Siang hari, 11 jam sebelumnya ...
Suara motor digeber masuk ke halaman rumah. Seperti biasa ditutup dengan dua tarikan gas yang memekakkan telinga keluar dari knalpot motor Suzuki Satria FU itu, lalu disambut dengan teriakan keras dan suara langkah gedebag-gedebug.
“Biiik! Es teh cepeeet!”
Si pemilik suara masuk ruang tamu setelah sebelumnya melepas sepatu sekenanya di teras, lalu melempar ransel ke sofa ruang tamu. Tak ada yang bisa mengubah kelakuan anak itu. Tak seorang pun di keluarga itu, bahkan Papahnya yang terkenal galak pun tidak bisa mengendalikan sikap kasar anaknya.
“Ndak ada es teh! Nanti kita beli di jalan aja. Kamu mau ikut Mamah Papah nggak?” tawar sang Mamah. Remaja itu celingukan, mematung sambil mencoba mencerna apa yang dikatakan Mamahnya.
“Hah? Kemana?” tanyanya sambil masih berdiri di ruang tamu.
“Ke rumah Om Anggoro,” kata Mamahnya sambil membawa keluar satu koper merah marun berukuran 20 inchi.
“Kok bawa koper?”
“Iya, Mamah dan Papah mau nginep.”
“Terus aku?”
“Terserah, mau ikut atau enggak. Tapi Bik Surti akan ikut juga, mau ikut pulang kampung sampai Salatiga, terus Minggu sore dijemput lagi ikut Mamah Papah balik ke sini,” jelas Mamah sambil lalu. Wanita paruh baya itu sibuk berkemas. Roman masih belum bisa mencerna situasi. Kok bisa-bisanya mendadak mau nginap di rumah Om Anggoro di Solo tanpa pernah terdengar omongan sebelumnya, batin pemuda tanggung itu.
“Terus aku, Mah?” tanyanya bingung.
“Terserah aja. Mau ikut ayo aja, nggak ikut ya kamu sendiri di rumah. Mamah sudah siapin mi instan banyak di lemari makanan. Sudah umur 15 tahun harusnya bisa mandiri,” jawab Mamah sekenanya tanpa memandang yang diajak bicara.
“Sebentar … sebentar … ya nggak lucu sih ini, Mah. Gimana ceritanya tiba-tiba ada rencana nginap di rumah Om Anggoro? Kan nggak pernah ada rencana sebelumnya, nggak ada omongan apapun. Lagian besok aku masih sekolah lho, Mah ….”
Sang Mamah mendongakkan wajah, menatap Roman, lalu berkacak pinggang, “Selama ini apa kamu peduli dengan apa yang terjadi di keluarga ini? Yang kamu pikirkan kan cuma nongkrong bareng siapa itu … gengmu yang nggak jelas dan anak-anak yang pada bau matahari. Pulang sekolah, makan lalu pergi, pulang lagi kalau kehabisan duit, lalu pergi dan jam dua belas malam baru balik. Lalu kamu berharap bakal tau apa rencana keluarga ini di akhir pekan? Terus sejak kapan kamu peduli pada sekolah, heh?” ujar wanita paruh baya itu dengan nada capek.
Roman mendelik ke arah Mamahnya.
“Hari ini aku sekolah, Mah … siapa bilang aku nggak peduli?” jawab pemuda tanggung itu.
“Hahaha … kamu pikir Mamah nggak tahu? Tadi wali kelasmu telepon Mamah, setelah istirahat pertama kamu sudah tidak ada di kelas lagi, entah bolos keluar sekolah lewat mana. Kamu pasti tidak salat Jumat juga kan?” Mamah kali ini tidak menggunakan nada tinggi. Seperti sudah habis kesabaran menghadapi sikap anaknya itu.
Roman menunduk, seperti maling tertangkap basah. Tapi kali ini Mamah kok nggak marah besar seperti biasanya ya? Batin pemuda itu.
“Jadi sekarang terserah kamu saja, Roman. Kamu mau mengikuti apa kata Mamah Papah atau tidak, kami sudah tidak peduli. Pun kalau kamu tidak mau ikut ke rumah Om Anggoro di Solo, Mamah bisa omong apa?” wanita paruh baya itu kembali sibuk dengan mempersiapkan rencana perjalanan ke Solo.
“Berarti boleh nih Roman nggak ikut? Dikasih uang makan kan, Mah?”
Wanita itu menggeleng tanpa menoleh ke arah anaknya. Seperti benar-benar tak peduli, “Tak ada uang. Kamu harus bertanggung jawab pada dirimu sendiri,” jawab wanita itu sekenanya.