan beban untuk membentuk otot dan segala seluk-beluknya tentang fitness. Sekarang kalau ingin lari, aku lari di treadmill. Kalau dulu yang tahunya ya berlari di pematang sawah, dan biasanya ketika membentuk otot hanya push up, sit up, dan dengan cara mengangkat beban yang terbuat dari coran semen dalam kaleng.

“Ayo, Bhan! Jangan melamun saja. Seperti kemarin, squat tiga set supaya otot kakimu semakin kuat dan kuda-kudanya bertambah kokoh,” seru Talang.

Setelah pemanasan, dengan hati-hati seperti atlit angkat besi aku mengangkat barbel dan meletakkannya ke atas pundakku. Membuka kakiku selebar bahu dan dengan posisi badan tegak lurus menurunkan beban itu dengan cara menekuk kedua lutut perlahan-lahan, kemudian naik kembali pelan-pelan: berdiri sambil merasakan kontraksi otot paha. Aku mengulanginya sampai delapan kali untuk satu setnya. Setelah itu aku melanjutkan latihan menguatkan otot di bagian tubuh lain dengan peralatan fitness yang dulunya hanya sering kulihat di iklan televisi. Hari-hari terus berlalu, minggu dan bulan berganti. Otot-ototku kian kekar dan besar, tapi bukan sebesar otot-otot Talang yang bagai atlet binaraga.

“Bhan!” Terdengar suara Talang di belakangku.

Aku tengah merapikan dan mengembalikan letak cakram-cakram besi ke tempatnya setelah dipakai para anggota klub. Aku berpaling ke arah Talang, dia mendekatiku. Dia lalu memperlihatkan sebuah buku dan meletakkannya di atas bangku fitness bench, tepat di sampingku. “Ini milikmu aku kembalikan.”

Aku sedikit terkejut. Ini buku gerakan-gerakan bertarung peninggalan ayahku yang memang kubawa serta bersamaku. Apakah dia mengambilnya diam-diam dari tasku seperti ketika aku mengambil buku di lemari kaca di ruang tamu rumahnya?

“Buku ini terjatuh saat kita berkelahi di hari kita berkenalan dulu, ingat?” Talang lalu memegang pundakku dan memberi tahu bahwa Pak Ka sang legenda petarung itu adalah kakeknya.

Apa! Aku terheran-heran menatapnya. Lalu Talang memperlihatkan selembar foto tua yang warnanya sudah pudar. Talang tidak berbohong, orang tua di foto itu adalah sosok orang tua yang sama yang ada di foto dalam lemari kamar ayahku. Mereka berdiri di atas sebuah jembatan yang baru selesai mereka kerjakan.

“Terima kasih, Tal. Kau sudah banyak membantuku. Oh, ya. Bagaimana kabar Kenanga?”

“Sudah berbulan-bulan di sini, kau belum ke tokonya?"

Aku diam.

Talang menepuk bahuku dan berkata, “Besok kita ke sana.”

Aku tetap diam sambil meneruskan pekerjaanku menggulung matras.

***

Dulu, awal-awal mengenal Talang, pada suatu malam dia mengajakku ke sebuah gym.

“Aku juga ingin punya usaha gym, Bhan.”

"Mantap! Sambil kuliah, Tal?”

“Mana ada bakatku kuliah. Kata ayahku, hanya ada dua pilihan dalam hidupku: menjadi pelaut seperti dirinya atau menjadi atlit binaraga profesional, Bhan.”

“Pilih kedua-duanya. Kalau bisa tambah satu lagi, kuliah juga.”

Kami tergelak.

“Kau, tidak ada rencana kuliah, Bhan?”

“Belum ada bakat juga!”

“Kerja?”

“Iseng-iseng jualan buah.”

“Yang penting ada kegiatan, Bhan.”

Talang menekuk lengannya memperlihatkan bisep-nya. Kemudian kami fokus dengan latihan membentuk otot.       

Setahun kemudian.

“Bhan!” Suara seseorang yang tidak asing terdengar di bawah.

Ya, itu Talang. Rupanya sudah lama dia berdiri di situ. Aku berhenti memetik buah jambu yang pohonnya tumbuh di samping rumahku. Aku terpaku pada penampilan Talang, sudah mirip atlet binaraga.    

“Woi, Bhan! Jangan bengong gitulah.”

“Sudah jadi atlit binaraga, kau?”

“Belum, tidak harus jadi atlit binaraga, Bhan. Angkat beban akan membuat tubuh sehat. Aku sudah mantap mau buka gym.”

“Mantap!” Aku mau turun, tapi dia malah ikut manjat.

“Kalau kau mau, kapan pun, kau boleh berlatih bersamaku, Bhan.”

Kami bersalaman di atas pohon jambu. Aku lalu meninju bahunya. “Sudah keren kau sekarang.”

Talang tergelak terbahak-bahak. Dua kantung plastik besar di tanganku sudah penuh dengan jambu, kami pun turun.

“Untuk siapa jambu sebanyak ini, Bhan?”

“Aku akan ke kota. Kujual di sana.”

“Aku bawa sepeda motor, Bhan.”

Talang menghidupkan sepeda motornya, aku pun langsung duduk di belakangnya. Satu jam kemudian kami tiba di kota dan langsung menuju ke toko Kenanga. Setiba di sana. siluet di balik lemari kaca hitam itu kupikir dia. “Ken, ini jambunya.”

Lihat selengkapnya