“Sebenarnya saya juga tidak tega, Pak Kiai. Tapi saya sudah tak tahu harus bagaimana lagi. Papahnya ini malah jauh lebih lunak, karena Roman ini kesayangannya. Cuma kalau dibiarkan terus-menerus, ini anak akan jadi rusak, Pak Kiai,” ujar wanita itu dengan mata sembab. Bagaimana pun, dia sebenarnya tidak tega melihat Roman menangis saat tahu dia dipaksa masuk ke pondok pesantren ini.
Sang suami mencoba menenangkan wanita itu. Sementara Roman yang mereka bicarakan masih ngambek di dalam mobil tak mau keluar.
“Nakal sekali, Pak Kiai. Dia kalau di rumah itu memang tidak terlalu nakal. Paling hanya bentak-bentak pembantu saya. Tapi karena dia dirawat pembantu saya sejak kecil, jadi pembantu saya tidak sakit hati. Tapi di sekolah, ampuuuun … temannya pernah ditonjok dan harus dilarikan ke IGD. Gara-garanya sepele, temannya ini mengirimkan surat cinta pada gadis sekelas yang juga ditaksir anak saya. Gimana coba.”
Pak Kiai Nuruddin Latif tersenyum sambil mangut-mangut mendengar cerita itu.
“Pernah juga, Pak Kiai, dia mengkoordinir teman-teman cowoknya sekelas agar tidak masuk Sabtu pagi. Itu pada ngumpul di suatu tempat, lalu mereka motoran ke Bandungan, makan-makan dibayari Roman. Duitnya dari mana? nyolong duit arisan yang saya simpan di lemari. Kuncinya dijebol! Ini anak SMP kelas tujuh lho, Pak Kiai. Sudah senakal itu.”
“Itu sering terjadi?” tanya Pak Kiai.
“Aduh, Pak Kiai, kalau saya beberkan daftar dosanya, banyaaak banget. Mana ada anak SMP menggembok guru yang dibencinya di dalam toilet?”
Pak Kiai Nuruddin tampak terbelalak mendengar cerita Mamahnya Roman, “Astagfirullah,” gumam Pak Kiai.
“Saya lihat anaknya sudah gede ya? Hmm ... Roman Hariwidjaja,” gumam Pak Kiai.
“Nggak naik kelas dua kali, Pak Kiai. Umurnya 15 tahun sekarang, nah di kelas itu teman-temannya masih kecil-kecil, di bawah dia. Badannya juga sudah bongsor, makanya pada takut sama dia. Dulu sekolah sudah berniat mengeluarkannya, karena ini susah dididik. Gurunya sudah nyerah, saya yang memohon-mohon supaya tidak dikeluarkan, karena kalau harus mulai dari awal lagi ampun dah. Mana ada sekolah yang mau nerima dia? Sebenarnya anaknya tidak bodoh, cenderung pintar malah. Tapi sering bolos dan suka bikin ulah. Ya Allah, susah sekali dinasehati,” cerocos si Mamah curhat panjang lebar.
“Kami sudah pasrah, kalau memang pendidikan akademisnya harus dikesampingkan dulu, demi pendidikan akhlaknya, kami nggak apa-apa. Untuk itulah kami percayakan Roman untuk mondok di sini, Pak Kiai,” imbuh Papah.
Kiai Nuruddin Latif tersenyum, “Gampang itu, Pak Buk … kami sering menghadapi kasus-kasus semacam ini. Pengasuh-pengasuh di sini sudah memiliki sistem dan pola untuk menaklukkan anak-anak seperti Roman. Yang penting, Bapak dan Ibu percaya kepada kami dan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan anak itu kepada kami. Tapi memang saya tidak bisa 24 jam mengawasi karena saya lebih banyak syiar di luar pondok. Sudah ada pengasuh yang serahi tanggung jawab. Insha Allah bisa kita benahi ini anak,” kata Kiai.
**
Byuurrr!
Satu ember besar berisi air tumpah ke arah kepala dan badan Roman. Remaja itu tergeragap bangun dari tidurnya mencoba mencerna apa yang terjadi. Rambut dan wajahnya basah dengan air, demikian juga leher hingga perutnya. Kaosnya basah. Air juga mbeleber ke ke kasur dan lantai keramik di bawah tempat tidur pemuda itu itu.
“Woiiii! Apaan ini!” teriak Roman. Dengan masih mencoba mengumpulkan nyawa, pemuda itu bangkit dari tidurnya, mengucek-ucek matanya. Di depannya tampak seorang pemuda tinggi besar berdiri memunggungi pintu sambil berkacak pinggang.
“Bangun!” hardik pemuda itu sambil menyepakkan kaki ke tubuh Roman.
“Sabar kenapa!” balas Roman.
“Mandi!” perintah pemuda itu, lagi-lagi menyepakkan kakinya ke tubuh Roman. Kali ini ke arah paha Roman. Tindakan itu sukses membuat emosi Roman naik. Dia langsung berdiri, lalu dengan cepat mengarahkan tinjunya ke pemuda itu. Tapi belum juga kesampaian, tangan pemuda itu dengan cekatan meraih tangan Roman, memitingnya, lalu menarik paksa Roman keluar kamar. Roman berteriak-teriak mencoba berontak.
“Lepaskan! Apaan sih ini, gila! Lepaskan!” Roman meronta-ronta. Remaja itu naik pitam. Tak pernah dalam hidupnya dia diperlakukan sekasar ini, bahkan oleh Papahnya.
Di luar kamar, tiga orang pemuda berdiri. Dua orang membantu pemuda yang memiting Roman, yang membuat Roman tak berkutik saat di seret ke arah kamar mandi. Di sebelah kiri kamar Roman terdapat sumur timba dan dua bilik kamar mandi. Roman langsung diseret ke area sumur, lalu tiga orang memeganginya. Di samping sumur sudah terdapat ember besar berisi air penuh. Satu orang lagi langsung mengguyurkan air dingin ke tubuh Roman yang masih berbalut kaos oblong dan celana pendek.
Roman menggigil karena memang hari masih pagi. Roman masih berusaha berontak dari cengkeraman tiga pemuda itu, namun pada akhirnya dia menyerah karena sepertinya tidak berguna juga. Salah seorang dari pemuda mencopot kaos Roman, sementara satu pemuda yang sebelumnya mengguyur tubuh Roman dengan air kali ini mendekat dengan membawa gunting. Roman membelalakan mata. Pemuda yang paling besar masih mengempit tubuhnya.