Kisah Penyap dari Rimbun Bambu di Belakang Taubah

Ariyanto
Chapter #4

Kalau Diganggu Orang, Lawan!

Kompleks Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Kiai Nuruddin Latif yang terletak di Desa Plesungan, Kabupaten Karanganyar ini sebenarnya tak terlalu luas, tetapi memiliki fasilitas yang lumayan komplet. Dengan konsep semi moderen, pondok pesantren ini didirikan atas inisiatif jemaah pengajian Kiai Nuruddin Latif dengan cara patungan. Ada yang menghibahkan tanah, membantu patungan bahan bangunan, hingga menguruskan legalitas yayasannya. Ini adalah pondok pesantren kecil yang santrinya hanya sekitar 50 orang saja dan hanya khusus untuk putra.

Roman tidak mengerti bagaimana Mamah Papahnya mengenal pondok pesantren ini. Tetapi sebenarnya beberapa kali kalau lagi marah, Mamahnya pasti mengancam soal akan mengirimnya ke pondok pesantren. Roman tidak tahu kalau ternyata Mamahnya akan seserius itu dengan ucapannya.

Dengan mengenakan baju koko lengan pendek dan sarung batik, Roman keluar dari kamarnya. Pagi tadi dia tak melewatkan salat Subuh seperti hari pertama. Hari ini dia akan menjadi anak yang baik, sambil melihat situasi. Setelah salat Subuh, remaja itu kemudian mandi dan sekarang bersiap untuk menunggu sarapan saat waktu menunjukkan jam 07.00 WIB. Ini adalah hari kedua Roman berada di pondok pesantren. Rambutnya yang sebelumnya digundul tak rata dan banyak pitak, akhirnya dirapikan kemarin siang setelah dia di keluarkan dari ruangan isolasi. Soal rambut ini, Roman masih gondok luar biasa, mengingat dia sangat mengagumi rambut ikalnya dan selalu dipotong dengan model paling tren saat ini. Barbershop yang dipilihnya pun barbershop terkenal dan mahal di Semarang.

Roman memandang ke ruangan luas di tengah kompleks pesantren itu. Dia masih merasa menjadi orang asing dan tak mengenal siapapun di pondok pesantren ini, bahkan tidak memiliki teman satu kamar. Kemarin sore, Roman sempat mengamati situasi pondok pesantren ini dan berharap ada celah baginya untuk melarikan diri. Hari ini, dia akan memperdalam informasi untuk mendukung rencananya melarikan diri. Kalau dari gerbang depan gimana ya caranya? secara tingginya 3 meter dan dijaga satpam, batin Roman.

Dari gerbang utama, terdapat beberapa ruangan di kanan kiri, di mana sebelah selatan adalah ruangan pengasuh, perpustakaan dan beberapa ruangan kelas berjajar. Kemudian di sebelah kiri berjajar kamar asrama para santri, terdiri dari kamar Firdausi 1 dan 2, kamar Kalbu Saleem 1 dan 2, kamar Mahabbah 1 dan 2. Di ujung barat satu garis lurus dengan gerbang terdapat masjid tak seberapa besar yang diberi nama Masjid Al-Akbar. Nah, di samping kanan kanan masjid atau pojokan sebelah utaranya terdapat dapur, sementara di sebelah selatan masjid atau pojokan sebelah selatan ada satu kamar asrama yaitu Taubah, kamar yang ditempati sendirian oleh Roman. Di samping kamar asrama Taubah itu terdapat sebuah sumur timba tua dengan satu kamar tempat Roman dihukum kemarin.

Dari arah sumur timba itu, terdapat lahan tak berapa besar di sisi sungai, dengan posisi tepat di belakang kamar Taubah. Di sana terdapat rimbun bambu yang cukup lebat. Mungkin rimbun bambu ini dibiarkan tumbuh dan tidak dipangkas karena bambu memiliki kekuatan untuk menahan arus air, mampu memperkuat tanah di belakang kamar Taubah. Bila tak ada sisa lahan dan rimbun bambu itu, lama-lama bangunan kamar Taubah bisa ambrol tergerus air.

