Tuan Raksasa 12 konsep
Aku tertidur di bangku terminal ketika menunggu pagi. Keramaian di pertokoan depan terminal membangunkanku. Keributan yang memberi pengharapan. Ternyata roda kehidupan masih terus berputar. Aku masuk ke sebuah kedai kopi, meminta sepiring nasi kunyit telur mata sapi dan segelas kopi panas. Sungguh nikmat hidup ini. Semua manusia tentu mendambakan hidup bahagia.
Seorang pria berjaket hitam yang baru masuk, berjalan cepat melewati keramaian penikmat kopi yang duduk di hadapanku. Dia menuju ke meja kosong yang letaknya dua meja di belakangku. Gerak bayangannya tidak bisa mendustaiku. Lemari kaca tempat kue dan roti yang berdiri rapat dengan dinding di samping kiriku memperlihatkan apa yang sedang dia perbuat. Jaket hitam itu! Si jaket hitam itu mengingatkanku pada si jaket hitam yang mengejarku di rumah sakit. Jika benar dia, ada keperluan apa dia berada di sini seorang sendiri. Ke mana dua temannya yang lain? Kebetulan sajakah dia singgah di sini? Mungkin ini kedai kopi kesukaannya, atau bisa jadi dia sedang bertugas memata-matai orang-orang yang dicurigai. Segala kemungkinan bisa saja benar. Aku semakin waspada dan menajamkan pandanganku, ke lemari kaca hitam itu.
Tangan kanannya turun perlahan ke pinggang, pelan menyusup ke dalam jaket. Aku berusaha tenang, bernapas pelan dan waspada. Semangat untuk bertahan hidup membangkitkan kedutan-kedutan keberanian di seluruh anggota tubuhku dan mendorongku agar segera berbuat sesuatu. Lari .... Melemparkan kursi ke mukanya, lalu memukulnya membabi buta .... Mengajaknya berkelahi, duel tangan kosong .... Dan masih banyak pilihan lainnya.
Tidak salah lagi. Lengan berjaket hitam itu gerak-geriknya sama persis dengan si lengan berjaket hitam yang pernah kulihat di balik pintu ruang rawat inap di rumah sakit dulu. Caranya memegang pistol agak miring.
Sebelum lengannya itu memutar lurus ke arahku, aku memilih lari, tapi sebelumnya aku terpaksa menghajarnya dengan .... Dengan gerakan secepat kilat, satu terjangan tendangan belakang seraya memutar badan, aku berhasil mendaratkan tumit sepatu kaki kiriku tepat di lengannya. Pistol laser di tangannya terlempar ke lantai, menyusup ke kolong meja paling belakang. Secepatnya kuraih ranselku dan lari keluar. Beberapa orang yang sedang menikmati kopi di bagian depan kedai terjatuh ke lantai karena tersenggol badanku. Aku langsung kabur.
Para pedagang kaki lima dan semua orang di sepanjang jalan terdiam, cemas, dan ketakutan. Ketakutan yang manusiawi. Jika saja aku membawa senapan dan saling jual beli tembakan dengan pria berjaket hitam yang masih mengejarku itu, mereka tentu saja tidak mau menjadi korban peluru dan laser nyasar. Aku terus berlari dan menaiki tangga menuju pertokoan di lantai atas. Ada beberapa toko buku yang masih sepi di situ, dan setelahnya terdapat deretan toko pangkas yang juga baru dibuka dan sepi. Si jaket hitam tidak juga berhenti. Dia mengejarku dengan pistol laser di tangannya. Jika aku terus memaksakan diri sampai ke ujung bangunan, ada tembok beton mengadang. Tanpa pikir panjang, aku melompat ke bawah ke atas terpal plastik biru yang merupakan atapnya lapak para pedagang kaki lima. Terpal itu jebol karena tidak mampu menahan bobot tubuhku, aku pun jatuh di atas dagangan si pemiliknya. Aku mendarat empuk di atas tumpukan kain sarung, handuk, dan berbagai macam pakaian. Di atas sana, si pria berjaket hitam mematung, menatapku seraya mencoba mengatur napasnya dengan cara sedikit membungkuk dan menompangkan tangannya yang memegang pistol ke tiang beton di depannya.
Aku tidak boleh berhenti.
Tiba di suatu tempat, karena merasa sudah cukup jauh dari si jaket hitam aku berhenti berlari, tapi tetap melangkahkan kaki dengan cepat, berjalan tergesa-gesa.
Sebuah becak motor mendekatiku dari arah depan. Si pengendaranya lelaki berhelm, agak gemuk, berkumis lebat, dan memakai jaket parasut hitam bergambar sayap bebek di bagian dadanya. Dia menghampiriku. “Mau kemana, Bang?”
“Ke tempat pendaratan ikan, berapa ongkosnya, Pak?”
“Sepuluh ribu, Bang.”
Aku segera naik ke bangku penumpang, dan becak itu pun memutar arah, meninggalkan kawasan pertokoan depan terminal.
Becak motornya sangat lambat, siapa pun penumpangnya pasti menggerutu. “Tidak bisa lebih kencang lagi, Pak?!” tanyaku kesal.
Dia diam saja seolah-olah tidak mendengar perkataanku. Tingkahnya itu menimbulkan kecurigaanku. Aku memperhatikan rahangnya, sedikit miring, pastilah dia sedang merencanakan sesuatu. Tidak lama kemudian, telingaku mendengar suara mendesis dari dalam jaket parasutnya.
“Jangkrik dua, jangkrik satu,” sayup-sayup terdengar suara dari radio komunikasi yang tersembunyi di balik jaket parasut itu. Lupa mematikan atau kurang kecil setelan volume suaranya, kelalaiannya itu menyelamatkanku. Pastilah dia temannya si jaket hitam yang mengejarku tadi. Aku harus cepat menemukan cara menyelamatkan diri berikutnya.
Ketika di atas sebuah jembatan aku menepuk lengan kirinya, “Ke pinggir dulu, Pak. Tolong fotokan aku. Pemandangannya bagus di sini,” kataku seraya memperlihatkan kamera digital yang kubeli di kota utara.