Bahkan tanpa AC pun kamar ini dingin sekali. Roman menarik selimut tebalnya hingga menutup leher. Tetapi belum 10 menit, badannya mulai gerah, akhirnya dikeluarkannya kedua kaki dari balik selimut. Pemuda tanggung itu heran, dengan ventilasi seminim ini seharusnya kamar ini hawanya panas. Namun entah kenapa menjadi sangat dingin. Ini bahkan lebih dingin dari kamar pribadinya di rumah yang memiliki AC dengan setelan tak pernah berubah, yaitu 18 derajat Celcius.
Roman yang biasanya tidur hanya mengenakan kaos singlet dan celana pendek, kini harus memakai sweater yang tadi diselipkan Mamahnya di koper saat dia diboyong paksa ke pondok pesantren ini. Pemuda tanggung berusia 15 tahun itu telentang di tempat tidur. Pandangannya tak bisa menembus langit-langit kamar karena terhalang tempat tidur di atasnya. Ini adalah kamar dengan dua bunk bed atau tempat tidur tingkat berbahan kayu. Roman memilih tidur di bed bawah karena malas naik turun. Seharusnya kamar ini diisi empat santri, entah kenapa hanya Roman yang menempatinya.
Roman masih kalut dengan pikirannya, bahkan masih tidak percaya dia bisa berakhir di tempat tidur ini, setelah pagi tadi dia masih bolos sekolah dan nongkrong bareng teman se-gengnya di rumah Andre. Malamnya -tanpa pernah terlintas sedikit pun di benaknya- dia sudah rebah di kamar asrama yang asing baginya, di sebuah pondok pesantren. Disapunya setiap sudut kamar yang dindingnya bercat putih itu.
“Sumpah, Mamah Papah jahat luar biasa,” gumam Roman berulang. Dia masih sangat dongkol.
Roman tak tahu harus berbuat apa. Yang terlintas di benaknya adalah kabur dari tempat ini. Tapi mau kemana? Bila melihat sekilas kompleks bangunan ini, sepertinya susah untuk kabur karena pondok pesantren ini sangat tertutup. Dia belum tahu apakah ada akses lain untuk masuk atau keluar dari tempat ini, selain gerbang utama yang dijaga satpam di depan.
“Hmm … kita lihat saja besok. Bukan Roman kalau tidak bisa melarikan diri dari penjara ini,” gumam Roman lagi.
Hingga jam 23.30 WIB, Roman belum juga bisa memejamkan mata. Di rumah, dia bahkan bisa melek main game online hingga menjelang Subuh. Direbahkan tubuhnya di kasur yang tebalnya mungkin tidak sampai setengah kasur di rumahnya. Kasurnya keras dan beberapa kali dia mengubah posisi tidur, tapi tak berhasil membuat dia nyaman dan mampu memejamkan mata. Remaja itu mati kutu, tak bisa tidur tapi juga tak memegang handphone.
Roman kemudian beranjak ke kursi kayu yang diletakkan di salah satu sudut ruangan. Hanya ada satu kursi dan meja untuk empat tempat tidur? Jadi kalau belajar harus rebutan meja kursi ini? batin Roman. Di atas meja terdapat satu botol air mineral ukuran sedang, yang kemudian ditenggaknya hingga habis. Suasana di pondok pesantren sudah sepi karena memang aturan tidur ketat sekali. Jam 22.00 WIB tadi sempat ada patroli pengecekan kamar, seperti yang telah disampaikan pengasuh saat dia masuk ke pesantren sore tadi. Tetapi untuk kamarnya, pengasuh yang bertugas mengecek kamar ternyata tidak sampai masuk ke kamar. Hanya Roman mendengar seperti dua orang berbicara berjalan mendekat ke kamarnya, seperti berdiri di depan pintu kamar, lalu terdengar obrolan yang tidak jelas, kemudian berjalan menjauh.
“Bisa gila ini aku,” Roman kembali menggerundel sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.