Sungai itu tak besar, namun juga tak kecil juga. Di hari biasa atau kemarau, dasar sungai akan terlihat. Tetapi saat musim penghujan, sungai itu lumayan penuh. Setiap malam, suara air sungai mengalir bisa terdengar oleh Roman dari dalam kamar Taubah. Roman berpikir, akan mencermati situasi belakang kamar Taubah, siapa tau itu bisa menjadi jalan dia untuk kabur.

“Sudah nggak ada yang kenal, eh malah ditempatin di kamar sendirian. Brengsek memang,” ujar Roman menggerundel bila mengingat dia tinggal di kamar Taubah sendirian.

Sekarang dia berdiri di tempat makan. Tempat makan bersama adalah ruangan semi terbuka yang terletak tepat di tengah area pondok pesantren. Bagian atap hanya ditutup kanopi, lantainya adalah lantai semen, kemudian ditempatkan meja-meja panjang dengan bangku kursi panjang berhadapan. Satu meja panjang itu bisa digunakan untuk makan 15 santri.

Tepat jam 07.00 WIB, Roman langsung mengantre di depan dapur untuk mengambil sarapan. Perutnya lapar tak tertahankan karena terakhir dia makan adalah semalam sebelum jam 19.00 WIB. Roman sempat mengumpat-umpat, karena biasanya di rumah dia masih sering order makanan secara online, bahkan ketika sudah jam 00.00 WIB. Kadang martabak telur, kadang fast food, apa saja yang dia inginkan dan Mamah Papahnya pasti menuruti permintaannya. Sekarang hal itu tak mungkin dia dapatkan di pondok pesantren.

Roman nyengir kecewa begitu melihat makanan jatah sarapan yang dia terima. Nasi yang warnanya tidak putih bersih seperti di rumah, bahkan cenderung cokelat dan menggumpal benyek, separuh telur dadar, tempe tahu masing-masing sepotong, serta semangkuk kecil sup. Buahnya satu pisang.

“Ya, Tuhan … ini gimana nelennya? Kejam banget memang Mamah Papah ini,” gumam Roman. Pemuda itu belum bisa memaafkan kedua orangtuanya yang menjebaknya masuk ke dalam pondok pesantren ini.

Usai mengambil jatah, Roman berjalan mencari posisi makan yang enak. Beberapa bangku sudah penuh dengan para santri yang sepertinya lebih muda dari dirinya. Berisik banget semua makan sambil ngoceh tak jelas. Mata Roman tertuju pada bangku di sudut yang tak ada menduduki sama sekali. Dia lalu menuju ke arah bangku itu.

Roman meletakkan baki kecil yang berisi makanan, lalu meletakkan secangkir teh di sampingnya. Matanya lalu terpejam, berdoa. Tetapi itu adalah doa supaya dia bisa menghabiskan makanan itu dan bukan mensyukurinya.

“Ya, Tuhan … aku lapar. Tapi sepertinya aku tak bisa menelan makanan tak layak ini. Tolong bantu aku melancarkan jalannya makanan ini masuk ke mulut, kerongkongan dan diterima perutku dengan baik. Amin,” ujar Roman. Usai berdoa, dia membuka mata perlahan.

Remaja tanggung itu kaget, di depannya sudah duduk seorang santri bertubuh gemuk. Roman mengernyitkan dahi, merasa aneh karena masih banyak bangku kosong kenapa santri ini memilih duduk di depannya.

“Eh, kamu siapa? Ngapain duduk di sini?” tanya Roman mendelik.

Santri bertubuh gemuk dan berkacamata dengan rambut lurus berponi itu nyengir, lalu celingukan seperti memastikan semuanya aman. Tingkahnya aneh.

“Ngapain duduk di sini?” tanya Roman lagi dengan nada lebih tinggi.

“Eh … anu … salam kenal. Aku Saipullah Latif, biasa dipanggil Ipul Gendut,” kata dia sambil mengulurkan tangan, tapi Roman tak mau membalas uluran tangan itu.

Lihat selengkapnya